Para akademisi dan jurnalis dari Indonesia, Norwegia, Pakistan, dan Bangladesh mendiskusikan persoalan kebebasan bereksresi dalam seminar internasional dengan tema Media, Extremism and Freedom of Expression di Jakarta pada 18-19 Februari 2011. Seminar ini diselenggarakan oleh Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI bekerjsama dengan Oslo University College dari Norwegia.
Seminar ini membahas sub topik peran media dalam wacana agama dan demokrasi, tantangan dalam peliputan mengenai isu agama, media dan agama: negara dan narasi, impelementasi ‘kebebasan berekspresi’ dalam masyarakat yang bergerak ke arah demokrasi, serta peran kebijakan media, Intervensi dan self-regulation.
Kegiatan ini merupakan kelanjutan dari acara serupa di Pakistan dua tahun silam. Berkat Global Intermedia Dialogue sepanjang tahun 2006 hingga 2008, yang diprakarsai oleh Kementerian Luar Negeri Indonesia dan Norwegia, seminar ini berhasil mengumpulkan 50 jurnalis, editor, praktisi media, dan akademisi dari University of the Punjab Pakistan, Universitas Indonesia, dan University of Dhaka Bangladesh. Tahun ini, UI menjadi tuan rumah seminar yang rutin diadakan secara bergiliran di keempat negara tersebut.
Apakah media mampu berperan sebagai mediator konflik sosial? Bagaimana memberitakan isu sensitif dengan cara yang tidak sensasional? Adakah ruang untuk keragaman pendapat? Bagaimana jurnalis meningkatkan pengetahuan dan kesadaran mereka terhadap isu-isu agama yang sensitif? Secara garis besar, empat pertanyaan itulah yang diangkat selama diskusi.
Kebebasan berbicara dan pemberitaan isu agama atau konflik politik terlihat jauh lebih berbahaya di Asia, terutama di Pakistan, dibandingkan Norwegia. Jurnalis sekaligus editor Geo TV, Hamid Mir mengatakan, Pakistan adalah contoh buruk sebagai akibat dari perang melawan teror, dan polarisasi di tengah masyarakat meningkat setiap harinya. Menurutnya, kini yang diperlukan adalah kode praktek, bukan kode etik yang mempromosikan isu etnis dan rekonsiliasi agama. Sedangkan menurut pembicara dari Bangladesh, Shameem Reza, media massa memiliki andil memberikan gambaran tentang aktivitas para teroris untuk menyadarkan masyarakat atas apa yang sebenarnya mereka bela. Pendapat serupa juga disampaikan oleh para jurnalis Norwegia, seperti Yama Wolasmal dan Gro Holm; mereka menambahkan bahwa jurnalis bertanggung jawab atas bagaimana ekstremis dan teroris terwakili di media.
Sekarang menjadi jelas bahwa reaksi yang muncul cukup berbeda ketika mengekspos pandangan ekstrem di media Barat dan non-Barat. Dan tempat yang paling berbahaya dalam hal ini nampaknya Pakistan. Seorang partisipan dari Universitas Punjab menyebut hubungan antara terorisme dan media Pakistan, terutama media elektronik, sebuah “simbiosis”. Ia mengumpamakan, terorisme adalah “pertunjukan teater”, dan serangan teroris adalah “koreografi” untuk menarik perhatian media.
Perkembangan diskusi kemudian mengarah kepada kritik terhadap peggunaan bahasa pada narasi berita sehingga menyebarkan ketakutan, sensasionalisme, dan kompetisi tidak sehat pada breaking news, seperti yang diungkapkan oleh Ade Armando dari Universitas Indonesia, banyak terjadi di media massa termasuk Indonesia. Padahal, hanya medialah yang dapat menghentikan ekstrimis dengan membuat orang sadar akan apa yang sebenarnya diperjuangkan oleh kaum ekstrimis.