Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 yang berlaku efektif sejak 1 Januari 2016, terdapat ketakutan di masyarakat Indonesia bahwa pasar tenaga kerja di Indonesia akan dibanjiri tenaga kerja asing. Hal ini merupakan suatu potensi masalah mengingat jumlah pengangguran di Indonesia saat ini mencapai 5,8 persen, jauh diatas Thailand (0,8%), Singapura (2%) dan Malaysia (2,9%).
Menanggapi hal tersebut, Kemenlu RI bekerja sama dengan Pusat Studi ASEAN & FISIP Universitas Indonesia mengadakan Forum Kajian Kebijakan Luar Negeri (FKKLN) bertajuk “Strategi Tenaga Profesional Indonesia Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN” di Gedung Auditorium Juwono Sudarsono, FISIP UI Depok pada Selasa (3/5/2016).
Forum ini mengundang stakeholders dari kalangan pemerintah, akademisi, dan media untuk mendapatkan sudut pandang yang berimbang, tentang bagaimana menjadikan Indonesia tidak hanya bertahan dalam MEA, tapi juga menjadi juara.
Satu hal yang menjadi fokus forum ini adalah pengenalan Mutual Recognition Agreement (MRA) atau harmonisasi peraturan serta pengakuan bersama standar kompetensi pekerja professional bagi delapan jenis profesi, yaitu insinyur, arsitektur, perawat, dokter, dokter gigi, akuntan, land surveyor, dan pekerja pariwisata. Dengan MRA, kompetensi delapan jenis profesi akan distandarisasi sehingga bebas bekerja di seluruh negara anggota ASEAN.
Terlepas dari fakta bahwa Indonesia mempunyai angka pengangguran yang tinggi (5,8%) namun nyatanya stok tenaga kerja profesional dalam negeri tidak sebanding dengan kebutuhan yang terus meningkat tajam. Menurut Asosiasi Profesi Tenaga Terampil dan Ahli Indonesia (APTA), hingga 2019, Indonesia akan mengalami defisit 120.000 Insinyur Sipil dan defisit 190.000 Tenaga Medis.
Adanya MEA dapat menjadi kesempatan bagi tenaga kerja yang belum terserap oleh pasar dalam negeri untuk bekerja di level ASEAN, dengan catatan bahwa tenaga kerja ini mau dan mampu bersaing di tingkat regional. Kuncinya sederhana, yakni mengambil sertifikasi MRA.
Dengan berlakunya MEA, idealnya saat ini tenaga kerja profesional Indonesia berlomba-lomba untuk mendapatkan sertifikat MRA. Sayangnya kurangnya sosialisasi membuat banyak tenaga kerja profesional belum aware akan keberadaan sertifikat ini. Menurut Bank Dunia, terdapat kesenjangan besar dalam kualitas pekerja terampil Indonesia. Kesenjangan terbesar adalah penggunaan bahasa Inggris (44%), keterampilan penggunaan komputer (36%), keterampilan perilaku (30%), keterampilan berpikir kritis (33%), dan keterampilan dasar (13%).
Dalam forum ini menghadirkan narasumber–narasumber kunci pembuat kebijakan seperti Duta Besar Rahmat Pramono (Wakil Tetap RI untuk ASEAN), Ir. Sumarna F. Abdurahman, M.Sc. (Ketua Badan Nasional Sertifikasi Profesi), Mohammad Faisal, Ph.D. (Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia), M. Hery Saripudin (Kepala Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kawasan Asia Pasifik dan Afrika-Kementerian Luar Negeri RI), Salman Al Farisi (Plt. Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan-Kementerian Luar Negeri RI), Drs. Makmur Keliat, Ph.D. (Ketua Divisi Kerja Sama Asia Timur, Pusat Studi ASEAN-Universitas Indonesia), Dr. Ir. Hermanto Dardak, M.Sc., IPU (Ketua Umum Persatuan Insinyur Indonesia), Hanif Fadhillah, SKp., S.H. (Ketua Umum Persatuan Perawat Nasional Indonesia), Edy Prasetyono, S.Sos., MIS, Ph.D. (Direktur Eksekutif Pusat Studi ASEAN-Universitas Indonesia), dan Bahriyansyah (Ketua Umum Asosiasi Pelaku Pariwisata Indonesia).
Tujuan forum ini menghasilkan kajian yang dapat menghasilkan solusi praktis untuk menjadikan Indonesia tidak hanya bertahan, tapi tetap menjadi juara di ASEAN.