Pilih Laman

Penelitian ini berupaya mengubah perspektif umum terhadap kelompok remaja di fase usia remaja akhir yang terlibat dalam tindak pidana terorisme dari non victim menjadi designated victim. Menemukan bahwa posisi remaja sebagai designated victim dapat dijelaskan melalui relasi kerentanan, viktimisasi struktural, radikalisme dan terorisme, dan risk society.

Hal ini dipaparkan oleh Arijani Lasmawati dalam sidang promosi doktor Departemen Kriminologi FISIP UI pada Rabu (06/07) yang berjudul “Designated Victim sebagai Hasil Relasi Viktimisasi Struktural, Terorisme, dan Kerentanan dalam Risk Society: Pelibatan Remaja dalam Kejahatan Terorisme  di Indonesia.”

Menurut Arijani, pada 2018, Badan Intelijen Negara menyebutkan bahwa paparan radikalisme telah merambah sejumlah perguruan tinggi dan sekolah di Indonesia. Ini sejalan dengan pengamatan pemerintah (BIN dan BNPT) yang pada 2017 menunjukkan bahwa setidaknya paparan ini sudah menjangkau 39% mahasiswa dari tujuh perguruan tinggi.

“Disamping itu, International Centre for the Study of Radicalization melaporkan bahwa diperkirakan terdapat 12% dari total keseluruhan jumlah foreign fighters yang berada di Suriah dan bergabung dengan ISIS adalah anak-anak dan remaja di bawah usia 18 tahun, setidaknya terdapat 4.640 anak-anak dan remaja. Diantaranya terdapat anak dan remaja yang berstatus sebagai Warga Negara Indonesia dan hingga kini masih dipertimbangkan untuk dipulangkan oleh pemerintah Indonesia,” ungkap Arijani.

Keterlibatan remaja dalam kelompok-kelompok tersebut tidak lepas dari pembahasan mengenai kerentanan remaja. Dalam siklus perkembangan individu.

Arijani menjelaskan bahwa setidaknya terdapat empat tahapan radikalisasi hingga seseorang menjadi teroris. Pertama, pre-radikalisasi, tahapan ketika seseorang rentan terpapar ideologi radikal dari lingkungan sosialnya. Tahapan kedua adalah identifikasi diri, seseorang mulai mengidentifikasi diri sebagai bagian dari kelompok teroris. Tahapan ketiga, seseorang berkomitmen untuk menjalankan doktrin-doktrin yang telah ditanamkan oleh kelompoknya. Terakhir, tahapan ideologisasi jihad, yakni seseorang terlibat dalam aksi penyerangan.

Designated victim juga dapat dipahami sebagai bentuk atas status korban dalam kondisi “dianggap orang lain sebagai korban namun ia tidak menganggap dirinya sebagai korban” maupun “menjadi korban ketika ia tidak menginginkannya”.

“Ketidaktahuan terhadap status bahwa seseorang merupakan korban dapat diakibatkan karena perbedaan orientasi norma dan nilai yang berlaku dalam lingkungan tertentu. Selain itu, status sosial mempengaruhi pengertian relevan yang dianggap dan/atau tidak dianggap sebagai korban karena, dalam sudut pandang konstruktivis, makna subjektif tidak terbukti dengan sendirinya, namun perlu adanya penafsiran yang dikombinasikan dengan pengakuan sosial,” ujar Arijani.

Lebih jauh Arijani mengatakan, “ditemukan bahwa status designated victim justru dapat mengakibatkan korban menjadi lebih rentan terhadap kejahatan maupun penyimpangan karena pada dasarnya individu tidak merasa bahwa dirinya adalah korban. Misalnya, kasus pelecehan seksual yang dialami oleh anak-anak.”

Dalam disertasinya Arijani menjelaskan, pada permasalahan pelibatan remaja dalam kejahatan terorisme, posisi remaja dapat dilihat dalam dua perspektif, yakni sebagai remaja dan sebagai individu. Sebagai remaja, mereka tidak lepas dari andil kerentanan yang mereka alami sebagai remaja sebagai satu periode usia yang paling berisiko dalam kurva usia kejahatan. Sebagai individu, proses perkembangan yang mereka alami di tengah masyarakat juga tidak lepas dari andil viktimisasi struktural, radikalisme dan terorisme, dan risk society yang mereka hadapi tanpa mereka sadari.

Ketidaktepatan negara dalam merespons dampak risk society tersebut pada akhirnya memunculkan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan yang tidak berpihak. Situasi ini cenderung menjadi insufficient policy effort yang berdampak pada munculnya faktor-faktor di tataran meso (radikalisme dan terorisme).

Ketidaktepatan negara dalam merespons dampak risk society juga menyebabkan kegagalan negara dalam melaksanakan tugas dan perannya. Dalam konteks fenomena pelibatan remaja dalam kejahatan terorisme, negara cenderung lebih melihat kejahatan terorisme dibandingkan subyek remajanya, sehingga negara hanya fokus melihat ini sebagai aktivitas yang dapat merugikan dan mengancam negara. “Sebagai akibatnya, alih-alih melaksanakan peran dan tugas untuk melindungi dan melakukan penanganan khusus, negara lebih memilih upaya mengkriminalisasi, sehingga melahirkan crime of repression,” ujar Arijani.

Dalam fenomena pelibatan remaja dalam kejahatan terorisme, crimes of repression dapat dilihat dari bagaimana negara, melalui aturan legal, lebih merespons remaja yang terlibat dalam radikalisme dan terorisme sebagai pelaku dibandingkan sebagai korban.

Menurut Arijani, negara mempunyai kewajiban untuk berupaya pencegahan remaja terlibat terorisme. Negara sebagai pemegang kendali pengambilan keputusan dan perumusan kebijakan cenderung mengatur sistem yang tidak berpihak kepada remaja.

Kesalahannya terletak pada lemahnya sistem pada lembaga negara maupun penegakan hukum yang tidak melihat kompleksitas permasalahan remaja. Alih-alih Negara melihat remaja sebagai korban, justru mendefinisikan mereka sebagai pelaku yang patut untuk dikriminalisasi sebagaimana yang diterapkan pada orang dewasa. Berdasarkan penjelasan dan relasi tersebut, maka dapat dilihat bahwa posisi remaja yang terlibat dalam terorisme adalah designated victims.