Simposium Internasional Jurnal Antropologi Indonesia (ISJAI) ke-8 diselenggarakan oleh FISIP UI bekerja sama dengan FISIP Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) di Auditorium Unsrat pada Selasa (02/07). Dalam acara tersebut, Dekan FISIP UI Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto memberikan sambutannya. Ia mengatakan, bahwa kerjasama antar perguruan tinggi di Indonesia harus lebih intensif dilakukan. Guru Besar Antropologi FISIP UI itu mengatakan, “berkaitan dengan tema simposium ini, yaitu peran antropologi di masa krisis multidimensi, ketika berbagai krisis datang, maka para antropolog dituntut untuk memberikan penjelasan yang tajam, mendalam dan holistik.”
Pandemi Covid-19 telah melanda setiap negara di dunia, mempengaruhi kehidupan dengan cara yang luar biasa. Berbeda dengan pandemi Covid-19, tidak semua orang langsung merasakan dampak perubahan suhu global dan aspek perubahan iklim lainnya karena dampak perubahan iklim sebagian besar bersifat jangka panjang, ada sedikit tekanan bagi para pemimpin dunia untuk bertindak cepat untuk mengatasi masalah dan isu-isu dalam meningkatkan kesadaran masyarakat. Namun, tidak ada yang bisa lepas dari konsekuensi yang disebabkan oleh perubahan iklim.
Jika dua atau lebih krisis terjadi secara bersamaan, itu menciptakan potensi risiko synchronous failure yang tinggi. Risiko ini dapat diperburuk oleh kekurangan kapasitas negara untuk menangani bencana dan berdampak secara simultan.
Keyakinan budaya dalam beberapa kasus dapat memobilisasi tindakan untuk mengatasi dampak bencana, tetapi dalam konteks lain juga dapat menghambat mobilisasi praktis dari pemerintah daerah dan masyarakat untuk menangani bencana. Mengingat dimensi sosial, budaya dan politik dari etiologi bencana dan manajemen krisis, Antropologi memainkan peran penting dalam menangani krisis ini.
Melalui simposium ini harapannya dapat memperoleh wawasan tentang bagaimana para antropolog dalam penelitian mereka dan bekerja sama dengan rekan-rekan di latar belakang disiplin lain telah terlibat dengan masalah ini. Perspektif antropologi dapat membuat perbedaan ketika mencoba untuk terlibat dengan isu-isu tersebut dan memberikan kontribusi dalam masyarakat kita untuk mencegah dan mengurangi bencana seperti itu.
Simposium Internasional Jurnal Antropologi Indonesia ini dibuka oleh Wakil Gubernur Sulawesi Utara, serta dihadiri oleh Hilmar Farid, Ph.D selaku Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI dan Dr. Ir. Bambang Supriyanto, M.Sc. sebagai Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI.
Sudah delapan kali Jurnal Antropologi Indonesia Universitas Indonesia menggelar simposium internasional. Kali ini dilaksanakan bekerjasama dengan Jurusan Antropologi Universitas Sam Ratulangi Manado.
“Secara pribadi, saya sangat senang mendapat kesempatan bekerja sama dengan rekan-rekan di Manado. Kerjasama antar perguruan tinggi di Indonesia harus lebih intensif dilakukan. Sehubungan dengan simposium ini, kami menawarkan kepada Universitas Sam Ratulangi dan seluruh peserta untuk lebih bekerjasama dalam menerbitkan artikel di beberapa jurnal dan buku, tidak hanya pada prosiding symposium,” ujar Dekan FISIP UI Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto.
“Menurut saya, sangat tepat memilih Manado untuk menjadi tuan rumah simposium kali ini. Sejak awal, Jurnal Antropologi Indonesia memang berniat mengadakan simposium internasional di luar kampus UI dengan harapan masyarakat lokal lebih banyak sarjana dapat bergabung sebagai pembicara dan peserta,” ujar Prof. Semiarto.
Selain pertimbangan itu, Manado juga merupakan representasi Indonesia yang berbeda dengan wilayah Indonesia bagian barat lainnya seperti Jawa dan Sumatera. Manado, dan banyak wilayah Indonesia bagian timur, mewakili Indonesia yang relatif kurang terpengaruh oleh peradaban Hindu, tetapi lebih mudah menerima pengaruh barat.
Lebih lanjut Dekan FISIP UI tersebut mengatakan, berkaitan dengan tema simposium ini, yaitu peran antropologi di masa krisis multidimensi, saya yakin Manado, Sulawesi Utara, dan Indonesia bagian timur dapat menjadi contoh bagaimana seharusnya para antropolog bekerja. Wilayah Indonesia Timur telah lama menjadi perhatian para antropolog di seluruh dunia. Mereka menghasilkan banyak teori dan penjelasan tentang struktur sosial, simbol, kekerabatan, kearifan ekologi, dll.
Dalam konteks saat ini, ketika berbagai krisis datang, maka para antropolog sekali lagi dituntut untuk memberikan penjelasan yang tajam, mendalam, dan holistik. Di sinilah kita sekarang akan bertabrakan dengan data, mendiskusikan temuan kita, dan menyempurnakan konsep untuk menghasilkan penjelasan baru.
“Saya pribadi terlibat dalam penyelenggaraan rangkaian simposium sebelumnya sejauh ini. Pada kesempatan yang baik ini, saya ingin mengajak para peserta untuk melihat sejarah acara yang rutin diadakan sejak tahun 2000 ini. Simposium ini tidak akan pernah terlaksana tanpa inisiatif dari Prof. Yunita Winarto, Pemimpin Redaksi Jurnal Antropologi Indonesia saat itu,” tutup Guru Besar Antropologi itu.