
Asia Research Centre (ARC UI), bekerja sama dengan Pusat Studi Politik Universitas Indonesia (PUSKAPOL UI) dan melalui dukungan International Development Research Centre (IDRC), menyelenggarakan diskusi panel tentang “Rohingya: Forced displacement and The Politics of Resentment in Southeast Asia” pada Rabu (21/05) di Auditorium Juwono Sudarsono, FISIP UI.
Diskusi panel ini bertujuan untuk mempertemukan akademisi, intelektual publik, dan praktisi untuk berbicara dan merefleksikan masalah pengungsi Rohingya di beberapa negara: Malaysia, Indonesia, dan Thailand. Sebagai pembicara Dr. Nyi Nyi Kyaw (Bristol University), Prof. Paula Banerjee (Center on Gender and Forced Displacement, Asian Institue of Technology), Dr. Aizat Khairi (National University of Malaysia), Dr. Hurriyah (Universitas Indonesia), Yuyun Wahyuningrum (ASEAN Parliamentarians for Human Rights), dan di moderatori oleh Diatyka Widya Permata (ARC UI).
Kyaw menjelaskan bahwa, Rohingya adalah minoritas muslim di Myanmar yang mayoritas beragama Buddha. Rohingya adalah sekitar setengah dari muslim Myanmar, Rohingya terkonsentrasi di Negara Bagian Rakhine di sebelah barat Myanmar yang berbatasan dengan Bangladesh. Di Negara Bagian Rakhine, Rohingya memiliki hubungan yang kontroversial dengan mayoritas Buddha Rakhine
Ribuan orang melarikan diri dari penganiayaan di Myanmar, masuknya pengungsi Rohingya ke negara-negara tetangga telah menimbulkan reaksi beragam. “Pengungsian Rohingya adalah salah satu tantangan kemanusiaan yang paling rumit dan berkelanjutan di Asia Tenggara. Pengungsian ini melampaui batas negara dan menyentuh isu-isu keamanan manusia, gender, mobilitas, dan kapasitas kelembagaan,” ujar Paula.
Sebagian besar Rohingya telah melarikan diri ke Cox’s Bazar, Bangladesh, meskipun beberapa telah pindah ke Malaysia, Indonesia, dan Thailand. Negara-negara ini, yang dulunya menyambut para pengungsi, semakin menjauhi mereka.
Masuknya pengungsi Rohingya ke negara-negara ini telah meningkatkan tantangan sosial ekonomi lokal dan memicu sentimen anti-Rohingya, yang sebagian besar didorong oleh kebijakan pemerintah, narasi media, dan masyarakat sipil yang lemah.
Menurut Hurriyah, tahun 2023 menjadi turning point, masuknya pengungsi Rohingya di Indonesia meningkatkan prasangka karena perbedaan budaya dan kurangnya integrasi. Keluhan sosial-ekonomi yang dipicu oleh pelanggaran hukum syariah, persaingan kerja. Perubahan kebijakan pemerintah juga mempengaruhi seperti transisi dari pendekatan kemanusiaan ke pendekatan sekuritisasi, dari pengungsi ke imigran ilegal.
“Kebijakan pemerintah Indonesia seharusnya seperti soft diplomacy, yaitu mendorong intervensi internasional, dan mempromosikan penyelesaian konflik. Selain itu peran pemerintah seharusnya memberikan dukungan bagi pengungsi, menciptakan lingkungan yang ramah dengan menerapkan kebijakan yang mengutamakan hak asasi manusia, inklusivitas, dan kohesi sosial. Serta melaksanakan kebijakan yang konsisten, tidak melemahkan upaya kemanusiaan dengan juga mempromosikan narasi yang lebih bermusuhan,” jelas Hurriyah.
Awalnya mengadopsi pendekatan politik terhadap krisis, negara-negara Asia Tenggara telah bergeser ke arah sikap yang lebih aman, dengan menganggap pengungsi sebagai ancaman terhadap keamanan dan stabilitas nasional. Pergeseran ini telah diperkuat oleh media yang membesar-besarkan Rohingya sebagai beban ekonomi atau risiko keamanan, yang memperkuat persepsi publik yang negatif.
Yuyun menjelaskan, strategi untuk melawan kebencian dengan kerja sama regional dan pembagian tanggung jawab, program integrasi berbasis masyarakat, kampanye literasi media dan informasi, dan advokasi hukum dan reformasi perlindungan pengungsi.
“Peran Anggota Parlemen ASEAN dan masyarakat sipil juga sangat penting seperti menggunakan diplomasi parlemen untuk mendorong pendekatan berbasis hak asasi manusia, membangun narasi nasional yang inklusif, memfasilitasi dialog antara masyarakat tuan rumah dan pengungsi, serta memperkuat pengawasan domestik terhadap perlakuan terhadap pengungsi,” ujar Yuyun.
Ilmu sosial berpotensi memberikan wawasan berharga tentang krisis kontemporer, termasuk yang terkait dengan situasi pengungsi Rohingya. Oleh karena itu, diskusi panel ini juga ingin memperkuat hubungan antara akademisi dan masyarakat sipil untuk berkontribusi pada hak asasi manusia serta promosi dan pembangunan perdamaian.
Diskusi panel ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap meningkatnya kebencian terhadap pengungsi Rohingya di negara-negara Asia Tenggara sekaligus mengidentifikasi strategi untuk melawannya.


