Dosen senior Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI, Makmur Keliat, Ph.D menulis “Pesan Politik Silicon Valley Bank” pada https://www.kompas.id/baca/opini/2023/04/05/pesan-politik-silicon-valley-bank pada Senin (10/04/23). Kasus kolapsnya SVB bukan sekadar fenomena bank gagal mengidentifikasi risiko. SVB telah memasuki ruang abu-abu politik nasional sehingga regulasi menjadi tersandera. Juga dipengaruhi kontestasi geopolitik negara besar.
Apakah kasus kolapsnya Silicon Valley Bank hanya sebatas soal kecerobohan, terutama terkait kegagalan mengidentifikasi risiko-risiko di sektor perbankan? Atau tidak hanya itu?
Tidakkah fenomena bank gagal ini juga tengah menyampaikan pesan politik yang jauh lebih luas di tatanan nasional dan global?
Peristiwa bank gagal mungkin bisa dijelaskan dari pengabaian terhadap risiko. Dari sisi risiko kredit, Silicon Valley Bank (SVB)—berdasarkan sumber informasi terbuka—tampak telah melakukan langkah antisipasi yang baik, yaitu menempatkan 55 persen dari dana deposannya pada surat berharga pemerintah dengan tingkat bunga tetap 3-4 persen untuk kurun 5-10 tahun.
Surat berharga pemerintah adalah suatu safe haven asset. Hampir mustahil membayangkan Pemerintah AS tidak mampu membayar bunga dari penempatan surat berharga semacam itu. Sebagian lagi dari dana deposan itu (45 persen) ditempatkan pada perusahaan teknologi digital yang diyakini tengah mengalami booming.
Namun, dari sisi risiko pasar, terutama karena perubahan tingkat bunga, SVB tampak gagal. Keputusan otoritas bank sentral AS (The Fed) menaikkan tingkat bunga disebutkan telah membuat pendapatan dari obligasi pemerintah tak memadai untuk menutupi tingkat bunga yang harus dibayarkan untuk deposan. Pendapatan dari peminjam lainnya (terutama dari perusahaan teknologi digital, seperti Coinbase dan Sequoia Capital) juga tidak memadai menutupi beban bunga para deposan.
Ketidaksesuaian antara penerimaan pendapatan dari obligasi pemerintah dan tingkat bunga yang harus dibayar kepada deposan inilah (11.638 juta dollar AS) secara teknis merupakan penyebab awal terjadi kepanikan. Hanya dalam tempo 24 jam, terjadi total penarikan 42 miliar dollar AS dan harga saham SVB anjlok dari sekitar 267,83 dollar AS (9/3/2023) menjadi 106,64 dollar AS.
Penarikan tiba-tiba oleh para deposan (bank run) tak dapat dihindarkan dan membuat SVB kolaps, ditutup, dan diambil alih regulator, dalam hal ini Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC), lembaga ekuivalen LPS di AS.
Namun, penjelasan dalam kerangka mikro seperti ini masih menyisakan pertanyaan lanjutan. Mengapa manajemen risiko pasar terpinggirkan? Sebagian analis mengaitkannya dengan pertumbuhan SVB yang terlalu tinggi, tetapi tak berkesinambungan. Dalam kalimat keras, ini mencerminkan ”ketamakan” (greed) pengelolanya.
Jumlah asetnya pada 2020 adalah 115.511 juta dollar AS dan pada 2021 melonjak menjadi 212.001 juta dollar AS. Pertumbuhan yang sangat cepat seperti ini biasanya melahirkan risiko yang lebih tinggi. Namun, penjelasan teknis semacam ini tampak juga tidak mencukupi.
Walau bukan bank kategori sistemik, sulit membayangkan bank sebesar SVB (asetnya lebih besar daripada Bank Mandiri dan BCA jika digabungkan) itu tak memiliki SDM yang paham dan memiliki pengetahuan untuk mengidentifikasi risiko pasar itu. Terlebih lagi, SVB adalah mitra perusahaan modal ventura (di sisi deposan) dan start up (di sisi portofolio).
Dengan terobosan teknologi big data, bukankah risiko itu bisa diidentifikasi sejak awal?
Baca lebih lanjut: https://www.kompas.id/baca/opini/2023/04/05/pesan-politik-silicon-valley-bank