Beberapa waktu lalu netizen Indonesia dihebohkan dengan video mahasiswa salah satu universitas di Makassar yang mengaku sebagai gender netral, lalu hal tersebut itu mendapatkan respon negatif dari dosennya. Dalam konteks perkembangan globalisasi dan informasi muncul berbagai macam istilah salah satunya gender netral, secara umum masyarakat Indonesia mungkin masih bingung dengan gender netral. Maklum saja, istilah maupun konsep tersebut belum terlalu populer di Indonesia, apalagi diterapkan oleh seseorang secara terang-terangan.
Gender netral adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan seseorang yang tidak mengidentifikasi dirinya secara eksklusif sebagai laki-laki atau perempuan. Namun sudah siapkah Indonesia dengan gender netral ini? Beberapa dosen FISIP UI yang juga aktif terkait isu-isu gender dan seksualitas memberikan pandangannya, yaitu Dr. Irwan Martua Hidayana (Ketua Departemen Antropologi FISIP UI), Endah Triastuti, Ph.D (Dosen Departemen Ilmu Komunikasi) dan Dra. Ani Widyani, M.A (Dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional).
Non binary atau gender netral adalah konsep yang terpisah dengan orientasi seksual seseorang maupun jenis kelamin yang ditetapkan sejak lahir. “Bicara soal gender di Indonesia, secara umum masyarakat berfikir bahwa gender itu laki dan perempuan. Realitas sosial di masyarakat kita bahwa gender itu ternyata tidak sesederhana laki dan perempuan, karena cukup banyak orang-orang yang mengidentifikasi dirinya bukan laki dan juga bukan perempuan,” ujar Irwan.
Lebih lanjut Irwan mengatakan, “yang perlu dipahami bahwa sebenarnya di berbagai macam tradisi dan kebudayaan di Indonesia dikenal juga bentuk-bentuk gender yang berbeda seperti transgender.”
Menurut Ani, fenomena identitas gender seperti ini sebetulnya bukan hal baru dan di Indonesia bisa ditemui di berbagai tempat misalnya Calabai, Calalai di Sulawesi Selatan, pentas ludruk di Jawa Timur dan sebagainya. Jadi masyarakat dan lingkungan setempat sebetulnya telah hidup berdampingan sejak lama dengan damai.
Sudah siapkah indonesia menerima gender netral
Endah mengatakan bahwa masyarakat Indonesia sekarang tidak siap. Berbeda dengan dua puluh atau tiga puluh tahun lalu, masyarakat Indonesia justru siap menerima gender netral atau gender yang lebih dari dua, karena kalau kita lihat dibeberapa kelompok budaya memang ada yang seperti itu, contohnya di Sulawesi Utara, NTB, Padang, Jawa Timur dan Gorontalo. Sejak tahun 1980-an ketika WHO mengatakan virus HIV/AIDS sebagai penyakit penyimpangan seksual, mulai saat itu masyarakat Indonesia tidak siap menerima hal yang seperti itu.
Menurut Irwan, soal pemahaman dan pengetahuan tentang apa itu gender, perlu adanya lebih banyak informasi karena memang ada orang-orang disekitar kita yang tidak ingin di identifikasi sebagai laki-laki maupun perempuan.
Non binary dianggap melenceng dari pengetahuan agama dan norma. “Namun saya pikir sebagai individual mempunyai personal value tetapi disisi lain kita mempunyai lingkungan sosial yang harus berinteraksi, dalam konteks itu kita tidak bisa memaksakan personal value kita kepada orang lain. Jadi kita harus respect dan apresiasi. Jangan sampai melakukan diskriminasi seperti ejekan atau bahkan diskriminasi secara fisik kepada seseorang yang non binary,” ujar Irwan.
Endah menambahkan, “orang Indonesia itu menarik di satu sisi tidak suka westernisasi tapi di sisi lain melupakan kearifan lokal, ketika gender netral ini bertentangan dengan nilai Indonesia itu hanya jargon tetapi tidak paham nilai yang mana.”
Pemerintah sebaiknya mengedepankan hak asasi orang yang melabeli dirinya sebagai gender netral
Irwan mengatakan bahwa Indonesia itu ‘bhineka tunggal ika’ bukan hanya beragam ras, suku atau agama saja tapi juga beragam gender yang ada di negara ini dan kalau berbicara mengenai HAM bahwa kita harus respect, memenuhi hak dan mengapresiasi.
Terkait dengan yang terjadi dengan mahasiswa di salah satu universitas Makassar tersebut Endah sangat menyayangkan karena terkait gender netral di Indonesia pemerintah tidak mendukung dan tidak menolak juga. Jadi sebenarnya tidak ada hukum, policy, ataupun aturan yang melarang, “menurut pandangan saya, boleh saja seseorang mempunyai gender netral tetapi harus fleksibel dan melihat kondisi.” ujarnya.
Menurut Ani, fenomena identitas seksual ini harus disikapi dengan bijak dan tidak berlebihan, identitas seksual ini bukan penyakit, bukan sampah yang harus di hindari atau kejahatan. Hak dasar sebagai manusia harus dipenuhi dan jangan dijadikan sasaran kebencian atau bahkan sasaran assault.
Ruang berekspresi di Indonesia untuk gender netral
“Ruang berekspresi untuk gender netral ini yang paling menonjol adalah diruang virtual atau media sosial. Sukup banyak komunitas-komunitas yang berinteraksi lewat ruang virtual dimana mereka bisa mengekspresikan identitas gendernya,” ujar Irwan.
Senada dengan hal tersebut, Endah mengatakan bahwa diruang offline gender seperti ini masih belum terlalu open dan menunjukan dirinya, berbeda diruang online mereka lebih berani open dan menunjukan dirinya, contohnya seperti seorang dokter yang mengaku sebagai gay yang memberikan edukasi mengenai kesadaran kesehatan seksual di media sosial walaupun ada saja yang menghujat tapi ada pula yang merespon positif.
Menurut Ani, di indonesia ruang berekspresi belum cukup tersedia. Kelompok seperti ini masih jadi sasaran penyerangan, kebencian dan banyak dari mereka dihinggapi ketakutan untuk mengekspresikan dirinya. Maka diruang publik umum tidak aman untuk mereka.