


Hurriyah merupakan staf pengajar tetap pada Departemen Ilmu Politik FISIP UI dan ia juga memimpin dua organisasi akademik, yakni Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) serta Indonesian Scholar on Freedom of Religion or Beliefs (ISFoRB).
Hurriya resmi mendapatkan gelar Doktor dari Sosiologi dengan predikat sangat memuaskan dengan judul disertasi “Politik Kebebasan Beragama Kelompok Minoritas di Indonesia Studi Kasus Sunda Wiwitan Di Kuningan dan Syiah di Sampang” pada Kamis (13/07) di Auditorium Juwono Sudarsono, FISIP UI.
Ia berhasil mempertahankan disertasinya dihadapan para dewan penguji, yaitu Prof. Robert W. Hefner, Dr. Zaenal Abidin Bagir, Inaya Rakhmani, M.A., Ph.D., Dr. Ida Ruwaida, M.Si., dan Lugina Setyawati Setiono, Ph.D. Sebagai ketua sidang, Prof. Doddy Prayogo, MPST. Promotor, Prof. Dr. Iwan Gardono Sudjatmiko serta kopromotor, Dr. Abdul Gaffar Karim, M.A.
Menurut Hurriyah, studi ini membahas isu yang sering terabaikan dalam kajian kebebasan beragama kelompok minoritas: dinamika politik aktor dalam ruang kebebasan beragama. Kontras dengan pendekatan dominan legal-normatif yang menekankan kebebasan beragama sebagai hak dan otonomi individual yang harus dilindungi oleh negara, studi ini menggunakan perspektif kritis yang memosisikan kebebasan beragama sebagai ruang dinamis yang selalu diperebutkan antara negara, kelompok mayoritas, dan kelompok minoritas.
“Berangkat dari asumsi teoretis ruang sipil dan teori pilihan rasional terhadap agama, studi ini memeriksa dinamika politik aktor dalam ruang kebebasan beragama yang ditandai oleh tarik menarik antara upaya pelanggengan diskriminasi negara dan perlawanan kelompok minoritas,” ujarnya.
Untuk mendalami bagaimana dinamika tersebut terjadi dalam setting masyarakat multi agama di Indonesia, studi ini menggunakan studi kasus kelompok mikro pada level meso dan mikro, yakni Sunda Wiwitan di Kuningan dan Syiah di Sampang.
Hurriyah menjelaskan bahwa studi ini menemukan, politik aktor dalam ruang kebebasan beragama Sunda Wiwitan dan Syiah ditandai oleh dinamika hegemoni, kontestasi dan negosiasi yang menghadapkan negara dan kelompok mayoritas dengan kelompok minoritas dan masyarakat sipil, di mana perilaku para aktor dipengaruhi oleh motivasi ideologis dan kalkulasi kepentingan politik rasional.
“Meskipun kedua kasus menunjukkan bahwa diskriminasi negara sangat dipengaruhi oleh beragam faktor lintas sektoral, namun studi ini menemukan ada tiga penyebab utama mengapa ruang kebebasan kelompok minoritas mikro seperti Sunda Wiwitan dan Syiah dibatasi, yaitu munculnya persepsi ancaman konstitutif, serta visibilitas publik dan political salience kelompok minoritas,” ujarnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, perbedaan tingkat dan intensitas ketiga faktor tersebut juga memengaruhi sejauhmana perubahan ruang kebebasan beragama terjadi pada Sunda Wiwitan di Kuningan dan Syiah di Sampang.
Pendekatan eklektik yang memadukan teori ruang sipil dan teori pilihan rasional terhadap agama menawarkan penjelasan yang lebih akurat mengenai dinamika politik kebebasan beragama kelompok minoritas dalam masyarakat yang heterogen seperti Indonesia, sekaligus berkontribusi mengisi kesenjangan dalam kajian kebebasan beragama.