Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto selaku Dekan FISIP UI menghadap Rektor Universitas Indonesia dalam rangka membahas rencana kegiatan menyambut 100 Tahun Prof. Koentjaraningrat pada hari Jumat (8/4/2022) di Gedung Pusat Administrasi Universitas Indonesia.
FISIP UI bersama FIB UI, dan keluarga Koentjaraningrat mempersiapkan kegiatan perayaan 100 Tahun Prof. Koentjaraningrat. Kepanitiaan kegiatan ini dipimpin oleh Dr. Kartini Sjahrir dengan melibatkan tim dari FISIP UI, FIB UI, dan alumni senior dari Antropologi.
Prof. Koentjaraningrat merupakan pendiri Departemen Antropologi di Universitas Indonesia (yang awal mulanya tergabung dalam Fakultas Sastra, lalu pada tahun 1983 bergabung dalam Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI) serta merupakan pelukis dan penari terkemuka di Indonesia.
FISIP UI turut berbangga atas prestasi serta kontribusi keilmuan dan kebudayaan yang diberikan beliau semasa hidupnya Melalui rencana kegiatan yang dibahas dalam rapat ini, diharapkan pula khalayak umum serta sivitas akademika UI dapat kembali merefleksikan kehidupan berbangsa dan berbudaya melalui karya nyata yang pernah ditorehkan oleh Prof. Koentjaraningrat semasa hidupnya.
Celerina Dewi Hartati berhasil menyandang gelar doktor Antropologi. Setelah berhasil mempertahankan hasil disertasinya yang berjudul “Sakral dan Profan dalam Dimensi Ruang dan Waktu: Studi Kasus Upacara di Kelenteng Hok Lay Kiong Bekasi” di hadapan para penguji. Sidang promosi doktor Celerina dilaksanakan pada Jumat (03/01) di Auditorium Juwono Sudarsono FISIP UI.
Latar belakang disertasi ini adalah religi rakyat
Cina yang sering diartikan dengan
ciri-ciri sinkretis antara ajaran Daoisme, Konghucu dan Buddha seperti yang
didefinisikan oleh para misionaris Yesuit yang datang ke Tiongkok pada awal
tahu 1600 dan juga di definisikan sebagai beragam takhayul yang dilakukan
secara massa.
Selain itu religi rakyat juga di definisikan sebagai
unsur keseluruhan budaya orang Cina dan juga sebagai suatu proses pembentukan
makna yang berubah-ubah.
Religi rakyat Cina dapat di definisikan dalam dua konsep, yaitu religi rakyat Cina adalah religi kelas bawah atau disebut juga religi rakyat jelata. Serta religi rakyat Cina yang di praktikan hampir semua orang Cina di mana pun terlepas dari status sosial dan ekonomi, tingkat pendidikan, wilayah atau identifikasi agama tertentu.
Praktik kepercayaan orang Cina yang merupakan religi rakyat ini terlihat dari upacara-upacara yang diselengarakan di Klenteng Hok Lay, bekasi.
Upacara-Upacara yang diselengarakan adalah sembahyang ceit capgo (sembahyang setiap tanggal 1 dan 15 setiap bulan Imlek), Imlek (tahun baru Cina), Capgomeh (malam 15 yaitu upacara tanggal 15 bulan pertama Imlek), upacara ualang tahun dewa (sejit) atau sering disebut dengan ulang tahun klenteng dan Cioko (sembahyang rebutan).
Disertasi ini merupakan kritikan terhadap teori Emile Durkheim mengenai konsep sakral dan profan. Emile Durkheim melihat religi sebagai suatu bentuk dikotomi antara sakral dan profan dalam dimensi ruang dan waktu. Diskusi sakral dan profan selama ini senantiasa memperlakukan ruang dalam analisis yang coextensive atau menyatu.
Padahal dalam beberapa kebudayaan, pemisahan kedua hal
tersebut yaitu antara ruang dan waktu sangat dibutuhkan dalam memahami konsepsi
sakral dan profan itu sendiri. Dalam kebudayaan Cina perlu adanya pemisahan
ruang dan waktu dalam memperlihatkam yang sakral.
