Prof. Dr. Sudarsono Hardjosoekarto resmi dikukuhkan menjadi Guru Besar tetap Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Indonesia, Rabu (25/2/2015). Pengukuhan Prof Dr Sudarsono Hardjosoekarto sebagai guru besar UI digelar dalam Sidang Terbuka UI dipimpin Rektor UI Prof Dr Muhammad Anis, dihadiri Ketua Senat UI, para guru besar, civitas akademika, dan tamu undangan pejabat dan mantan pejabat negara.
Orasi Prof. Dr. Sudarsono Hardjosoekarto mengangkat produksi pengetahuan berbasis pengalaman (experience-based knowledge) dalam kerangka riset tindakan (action research), dan kaitannya dengan peran policy sociology dalam kebijakan berbasis pengetahuan (knowledge-based policy). Produksi pengetahuan berbasis pengalaman dilakukan melalui proses riset tindakan berbasis soft systems methodology atau SSM-based action reseach (Uchiyama, 2009; Stephen, 2009a dan 2009b) yang dipercaya sebagai alat yang powerful untuk produksi pengetahuan berbasis pengalaman dalam kerangka riset tindakan. Pada tahun 2010, saya berinisiatif memperkenalkan SSM dalam riset sociological institutionalism di Universitas Indonesia, khususnya di Departemen Sosiologi FISIP UI. Dalam perspektif Pierre Bourdieu sendiri, produksi pengetahuan melalui pengenalan dan aplikasi SSM-based action research itu berlangsung dalam positional dan relational antara habitus keilmuan (academic habitus), dan modal simbolik (symbolic capital)—dengan dan di dalam—arena keilmuan (academic field), pada disiplin keilmuan sosiologi. SSM-based action reseach ini berbeda dengan riset positivist, di samping memiliki kompatibilitas dengan metode penelitian kualitatif lain—termasuk padanan antara conceptual model dalam SSM dengan ideal typenya Weber’s methodology.
Produksi pengetahuan di UI ini berproses dalam arena internasional dan domestik. Pertama, publikasi artikel pada tahun 2012, merupakan produksi perdana, aplikasi SSM-based action research, yang dihasilkan oleh Universitasi Indonesia, dan yang diterbitkan pada pada Jurnal Sys Prac and Act Res, Springer. Menyusul penerbitan ini adalah permintaan menjadi reviewer pada dua jurnal internasional, dan pemberitahuan beberapa artikel pada jurnal internasional yang melakukan pengutipan (sitasi) atas artikel saya tersebut. Kedua, pada arena keilmuan domestik, sepanjang tahun 2012-2015 tidak kurang dari 81 judul riset berbasis SSM telah diproduksi di Universitas Indonesia meliputi: 5 skripsi, 26 tesis, 37 disertasi, 9 laporan penelitian, 3 publikasi internasional dan 1 buku.
Dalam kaitannya dengan peran policy sociology, perspektif Bourdieu memperkaya arena sosial (social fields) di luar universitas—termasuk political field di Parlemen—, dengan arena keilmuan (academic field) berbagai cabang kelimuan sebagai sub fieldsnya- yang powerful untuk mendukung kebijakan pemerintah berbasis pengetahuan. Pertanyaannya, bagaimanakah ilmu pengetahuan mewarnai setiap kebijakan, sehingga terbentuk kebijakan berbasis pengetahuan (knowledge-based policy).
Checkland and Poulter (2006) dalam “Learning for Action: A Short Definitive Account of Soft Systems Methodology, and Its Use Practitioners, Teachers and Students” mengingatkan bahwa setiap situasi problematik itu dapat diatasi dengan cara: (1) sekedar bertumpu pada pengalaman sebelumnya, (2) direspons secara acak dengan meratapinya, (3) ditanggapi secara emosional, atau (4) diatasi dengan menggunakan—ilmu pengetahuan yang diproduksi dengan alat—, yang cocok untuk itu, yang dalam hal ini disebut sebagai SSM atau lebih konkritnya riset tindakan berbasis SSM atau SSM-based action reseach.
