21 Desember 2024 – Guru Besar Hubungan Internasional FISIP UI bertambah, Prof. Dr. Dra. Ani Widyani Soetjipto, M.A. resmi menjadi Guru Besar setelah di kukuhkan oleh Prof. Dr. Ir. Heri Hermansyah, S.T., M.Eng., IPU., Rektor Universitas Indonesia di Makara Art Center UI pada Sabtu (21/12). “Hak Asasi Manusia, Gender dan Politik Global: Sebuah Perspektif Interseksionalitas” merupakan judul pidato pada saat pengukuhannya.
Dalam pidatonya, Prof. Ani Soetjipto membahas keterhubungan antara neksus HAM, Gender, Interseksionalitas, dan relevansinya dengan tantangan studi Hubungan Internasional (HI) kontemporer. Dalam hal ini membahas secara kesejarahan perkembangan studi HI terkhususnya pasca Perang Dunia II, perspektif HAM, Gender, pendekatan alternatif (pasca-positivistik) dalam HI, serta memajukan Interseksionalitas dalam membahas HI hari ini dengan dilengkapi hasil beragam penelitian yang relevan dan sudah diterbitkan di beberapa jurnal ilmiah internasional.
Dalam penjelasannya tentang kesejarahan studi HI, Prof Ani menekankan keterhubungan erat antara tata kelola global dengan HAM sebagai salah satu tonggak utama yang mentrafromasi dinamika politik global.
“Konflik global yang menghancurkan selama periode Perang (Dunia II) telah memunculkan kesadaran kolektif mengenai pentingnya menjaga perdamaian, melindungi hak asasi manusia, dan menciptakan sistem tata kelola global yang berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan. Salah satu tonggak penting dari transformasi ini adalah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang diadopsi pada tahun 1948 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Perkembangan ini juga mempengaruhi disiplin HI, yang mulai menggeser fokus dari semata-mata keamanan militer dan kepentingan negara menuju kajian tentang perdamaian, tata kelola global, dan hak asasi manusia.” ujar Prof. Ani.
Lebih lanjut Prof. Ani mengatakan bahwa membahas HAM dalam HI tidak bisa dipisahkan dari pembahasan kesetaraan dan keadilan gender. Oleh karena itu, perspektif HAM-Gender dalam HI tidak mungkin dipahami tanpa lensa feminisme.
Mengutip dari V Spike Peterson, Prof Ani menjelaskan bahwa teori dan praktek HI selalu berkelindan dengan dimensi gender dan institusi ekonomi dan politik internasional memuat, mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pemahaman tentang gender, dan feminisme sebagai gerakan (feminist movement) bertujuan untuk mengakhiri seksisme, eksploitasi seksual dan opresi.

Ia menggarisbawahi bahwa “feminisme dalam kajian HI bukan sekadar menyangkut persoalan perempuan ataupun sekedar menambahkan perempuan dalam konstruksi laki-laki (adding woman in IR) melainkan menyangkut alternatif cara pandang baru bagaimana seharusnya kita memaknai politik global. Feminisme memeriksa ulang konsep-konsep kunci HI seperti kedaulatan, negara atau keamana. Kajian politik tradisional yang klasik yang mengutamakan peran agensi negara sebagai aktor utama dalam HI beserta karakteristik HI yang didominasi oleh hubungan antar negara, pengalaman perempuan tidak terlihat atau absen atau tidak dibicarakan”
Feminisme, yang muncul sebagai pendekatan alternatif dalam HI, menyoroti bahwa politik internasional tidak hanya dipengaruhi oleh hubungan antarnegara, tetapi juga oleh konstruksi gender yang membentuk bagaimana peran laki-laki dan perempuan dipahami dalam masyarakat global. Misalnya, peran laki-laki sering dikaitkan dengan kekuatan, rasionalitas, dan militerisme, sementara perempuan cenderung diasosiasikan dengan kelemahan, emosi, dan perdamaian.
Konstruksi ini tidak hanya memengaruhi kebijakan internasional tetapi juga membatasi siapa yang memiliki akses ke pengambilan keputusan di tingkat global. Konstruksi gender ini sangat terlihat dalam isu-isu keamanan internasional. Misalnya, narasi dominan dalam studi keamanan seringkali menekankan ancaman militer dan kekerasan antarnegara sebagai masalah utama, sementara ancaman yang memengaruhi perempuan secara tidak proporsional, seperti kekerasan seksual dalam konflik, sering kali dipinggirkan.
Kemudian, Prof. Ani menjabarkan kesejarahan perspektif interseksional, mulai dari cikal bakalnya konsepsinya dari perjuangan black feminism, kemudian dinamika perdebatan tentang interseksionalisme, serta urgensi untuk mengembangkan perspektif interseksionalitas dalam HI.
Lalu, Ia menyoroti bagaimana dalam membawa prinsip-prinsip interseksionalitas dalam studi HI, maka salah satu tantangan terbesarnya yakni melawan serta membongkar dominasi pengetahuan dan institusi Barat yang reduksionis, bias gender, serta tidak sensitif akan kompleksitas realita sosial. Ia juga menyebutkan beberapa resistensi dalam komunitas akadamik HI, seperti perspektif dekolonial yang dikembangkan akademisi Amerika Selatan serta konferensi “Decolonizing IR” yang baru diselenggarakan Institute of International Studies UGM (Universitas Gadjah Mada).
Terakhir, Prof Ani menutup dengan merefleksikan dari banyaknya polemik yang belum terselesaikan dari salah satu konteks kontemporer yang paling dekat dengan Indonesia, yakni Papua. Mulai dari pelanggaran HAM berat yang belum terselesaikan, kegagalan pemenuhan hak indegenous people (UNDRIP) bagi Orang Asli Papua, serta kegagalan pendekatan keamanan dan pembangunan yang melanggengkan kekerasan dan dominasi serta memperburuk kehidupan masyarakat.
Berangkat dari refleksi tersbut, Ia kemudian menitipkan pesan, terlebih bagi komunitas epistemik, untuk dapat lebih berkontribusi mewujudkan politik yang berkeadilan, inklusif, dan memiliki visi untuk transformasi sosial serta strategi dalam mewujudkan visi tersebut.
“Saya berharap setidaknya kerja-kerja yang telah saya lakukan sampai saat ini setidak-tidaknya juga dapat menginspirasi generasi-generasi selanjutnya dalam berkontribusi lewat kerja-kerja yang berusaha mewujudkan dunia yang lebih adil dan membebaskan untuk kita semua,” ujarnya
Pada akhir pidatonya, Prof. Ani menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada seluruh pihak yang telah mendukung dan berperan penting dalam kariernya dan membantu pelaksanaan pengukuhan yang berlangsung lancar dan khidmat.
Prosesi Upacara Pengukuhan Guru Besar ini juga dihadiri oleh Ketua Dewan Guru Universitas Indonesia, Sekertaris Dewan Guru Besar Universitas Indonesia, Dekan FISIP Universitas Indonesia, para tamu Guru Besar, para pimpinan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.