Peran media menjadi tempat bagi kebudayaan, ideologi hingga sebagai instrumen penyampaian pesan. Dan sekarang kita banyak bicara melalui media sosial dibanding media masa yang menjelaskan suatu proses bagaiamana suatu gagasan itu berkembang di masyarakat kontemporer saat ini. Media sosial menjadi salah satu elemen kontruksi ideologi hingga aktualisasi dari ideologi negara terutama dalam konteks masyarakat kontemporer tanpa perlu memilah generasi muda dan senior.
Dalam paparan penelitian yang dilakukan Endah Triastuti,Ph.D dalam diskusi Forum Kebangsaan UI yang diselenggarakan di FISIP UI (09/03) bahwa pada tahun 80-an ketika gaung internet membuka ruang demokrasi, pemberdayaan, pembebasan, pendidikan, itu masih kencang sekali. Orang melepaskan kelas, identitas, serta judgement dan stereotipe sosial. Lalu pada tahun 2000-an mulai masuk narasi distopia yaitu adanya disrupsi informasi berupa hoax dan disinformasi.Temuan dalam penelitiannya bahwa internet itu bukan utopia dan distopia tetapi ke arah heterotopia atau jalan tikus. Yang dimaksud jalan tikus ini sifatnya netral. Heterotopia ini dilakukan baik yang mengusung intoleransi ataupun sebaliknya.
“Ini yg saya garis bawahi bahwa media sosial menunjukan praktik-praktik jalan tikus. Mereka yang satu komunitas yang sama itu justru mengintip dan meminjam jargon dari kelompok yang bersebrangan. Sehingga sebenarnya kita semuanya baik yang pro dan kontra tersebut menggunakan ruangan dengan membentuk allied phenomenon. Ada beberapa tagar yang dibuat yang seolah-olah ramah terhadap nilai-nilai kebangsaan tetapi ternyata disandingkan dengan tagar-tagar yang sebetulnya polanya berbeda tetapi semua tagar ini ada di dalam satu postingan. Sehingga jika orang yang tidak cukup punya literasi seolah-olah tagar yang bersebrangan tersebut ramah terhadap nilai-nilai kebangsaan.” Ujar Endah.
Kelompok-kelompok yang kontra nasionalisme, kontra tradisi lokal serta kontra terhadap wacana kebangsaan itu ternyata sudah masuk menggunakan jalan tikus hampir ke seluruh komunitas-komunitas dan lapisan sosial masyarakat, mulai kelas elit hingga kelas bawah dengan berbagai cara melalui arisan, pelatihan, dll. Yang kesemuanya diproduksi menjadikan narasi kemudian menjadi wacana-wacana dimasukan ke ruang publik melalui jalur tikus dengan memanfaatkan media sosial dengan bahasa-bahasa menarik, logika-logika yang sederhana tetapi orang mudah menerima, mereka mengakumulasi kapital sosial, kapital simbolik, kapital kultural yang kemudian dikonversi menjadi kapital ekonomi untuk ditawarkan kepada audience dengan memanfaatkan jalur tikus terebut.
Untuk literasi ternyata perlu mengikuti cara mereka dan jika kita yang selama ini selalu memaparkan hasil penelitian di jurnal yang terindeks scopus ke masyarakat itu terlalu ketinggian, karena masyarakat tidak membaca jurnal atau hasil penelitian yang ditulis dari scopus. Mereka lebih membaca media sosial dan ini menarik perlu adanya strategi untuk melakukan literasi dan proses penyadaran terhadap muatan nilai-nilai kebangsaan ini melalui media sosial.
Sedangkan menurut Whisnutama (Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tahun 2019 – 2020) yang juga dikenal sebagai sosok yang sudah lama malang melintang di industri kreatif media mengatakan bahwa peran digital ini tidak sesederhana apa yang kita lihat hari ini. Karena ada peran algoritma, rekomendasi dll. Contoh jika kita buka e-commerce, youtube, go-food atau apapun. Kita boleh punya makanan yang mempunyai rasa paling enak tapi jika mesin algoritma tidak merekomendasikannya kira kira apakah akan dibeli makanan tersebut? Atau punya konten paling kece sedunia tapi jika mesin youtube tidak merekomendasikannya apakah akan dilihat? Jadi Indonesia ini butuh kedaulatan digitalnya. Karena pada saat kita dikuasai data kita, perilaku kita maka kita akan tergantung oleh platform-platform digital itu termasuk budaya kita sendiri. Pada saat teknologi Artificial Intelligence ini untuk menjual sesuatu sebagai bagian dari marketing itu bagus untuk ekonomi digital, tetapi ketika teknologi ini sudah mempengaruhi orang untuk membeli barang atau sesuatu itu juga bisa mempengaruhi budaya, sosial,politik dan bahkan ideologi.