Depok, 3 Januari 2024 – Promosi doktor Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) Mulyani Rahayu berlangsung pada hari Rabu (3/1) di Auditorium Juwono Sudarsono, FISIP UI. Sidang promosi diketuai oleh Prof. Adrianus Eliasta Meliala, M.Si, M.Sc, Ph.D. Sebagai promotor Dr. Drs. Mohammad Kemal Dermawan, M.Si dan kopromotor Dr. Dra. Vinita Susanti, M.Si. Serta sebagai dewan penguji Dr. Imaduddin Hamzah, S.Psi., M.Si., Lugina Setyawati Setiono, M.A., Ph.D., Dr. Dra. Ni Made Martini Puteri, M.Si., Prof. Dr. Drs. Muhammad Mustofa, M.A.
Mulyani mendapatkan gelar Doktor Kriminologi ke-40 setelah mempertahankan disertasinya yang berjudul “Strategi Pengendalian Perilaku Lesbian Berpendekatan Sosio Kultural di dalam Lembaga Pemasyarakatan Perempuan”.
Lesbian narapidana merupakan sebuah realitas sosial di dalam Lembaga Pemasyarakatan Perempuan. Sebagai sebuah institusi total (total institution), perilaku lesbian tidak dapat dihindari. Tidak dapat dipungkiri, pada kenyataannya, perilaku lesbian ini berpotensi menjadi penyebab konflik antar narapidana dan berujung pada terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban. Kasus lesbian yang terus berulang di hampir seluruh Lapas Perempuan menunjukkan bahwa pencegahan dan penanggulangan belum cukup efektif.
Mulyani mengatakan, penelitian ini mencoba mengurai proses dan dinamika lesbian narapidana perempuan di dalam Lapas serta mencari strategi pengendalian yang dapat diterapkan oleh pihak Lapas. Dalam proses dan dinamika lesbian yang terjadi, peneliti mengulasnya dengan menggunakan beberapa teori yang akan melihat persoalan ini secara lebih holistik.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan menggunakan teknik penggalian data berupa wawancara semi terstruktur dan observasi serta studi kepustakaan. Sebanyak 24 narapidana perempuan, petugas jaga, pejabat pemasyarakatan, psikolog dan akademisi menjadi narasumber dalam penelitian ini.
“Bahwa bentuk pemidanaan dengan memasukkan seseorang ke dalam Lembaga Pemasyarakatan menimbulkan beberapa kesakitan (pains of imprisonment). Salah satu bentuk dari pains imprisonment adalah hilangnya hak untuk melakukan hubungan seksual dengan lawan jenis,” ujar Mulyani.
Lebih lanjut ia mengatakan, “Yang terjadi kemudian adalah terjadinya hubungan seksual dengan sesama jenis, yang dalam Lapas Perempuan disebut dengan lesbian (dilakukan oleh sesama perempuan). Perilaku lesbian ini merupakan realitas yang terdapat di dalam Lapas Perempuan yang tidak dapat dipungkiri. Selain itu, perilaku lesbian juga merupakan keniscayaan yang tidak dapat dicegah.”
Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat berbagai akar penyebab narapidana menjadi lesbian di dalam Lapas. Perbedaan akar penyebab sekaligus juga membuat peneliti dapat mengkategorisasikan pada penamaan tertentu yaitu tipe lesbian narapidana.
Mulyani menjelaskan lebih lanjut, berdasarkan pengolahan dan analisis data, diperoleh hasil, pertama, dalam konteks proses dan dinamika lesbian di dalam Lapas Perempuan, ditemukan tiga tipe lesbian yaitu pure lesbian, lesbian by forced dan lesbian by choice. Pure lesbian merujuk pada narapidana lesbian sebelum dirinya masuk ke dalam Lapas. Sementara itu, lesbian by forced merupakan tipe lesbian yang sangat dipengaruhi oleh adanya relasi kuasa dalam Lapas. Sedangkan lesbian by choice adalah tipe lesbian yang terjadi karena adanya pertukaran sosial antar narapidana.
“Kedua, strategi pengendalian perilaku lesbian dilakukan dengan menggunakan strategi pencegahan melalui pendekatan sosio kultural yang bertujuan untuk mengurangi eksistensi dan efek dari subkultur lesbian di dalam Lapas Perempuan serta menerapkan prinsip-prinsip situational crime prevention yaitu dengan menggunakan model dua tahap kontrol situasional penjara yang mengintegrasikan pendekatan soft dan hard,” jelas Mulyani.
Mulyani menambahkan, penggunaan strategi multi-agency crime prevention dengan melibatkan banyak lembaga, organisasi, dan pemangku kepentingan yang bekerja sama untuk mencegah kejahatan dan mengurangi dampaknya terhadap masyarakat dan menggunakan pendekatan peacemaking criminology menjadi prinsip dalam upaya memperbaiki kondisi dan hubungan antara narapidana perempuan, petugas Lapas, dan masyarakat untuk membantu menciptakan lingkungan yang lebih manusiawi dan lebih efektif dalam mengurangi lesbian.