Reformasi demokratisasi telah membawa banyak kemajuan dalam mewujudkan konsolidasi demokrasi, salah satunya adalah kemajuan signifikan dalm hal kebebasan berpendapat, berkumpul dan berserikat serta hak-hak sipil dan politik oleh PBB. Namun, ternyata masih terdapat perkembangan yang tidak diharapkan sehingga menjadi kendala dalam perwujudan konsolidasi demokrasi. Situasi ini muncul karena dalam proses transisi terdapat proses politik yang kompleks melibatkan berbagai kelompok dan aktor yang bersaing untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan (ekonomi dan politik). Eksistensi kelembagaan politik formal dan partai pemilu dalam proses politik yang kompleks tersebut agaknya memerlukan refleksi untuk mengukur perubahan dan keberlanjutannya dalam era reformasi.
Refleksi ini dikemukakan oleh Valina Singka Subekti, Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI, dalam acara seminar nasional yang diselenggarakan Departemen Ilmu Politik FISIP UI pada senin (14/05), bertempat di Auditorium Juwono Sudarsono.
Valina memulai paparannya dengan bahasan amandemen konstitusi sebagai bagian dari upaya pembaharuan lembaga-lembaga politik demokrasi yang menjadi prasyarat demokratisasi dan memungkinkan Indonesia melanjutkan transisi demokrasinya lebih lanjut setelah UUD 1945 diamandemen oleh MPR RI empat tahap tahun 1999-2002. Amandemen ini telah mengubah secara mendasar distribusi kekuasaan antar cabang kekuasaan dengan konsep separation of power guna memperkuat kedaulatan rakyat dan disain pemerintahan presidensial.
Pada saat yang sama, partai politik dan pemilihan umum juga diberi peran signifikan oleh konstitusi oleh karena posisinya yang sentral dalam membentuk parlemen dan pemerintahan yang sesuai kehendak suara rakyat. Peran signifikan berupa kewenangan strategis itu menjadi semacam harapan besar partai politik akan bergerak mengubah dirinya menjadi partai reformis yang benar-benar bekerja untuk kepentingan rakyat terutama sebagai mediator antara rakyat dengan pemerintah. Namun belakangan terjadi penurunan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik akibat kinerja partai yang dipandang buruk, dan krisis kepercayaan itu saat ini semakin tinggi. Valina mengatakan bahwa partai lebih banyak memperjuangkan kepentingannya sendiri dalam mendapatkan jabatan kekuasaan, kurang mampu menyerap dan menyalurkan aspirasi rakyat sehingga kurang dirasakan kehadirannya.
“Partai juga selalu berputar dalam konflik internal yang tidak berkesudahan serta perilaku koruptif dan aji mumpung kader-kader partai.” ungkapnya.
Peran ideal partai politik sebagai mediator aspirasi warga negara dengan pemerintah menjadi senjang dengan realitas empirik politik Indonesia yang mengesankan partai politik hanya menjadi kendaraan politik sekelompok elite dan menjadi alat sebagian orang yang beruntung memperoleh kursi kekuasaan untuk memperjuangkan kepentingan personal dan kelompoknya. Dari hal ini, Valina menggarisbawahi beberapa persoalan yang harus dibenahi untuk memperkuat pelembagaan partai, yakni masalah kepemimpinan dan manajemen organisasi partai, sistem rekrutmen dan kaderisasi partai serta masalah pendanaan partai.
Demi keberlanjutan demokratisasi , saran yang diberikan Valina merujuk pada kajian dri Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP UI tahun 1998-2010 mengenai reformasi internal partai politik yang masih sangat relevan. Ia menyebut agenda reformasi kepartaian perlu terus didorong dengan cara merancang model-model pembaharuan partai politik seperti platform partai, manajemen konflik, rekrutmen dan kaderisasi, serta pendanaan partai.
Untuk reformasi pemilu, pasca amandemen konstitusi Indonesia telah berhasil menyelenggarakan pemilu yang lebih terbuka dan langsung. Reformasi sistem pemilu dilakukan dengan merekayasa (political institutional engineering) beberapa ketentuan dalam bagian sistem pemilu, namun sampai saat ini belum mampu menghasilkan penyederhanaan sistem kepartaian dari segi jumlah dan ideologi.
“Semakin banyak partai di parlemen semakin tinggi fragmentasi politik dan semakin sulit membangun koalisi yang permanen”, tutur Valina.
Ia mengatakan perlunya sistem pemilu direkayasa kembali supaya mampu menghadirkan jumlah partai yang sederhana, yakni antara 5-7 partai, dan perlunya aspek budaya politik dibangun dengan diiringi penguatan tingkat sosial ekonomi dan pendidikan masyarakat.