


Rini Wulandari menjadi Doktor Kriminologi ke-38 dengan predikat cumlaude. Ia mengangkat judul disertasi “Strategi Soft Law Dalam Konstruksi Politik Kriminal Anti-Money Laundering dalam Menjaga Kedaulatan Hukum di Indonesia (Studi Global Criminology)”. Promosi Doktor Rini Wulandari dilaksakan pada Senin (17/7) di Auditorium Juwono Sudarsono FISIP UI.
Ketua sidang promosi doktor, Prof. Dr. Iwan Gardono Sudjatmiko. Selaku promotor, Dr. Drs. Mohammad Kemal Dermawan, M.Si., dan kopromotor, Dr. Vinita Susanti, M.Si., serta para dewan penguji Prof. Dr.-der.Soz. Drs. Rochman Achwan, MDS., Prof. Dr. Muhammad Mustofa, M.A., Dr. Ida Nurhayati, S.H., M.H., dan Dr. Dra. Ni Made Martini Puteri, M.Si.
Pada Juni 2001, Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) melalui lembaga Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) memasukkan Indonesia ke dalam daftar negara yang Non-Cooperative Countries and Territories (NCCTs) terkait pemberantasan kejahatan pencucian uang.
Selain itu, Indonesia juga terancam sanksi counter measures oleh negara-negara anggota FATF. Sanksi itu bisa dalam bentuk hambatan terhadap transaksi perbankan dan anggapan bahwa seluruh transaksi yang berasal dari Indonesia merupakan suatu suspicious transaction dan dikategorikan sebagai negara berisiko tinggi.
Masuknya Indonesia ke dalam daftar hitam FATF karena dinilai sebagai negara yang tidak saja tidak kooperatif dalam pemberantasan pencucian uang di dunia, tetapi juga terlambat mengkriminalisasikan pencucian uang.
Dampaknya adalah negara-negara lain akan menutup diri karena FATF memiliki sumber daya untuk menekan negara-negara manapun yang tidak memiliki rezim anti-money laundering berstandar internasional.
Penelitian ini bertujuan mengkaji strategi “soft law” kebijakan kriminal anti-pencucian uangdi Indonesia di bawah payung hukum internasional tentang anti-money laundering (AML).
Berdasarkan identifikasi, eksplorasi dan interpretasi data penelitian ditemukan tiga strategi kebijakan kriminal anti pencucian uang di Indonesia. Pertama, kebijakan anti-pencucian uang perlu mengharmonisasi standar hukum internasional terkait tindak pidana pencucian uang.
Perbedaan sistem hukum tidak semestinya menjadi hambatan bagi Indonesia untuk mengadopsi atau mengikuti rekomendasi Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF). Adanya satu standar hukum global akan memudahkan Indonesia melakukan penegakan hukum karena Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) merupakan kejahatan lintas negara dan lintas yurisdiksi yang memerlukan kesamaan visi internasional.
Kedua, kebijakan anti-pencucian uang di Indonesia perlu disesuaikan dengan konteks hukum nasional, normal sosial dan budaya yang hidup di masyarakat serta kompleksitas kejahatan pencucian uang itu sendiri. Sehingga ada usulan agar UU PPTPPU yang berlaku saat ini perlu direvisi untuk menjangkau kemutakhiran modus kejahatan pencucian uang.
Terakhir, strategi soft law dalam konstruksi kebijakan anti-pencucian uang perlu diimplementasikan dengan mempertajam aturan dan norma-norma turunan yang di dalam peraturan yang dibuat lembaga penegak hukum dan pemegang peran seperti Polri, PPATK, Bank Indonesia dan OJK. Aturan-aturan tersebut bisa langsung mengadopsi ketentuan-ketentuan yang merupakan rekomendasi FATF dan UU PPTPPU.
Berdasarkan temuan dan pembahasan dalam penelitian ini, maka ada beberapa saran yang dapat direkomendasikan kepada pemerintah dan DPR sebagai pembuat undang-undang dan lembaga pemegang peran serta institusi penegak hukum sebagai pelaksana aturan, yaitu pemerintah dan DPR mempercepat pembahasan RUU Perampasan Aset yang saat ini sudah masuk ke DPR. RUU ini diharapkan mampu menindak koruptor yang merugikan negara dengan menyita aset dan menerapkan pidana berat dan alam proses peradilan, penegak hukum tidak perlu melihat tindak pidana asal untuk menjerat pelaku tindak pidana pencucian uang.