Sabtu (3/10/2015), Prof. Dr. Dody Prayogo MPSt. dikukuhkan sebagai Guru Besar bidang Sosiologi FISIP UI oleh Rektor Universitas Indonesia (UI), Prof. Dr. Ir. Muhammad Anis, M.Met. Dalam pengukuhannya di Balai Sidang UI Depok, Dody Prayogo menyampaikan pidato pengukuhannya berjudul “Keadilan, Kesetaraan, dan Keberlanjutan Sosial dalam Hubungan Industri Tambang (Mineral dan Migas) dengan Masyarakat Lokal di Indonesia.”
Dalam pidatonya, Dody memaparkan bahwa proses demokratisasi (Reformasi Politik 1998) dan desentralisasi (Otonomi Daerah 2004) membawa perubahan sangat signifikan terhadap masyarakat di tingkat lokal. Dalam kaitannya dengan industri tambang (mineral dan migas) relasi antara perusahaan dan masyarakat lokal berubah sangat signifikan. Masyarakat lokal menjadi lebih “berdaya” dan memiliki “sense of localism” lebih kuat dalam mengungkapkan kepentingan dan aspirasinya, baik terhadap pemerintah (pusat dan lokal) dan terutama terhadap sektor swasta perusahaan di sekitarnya. Konflik—dalam berbagai bentuk dan intensitas—muncul sebagai social symptoms mewarnai relasi antara masyarakat lokal dan perusahaan tambang pada hampir semua lokasi. Lebih lanjut, hasil studi lapangan yang dilakukan Dody menunjukan, ada tiga masalah penting terkait hubungan ini, yakni: (1) Masalah social justice (keadilan) bagi masyarakat lokal akibat kehadiran dan kegiatan tambang dan migas; (2) Masalah social equality (kesetaraan) bagi masyarakat lokal dalam memperoleh manfaat kesejahteraan dan sumber ekonomi atas kehadiran dan kegiatan tambang dan migas; (3) Masalah jaminan atas social sustainability (keberlanjutan) masyarakat lokal terkait dengan perubahan lingkungan akibat kehadiran dan kegiatan tambang dan migas.
Masalah “social justice” berkait-erat dengan masalah akuisisi lahan, hilang/berkurangnya pekerjaan petani, dan hilangnya sumber alam lokal. Kehadiran dan kegiatan tambang besar biasanya di lokasi remote yang memerlukan lahan sangat luas. Bagi masyarakat pertanian yang masih sangat bergantung pada lahan dan sumber alam, kehilangan lahan mempunyai dampak penting: a) secara budaya hilangnya tempat sebagai rujukan identitas marga/suku; b) secara politik adalah hilangnya kuasa wilayah kolektif; dan c) secara ekonomi hilangnya faktor produksi dan pekerjaan. Oleh sebab itu dampak kehadiran dan kegiatan tambang demikian signifikan terhadap “keadilan sosial” bagi masyarakat lokal. Munculnya konflik merupakan wujud dari bagaimana masyarakat lokal berupaya mengembalikan keadilan yang mereka rasakan telah terlanggar.
“Social equality” berkenaan dengan ketimpangan kesejahteraan sosial antara warga perusahaan dengan warga lain di sekitarnya. Industri tambang mungkin tidak membuat masyarakat lokal menjadi lebih miskin dari sebelumnya, namun menghadirkan stratifikasi sosial baru sehingga muncul ketimpangan antar kelompok sosial, seperti antara penduduk asli dengan pendatang, dan pekerja dengan non-pekerja tambang. Ketimpangan sosial-ekonomi merupakan wujud dari tidak dapat terintegrasinya masyarakat lokal kedalam industri tambang yang padat modal dan berteknologi tinggi. Oleh sebab itu, program pemberdayaan masyarakat harus menjadi bagian dari bisnis industri tambang agar ketimpangan dapat diminimalisir jika tidak dapat dihilangkan.
“Social sustainability” berkait-erat dengan dampak lingkungan atas kehadiran dan kegiatan tambang, menyangkut keberlajutan keseluruhan kegiatan masyarakat. Dampak fisik seperti udara (debu), kebisingan, gangguan sumber air, getaran, kebauan, radiasi sinar (flaring), dan lainnya bukan sekedar dampak fisik melainkan dampak sosial karena masyarakat terdekat secara langsung terganggu kegiatan keseharian mereka. Oleh sebab itu prinsip “kehadiran satu tidak boleh meniadakan yang lain…” harus ditegakan dalam praktek tambang; dan jika dampak negatif tetap tidak dapat ditiadakan, maka prinsip “poluter pays” harus diimplementasiikan, setidaknya untuk mengembalikan “sense of justice” warga terdampak melalui berbagai bentuk kompensasi (non-material).
Untuk mengatasi terlanggarnya keadilan, kesetaraan dan keberlanjutan sosial oleh perusahaan tambang, maka diperlukan sejumlah upaya dalam berbagai bentuk yakni, a) adanya responsive government dalam wujud pemerintahan yang tanggap menyempurnakan tata-aturan dan mampu bertindak sebagai the sovereign yang adil; b) socially responsible corporation dalam bentuk perusahaan yang bertanggung-jawab terhadap masyarakat lokal “lebih dari sekedarnya” (beyond CSR); dan c) good society dalam bentuk masyarakat demokratik yang perilakunya institusional. Secara akademik, para sosiolog berkewajiban mengoperasionalkan bagaimana konsep “keadilan sosial”, “kesetaraan sosial” dan “keberlannjutan sosial” agar dapat menjadi rujukan bagi penetapan kebijakan (bagi pemerintah) dan rencana kerja (bagi perusahaan), dan pengembangan diri (bagi masyarakat). (Humas FISIP)