Rabu (19/8/2015), Prof. Dr. Billy K Sarwono, MA dikukuhkan sebagai Guru Besar bidang Ilmu Komunikasi FISIP UI oleh Rektor Universitas Indonesia (UI), Prof. Dr. Ir. Muhammad Anis, M.Met. Dalam pengukuhannya di Balai Sidang UI Depok, Billy Sarwono menyampaikan pidato pengukuhannya berjudul “Literasi Media untuk Kesetaraan Gender di Indonesia.”
Ia mengatakan, dewasa ini, media yang menjadi bagian penting dalam kehidupan kita telah menggantikan peran agen sosialisasi yang diemban keluarga, sekolah, institusi agama dan masyarakat. Ironisnya, isi media tidak selalu memberikan gambaran seperti apa adanya. Media banyak mengkonstruksikan realitas untuk memenuhi kepentingan pemilik media atau bahkan memenuhi kebutuhan pasar. Misalnya media cenderung menggambarkan stereotip perempuan yang muda, cantik, lemah, emosional; sebaliknya laki-laki merupakan sosok kuat, pemberani, tegas dan mandiri. Dampak konstruksi bias gender dalam media tidak hanya mempengaruhi perilaku individu melainkan juga budaya masyarakat karena sifat dari media yang bisa menjangkau sebagian besar masyarakat dalam waktu singkat. Keprihatinan tentang misrepresentation perempuan dalam media dan dampaknya terhadap anak-anak dan remaja ini mendorong Prof. Billy Sarwono, atau biasa dipanggil Oni, untuk menekuni studi tersebut sejak 1995.
Berbagai hasil penelitian tentang bias gender dalam media menunjukkan bahwa perempuan berada di ranah domestik dan laki-laki di publik; bila perempuan bekerja di sektor publik, maka dia dianggap kurang kompeten atau media juga cenderung menekankan atribut seks (kecantikan) daripada pemikirannya. Selain itu, minimnya narasumber perempuan yang digunakan media membuat partisipasi perempuan di ranah publik tak kelihatan dan kepentingan perempuan tak bisa disuarakan atau terbisukan. Kondisi ini akan mengakibatkan peran dan posisi perempuan semakin direndahkan dan kesetaraan gender di Indonesia semakin sulit dicapai. Situasi saat ini semakin memprihatinkan saat industri media ikut mengkomodifikasi ideologi patriarki.
Dalam perpektif ilmu komunikasi, maka solusi yang bisa dilakukan adalah mendorong anak-anak, remaja dan khalayak lain menjadi lebih kritis terhadap sajian media melalui literasi media. Masyarakat harus tahu bahwa isi media tak terlepas dari siapa yang berada di baliknya, bagaimana proses produksi teks (berita, acara televisi, film dan lain) tak lepas dari latar belakang awak media, kepentingan pemilik modal, pengiklan dan berbagai faktor lain. Literasi media ini tak hanya untuk menipis bias gender dalam masyarakat, namun juga bisa diaplikasikan sebagai usaha menahan gempuran media sosial dalam kehidupan anak dan remaja di segala bidang.
Melalui pendidikan literasi media, seseorang akan memahami bahwa sebagian besar isi media merupakan hasil konstruksi. Guru dan orang tua dapat menjadi ujung tombak usaha pendidikan literasi media, terutama bagi anak dan remaja. “Saya percaya bahwa literasi media merupakan solusi cerdas dan sederhana namun besar dampaknya di kemudian hari untuk mencapai kesetaraan gender di Indonesia,” simpul Prof. Billy Sarwono.