Transisi energi dapat didefinisikan sebagai perubahan komposisi atau struktur pasokan energi, di mana terjadi proses pergeseran dari pola penyediaan energi berbasis energi fosil ke energi terbarukan secara bertahap. Hal ini mengacu pada arah perubahan sektor energi global dari sistem produksi dan konsumsi energi berjejak karbon tinggi seperti batu bara, minyak bumi, gas alam beralih ke sumber energi berjejak karbon rendah seperti matahari, angin, panas bumi.
Transisi energi juga menjadi salah satu topik utama dalam Presidensi G20 Indonesia. Oleh karena itu Science20 bekerjasama dengan Energy Transition Working Group, melalui Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Universitas Indonesia (UI), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dan Asian Development Bank (ADB), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), berupaya untuk memastikan ekosistem transisi energi yang optimal serta mensukseskan inisiatif konkret G20 2022, melalui penyelenggaraan rangkaian Webinar Nasional pada Kamis (17/02). Mengangkat tema Webinar Nasional: “Transisi Energi: Menuju Pembangunan Berkelanjutan”.
Transisi energi adalah jalur menuju transformasi sektor energi global dari berbasis fosil menjadi nol karbon. Transisi energi dapat memberikan baik dampak positif maupun negative pada aspek sosial dan ekonomi. Penting bagi pemerintah untuk mengelola dampak dan menjamin proses transisi yang berkeadilan di Indonesia.
Aspek penting dalam mengelola transisi energi dalam bidang sosial seperti, tata kelola yang baik dalam perencanaan jalur transisi, adanya dialog sosial dan kebijakan Perlindungan sosial dan pengembangan keterampilan dalam menghadapi transisi.
Transisi energi tidak semata-mata beralih dari energi fosil ke energi baru terbarukan, namun pemangku kebijakan harus memperhatikan bahwa transisi energi ini diharapkan dapat membangun resilisensi di tengah masyarakat, artinya jangan sampai masa transisi energi ini banyak hal yang dikorbankan.
Guru Besar Antropologi FISIP UI, Prof. Yunita menjelaskan, perubahan pradigma, mengubah mindset untuk keberlanjutan planet dan kemakmuran manusia, bukan lagi untuk menghasilkan keuntungan saja tetapi juga untuk keberlanjutan planet dan kesejahteraan rakyat. Serta mempertimbangkan konteks ekologi lokal dan sosial budaya berdasarkan prinsip pastisipasi inklusi, jadi masyaralat merasa tidak di marjinalkan, dipindahkan dan kehilangan habitatnya demi pengelolaan sumberdaya, contoh waduk dalam skala besar.
“Maka dari pergeseran pradigma pemanfaatan sumber daya alam untuk produksi energi dan transisi dari ‘dirty energy’ ke energi bersih dan terbarukan membutuhkan perubahan mindset pengetahuan dan perspektif semua pihak didukung oleh lembaga sosial, budaya dan ekonomi untuk habitus baru. Jadi perlu disiapkan dan dikembangan untuk perubahan tersebut dengan penyediaan program pendidikan dan literasi agar masyarakat bisa paham apa yang terjadi dilingkungannya, untuk tanggap pada perubahan,” jelas Prof. Yunita.
Menutup acara webinar tersebut, Prof. Yunita mengatakan bahwa, ilmuan sosial budaya ekonomi dan sebagainya untuk mencermati dan menyiapkan berdasarkan pada paradigma yang tidak merusak lingkungan hidup, tidak kontribusi pada emisi gas yang lebih parah lagi serta menyiapkan perubahan habitus ekonomi dan sosial, mindset berkebudayaan dan keadilan menuju planet yang sustainable and people prosperity.