Penelitian ini dilatarbelakangi oleh fakta empiris bahwa Pemerintah Indonesia menargetkan peningkatan kontribusi Energi Baru Terbarukan, dalam bauran energi nasional. Geotermal/Panas Bumi sebagai salah satu Energi Terbarukan, turut didorong pemanfaatannya, dengan pertimbangan: potensi besar di miliki Indonesia, keandalan dibandingkan energi fosil, serta tangguh dibandingkan energi terbarukan lainnya.
Target Pemerintah meningkatkan kapasitas terpasang Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di tahun 2025, sebesar ±2,4 kali jumlah capaian pada tahun 2020. Berbagai studi menyebutkan target tersebut cenderung kurang realistis, jika dilihat dari laju pertumbuhan yang kurang signifikan, dalam rentang tahun 2014 hingga 2020.
Hal tersebut disampaikan oleh Dian Kurnia Anggreta dalam promosi doktor Departemen Sosiologi FISIP UI, pada Kamis (14/7). Ia menyampaikan disertasinya yang berjudul “Konflik Komunitas Lokal Dengan Perusahaan Geotermal Di Kabupaten Solok Sumatera Barat”.
Berbagai studi menunjukkan bahwa tantangan pengembangan PLTP berkaitan dengan: kendala ekonomi (keterbatasan negara melakukan pengembangan; kurang minat investor; harga jual energi kurang menarik); kendala perizinan; kendala pembangunan fisik; serta penolakan oleh komunitas lokal. Tantangan penolakan di tingkat lokal, belum ada formula khusus yang bisa digunakan, mengingat kekhasan kasus di masing-masing daerah tapak proyek.
Dian menjelaskan, pada studi ini konflik manifes telah muncul, saat komunitas lokal belum merasakan dampak empiris keberadaan proyek. Komunitas lokal memiliki kekhawatiran bahwa, aktivitas perusahaan pengembang berdampak pada kehidupan sosial, ekonomi dan lingkungan. Kekhawatiran komunitas lokal, dalam studi ini disebut sebagai perceived risk.
“Konsep perceived risk digunakan untuk menjelaskan bahwa komunitas lokal memiliki kemampuan penilaian risiko. Teori Masyarakat Risiko membantu dalam, menganalisis munculnya pengetahuan risiko, menjadi konflik. Studi ini menyatakan bahwa penilaian risiko tidak hanya berasal dari pengalaman empirik, namun juga menggunakan pengalaman pihak lain yang mewarnai persepsi komunitas lokal, dalam konteks penelitian ini tentang pengembangan PLTP,” ujarnya.
Dengan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, dengan jenis penelitian studi kasus. Ada empat hasil penelitian yang dikemukakan oleh Dr. Dian, yaitu Pertama, pola konflik pada studi ini ditunjukkan dengan: 1) Penerimaan proyek PLTP oleh Pemerintah Lokal dan Tokoh Adat, tidak menjadi jaminan, penerimaan yang sama oleh komunitas lokal; 2) Perceived risk cenderung muncul pada saat sosialisasi rencana pengembangan PLTP ke komunitas lokal, berpotensi menguat menjadi perceived risk berbasis sains, jika tidak diantisipasi dengan baik; 3) Antisipasi menghadapi perceived risk dapat dilakukan oleh perusahaan, Tokoh Adat, Pemerintah Lokal dan Pemerintah Daerah; 4) Komunitas lokal di daerah tapak proyek, berpotensi memiliki jejaring dengan NGO; 5) Perceived risk yang tidak segera diredakan karena monopoli rasionalitas yang mengklaim kekhawatiran komunitas lokal kontra PLTP sebagai irasional, agar proyek mudah diterima, berpotensi menjadi gerakan penolakan; 6) Relasi perusahaan pengembang PLTP, dengan komunitas lokal, cenderung dinamis, sejalan dengan tahapan kegiatan perusahaan di daerah tapak proyek; 7) Relasi kemitraan antara komunitas lokal dengan perusahaan pengembang, akan tercapai jika distribution of risk dikendalikan, dan distribution of wealth berkeadilan.
Kedua, konteks konflik dalam studi ini berkaitan dengan persoalan agraria; Keterlibatan komunitas lokal dalam rencana pengembangan geotermal; Proses sosialisasi; Pelibatan Aparat mengamankan kegiatan eksplorasi. Berdasarkan temuan penelitian ini, perceived risk “mendorong” terjadinya keempat konteks konflik ini.
Ketiga, perceived risk komunitas lokal berdasarkan referensi sosial berkaitan dengan: risiko atas akses ke sumber daya air dan risiko kehilangan lahan pertanian serta tempat tinggal, karena proses pembebasan lahan untuk proyek.
Perceived risk berbasis sains, berkaitan dengan risiko gempa bumi, risiko paparan gas, dan risiko kegagalan mengendalikan dampak lainnya seperti risiko longsor terutama saat kegiatan eksplorasi dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan dari kegagalan dalam mengendalikan dampak.
Keempat, Studi ini menggunakan gagasan Beck di tingkat lokal. Sehingga dimensi politik lokal, dan kultural, berkontribusi pada perceived risk. Temuan penelitian menunjukkan, komunitas lokal sebagai masyarakat kebudayaan Minangkabau, memiliki saluran aspirasi untuk mengemukakan perceived risk kepada tokoh adat. Namun mekanisme musyawarah, dan mufakat, dalam pengambilan keputusan di tingkat lokal, belum mampu meredakan perceived risk, serta mencegah eskalasi konflik.
Sebagai penutup Dian mengatakan bahwa, secara praktis penelitian ini menawarkan rekomendasi, bahwa pemerintah daerah diharapkan memiliki kemampuan mengkomunikasikan, bahwa negara telah menjamin hak, dan memberi perlindungan kepada komunitas lokal di daerah tapak proyek, diperlukan pemerataan pengetahuan tentang mekanisme pengendalian dampak, menunjukkan komitmen distribution of risk dikendalikan dan distribution of wealth berkeadilan.