
Asia Research Center (ARC UI), bekerja sama dengan Pusat Studi Politik (PUSKAPOL) FISIP UI dan melalui dukungan dari KURAWAL FOUNDATION, menyelenggarakan diskusi panel tentang ‘Politik Pemilu di Asia Tenggara’ pada Jumat (19/05) di Auditorium Juwono Sudarsono. Diskusi ini diselenggarakan sebagai bagian dari bidang penelitian FISIP UI dalam Ketahanan Demokratis. Diskusi dirancang berdasarkan tinjauan atas keadaan dan lintasan politik elektoral di negara-negara terpilih seperti Malaysia, Indonesia, Kamboja, dan Filipina.
Banyak yang telah ditulis tentang meningkatnya otoritarianisme di Asia Tenggara. Otoritarianisme tidak pernah berdiri kokoh, demokrasi di Asia Tenggara kini menghadapi kemunduran baru sehingga menunjukkan kemunduran besar.
Di Thailand, misalnya, kudeta tahun 2014 memulai periode lain pemerintahan junta. Di Filipina, presiden Rodrigo Duterte telah merusak peradilan dan menindak oposisi politik. Sementara itu, tidak ada tanda-tanda reformasi di negara-negara paling otoriter di kawasan itu, termasuk Laos, Kamboja, Brunei dan Vietnam.
Dengan latar belakang tersebut, urgensi untuk membuka peluang untuk melakukan refleksi kritis terhadap pemilu yang lalu (Filipina dan Malaysia) dan yang akan datang (Thailand, Kamboja, Indonesia) di kawasan Asia Tenggara.

Dalam sambutan pembukaan, Dekan FISIP UI, Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto mengatakan, “saya mengatakan diskusi ini bukan hanya untuk formalitas atau basa basi, ini memang peristiwa yang tepat waktu karena kita semua mengalami stagnasi demokrasi dan banyak negara sedang atau akan segera melakukan pemilihan mereka. Kita dapat melihat apa yang mendorong kemunduran demokrasi ini dan bagaimana kita dapat membalikkannya. Stagnasi di Indonesia dan di seluruh kawasan. Saya berharap ini akan memicu kerjasama internasional dalam isu demokratisasi.”
“Kita bisa sepakat bahwa untuk hari ini, tidak hanya ada stagnasi demokratisasi tetapi juga reka ulangnya. Dalam beberapa tahun terakhir, kita telah melihat keberhasilan pemberontakan dan runtuhnya rezim otoriter,” ujar Hurriyah.
Lebih lanjut Hurriyah mengatakan bahwa Indonesia sebagai pendatang akhir di tahun 1998. Namun perjuangan tersebut memang berat dan berdarah, membutuhkan banyak biaya politik sosial dan ekonomi. Adapun dekade terakhir kita telah mengalami kemunduran demokrasi di Asia Tenggara. Asia Tenggara adalah lahan subur bagi otoritarianisme.
Ia menjelaskan, “kediktatoran komunis di Vietnam dan Laos, kediktatoran kapitalistik di Kamboja, pemerintahan satu partai di Singapura, demokrasi berbasis patronase di Indonesia dan Malaysia, kediktatoran militer di Myanmar, dan kediktatoran monarki di Thailand.”
Di Malaysia, Indonesia, Thailand, dan sebagainya, mobilisasi populisme dan politik identitas menjadi ciri utama yaitu masalah dinasti politik yang mengakar dan tindakan tehnokratis digunakan untuk membungkam suara publik dan lawan politik.

Oleh karena itu, situasi politik elektoral Asia Tenggara saat ini mungkin menunjukkan kecenderungan mendasar dari otoritarianisme yang canggih.
Adopsi demokrasi elektoral bukan karena mereka berada dalam krisis tetapi karena memungkinkan mereka untuk mempertahankan cengkeraman kekuasaan mereka bahkan ketika memungkinkan orang untuk memilih.
Menurut Prof. Maria Ela ada beberapa tantangan yang akan dihadapi seperti dominasi uang, politik keluarga dan politik patronase masih dominan, serta meningkatnya polarisasi dan proliferasi berita bohong di berbagai media, lalu adanya bahaya dari revisionisme historis dan semakin melemahnya institusi dan proses demokrasi.
“Jika kita melihat pemilu, kita harus melihat para elit dan kita perlu melihat bagaimana perilaku mereka dan berapa banyak uang yang mereka berikan kepada pejabat pilihan mereka. Untuk memahami ruang demokrasi bisa menjadi arena elit, kita harus mewaspadai siapa yang membayar dan kita membutuhkan basis lokal yang kuat untuk agenda demokrasi,” ujar Made.
Diskusi ini menghadirkan narasumber Dr. Ross Tapsell (Australian National University), Sam Rainsy (Cambodia National Rescue Party), Made Supriatma (ISEAS-Yusof Ishak Institute), Prof. Maria Ela L. Atienza (University of the Philippines Diliman) dan Hurriyah (Pusat Kailan Politik UI) serta moderator Dr. Inaya Rakhmani (Director of ARC UI).