Dalam kaitannya dengan pembentukan sejumlah peraturan perundang-undangan,—seperti UU 18/2001 tentang Otsus Provinsi Nangroe Aceh Darusalam, UU 21/2001 tentang Otsus Papua, UU 2/2008 tentang Partai Politik, Peraturan Gubernur Jambi Nomor 11 tahun 2005 tentang Partisipasi Masyarakat Khususnya Pasangan Calon Pengantin dalam Peningkatan Daya Saing Daerah dan Pelestarian Lingkungan Hidup melalui Budi Daya Tanaman Unggulan dan Komoditi Unggulan Lainnya di Wilayah Provinsi Jambi, dan masih banyak lagi, kebijakan Pemerintah dan pemerintah daerah ini, sesungguhnya memiliki dasar ilmu pengetahuan, dan atau sebaliknya. Berbagai produk legislasi yang telah saya terbitkan,—termasuk Peraturan Gubernur Jambi yang belum pernah ada duanya itu—dapat dibaca sebagai salah satu upaya untuk proses transformasi habitus menuju terbentuknya new (institutional) habitus melalui lingkungan institutional (institutional environment) berupa produk legislasi tersebut. Sulit dipertanggungjawabkan bila kita mengeluarkan kebijakan Pemerintah, pemerintahan daerah dan legislasi di Parlemen semata-mata bertumpu pada pengalaman sebelumnya, coba-coba (trial and error), reaktif, emosional, atau bahkan tanpa menggunakan ilmu pengetahuan yang diproduksi dengan alat yang sepadan untuk itu, atau tanpa dilandasi oleh ilmu pengetahuan (knowledge-based policy).
Jelas sudah, bahwa supaya kebijakan dan program Pemerintah, dan legislasi di Parlemen yang kaya akan perspektif pengetahuan, maka diperlukan engaged scientits, yang bertindak menjembatani antara dunia kampus dengan dunia di luar kampus. Dalam kaitannya antara policy sociology dengan 9 Agenda Prioritas Jokowi-JK yang dikenal dengan istilah NAWACITA beberapa hal perlu difikirkan. Pertama, supaya semua program Pemerintah, pemerintahan daerah dan atau legislasi Parlemen tidak hanya sekedar reaktif, intuitif, coba-coba atau emosional haruslah diberi muatan pengetahuan (knowledge-based government policy). Maka persoalannya adalah bagaimana mewarnai nawacita itu dengan seluruh cabang keilmuan. Dengan kata lain, untuk mewujudkan hal ini, maka perlu didorong sebanyak mungkin para akademisi yang terlibat, engaged-scientists, di semua cabang keilmuan, untuk turut serta membentuk academic fields di berbagai arena sosial tersebut. Kedua, perlu direvitalisasi seluruh badan litbang di kementerian/lembaga, pemerintah daerah dan parlemen, sebagai agen sosial utama—bersama engaged-scientists dari berbagai cabang keilmuan untuk memberi muatan ilmu pengetahuan kepada seluruh kebijakan dan legislasi. Ketiga, perlu didorong program-program kajian yang lebih fokus pada produksi pengetahuan berbasis pengalaman, antara lain melalui aplikasi SSM-based action research. Hal ini sangatlah mungkin dilakukan mengingat Pemerintah telah menetapkan untuk refocussing dan penajaman program kementerian/lembaga sampai dengan senilai 16.1 trilyun rupiah. Menurut hemat saya, nilai 16.1 T yang sebagian besar berasal dari pos paket pertemuan dan perjalanan dinas tersebut dapat dialihgunakan untuk menjamin terwujudnya kebijakan Pemerintah berbasis pengetahuan (knowledge-based government policy) sesuai dengan pokok-pokok fikiran seperti yang telah diuraikan di depan.
Demikianlah pokok-pokok pikiran tentang produksi pengetahuan berbasis pengalaman, khususnya terkait dengan reflexivity atas aplikasi SSM dalam sociological institutionalism, dan pemikiran peran policy sociology dalam mewujudkan kebijakan berbasis pengetahuan. Tamu undangan yang hadir antara lain mantan Wapres Prof Dr Boediono, Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko, Ketua DPD RI Irman Gusman, Ketua MK Prof Dr Arief Hidayat, Wakil Ketua DPD RI Prof Dr Farouk Muhammad, dan puluhan guru besar berbagai perguruan tinggi. (Humas FISIP UI).