Disertasi ini menunjukan ruang sakral menjadi tidak
sakral ketika ada upacara dan dimensi waktu menentukan konsepsi sakral. Melalui
dimensi waktulah, proses transformasi terjadi dengan mengubah yang profan
menjadi sakral demikian juga sebaliknya. Penelitian ini merupakan penelitian metode
etnografi yang dilakukan di Klenteng Hok Lay Kiong, Bekasi.
Teknik utama yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah pengamatan terlibat dan pengamatan terhadap upacara-upacara seperti sembahyang ceit capgo, rangkaian upacara Imlek mulai dari upacara mengantar dewa dapur, upacara memandikan patung dewa, sampai dengan upacara Imlek, upacara Capgomeh dan upacara ulang tahun dewa Hang Thian Siang Tee, yang merupakan dewa utama klenteng.
Dengan menganalisis upacara-upacara tersebut terlihat
bagaimana konsepsi sakral terwujud dalam sebuah upacara dan dimensi waktu yang
mengubah profan menjadi sakral.
Proses interaksi yang terjadi pada kehidupan masyarakat
Sibolga dari masa ke masa menjadi tinjauan signifikan untuk melihat tarik-menarik
kepentingan yang terus bergulat di wilayah pesisir Sibolga, semisal tekanan
antar migrasi penduduk Batak ke pesisir Sibolga yang memunculkan celah politik
kepentingan hingga melakukan praktik kesesuaian antar migrasi penduduk untuk
merebut kekuasaan politik.
Proses ini dilihat pada suatu arena yang melibatkan
seluruh masyarakat, yakni pemilihan walikota Sibolga periode 2015-2020. Kajian
ini melihat realita masyarakat pesisir Sibolga melalui perspektif kontestasi
pemilihan Walikota Sibolga periode 2015-2020 sebagai bagian dari pengujian
validitas perjumpaan antara lintasan sejarah, sosio-kultur dan politik yang
terus berdinamika.
Rumusan masalah disertasi ini dibangun oleh pertanyaan
dan pernyataan yang diuji secara empiris di lapangan, yaitu bagaimana Etnis
Pesisir di re-kontruksi di Sibolga dengan migrasi etnis khususnya Batak dan
Minang ke Sibolga; gambaran latar belakang penduduk kota Sibolga dan interaksi
yang terjadi sejak berdirinya kota Sibolga sampai era reformasi; bagaimana
gambaran bentuk identitas yang muncul pada saat kontestasi pemilihan Walikota
Sibolga periode 2015-2020.
Kesimpulan dari disertasi ini adalah analisis terhadap
realita politik yang terjadi pada politik lokal Pilwalkot Sibolga Tahun
2015-2020 yang membuka selubung pertautan antara politik dengan agama dalam
praktik pemunculan identitas etnik yang diwarnai oleh nilai-nilai religius
walaupun pada praktik kebudayaan, perjumpaan antara npolitik dan agama adalah
suatu hal yang lazin terjadi.
Proses sejarah migratif memiliki peran penting dalam
perubahan komposisi masyarakat Sibolga, dimulai dari garis waktu pasca Perang
Paderi yang menarik masuk masyarakat Batak dari wilayah dataran tinggi menuju
dataran rendah Pesisir Sibolga. Proses perjalanan waktu membuktikan adanya
hegemoni masyarakat migratif.
Interaksi dalam perjalanan sejarah kota Sibolga adalah
proses perjumpaan antar kebudayaan Batak, Minang, Nias, Aceh, Cina yang saling
tarik-menarik kepentingan untuk membentuk suatu celah entitas kebudayaan, yaitu
identitas etnik Pesisir. Etnis dan budaya Pesisir pertama di konstruksi oleh
beberapa kelompok etnis yang bertemu di pantai dalam suatu aktivitas
perdagangan.
Gambaran bentuk identitas (re-konstruksi) yang muncul
pada saat kontestasi pemilihan Walikota Sibolga periode 2015-2020 adalah untuk
dapat mengetengahkan problematika proses konstruksi dan re-konstruksi etnis
Pesisir Sibolga dalam pandangan politik setidaknya terdapat diskursus kultural,
religi dan politik itu sendiri pada masyarakat Pesisir Sibolga untuk menjawab
aspek kepentingan secara umum.
Irfan berhasil menyandang gelar doktor Antropologi. Setelah
berhasil mempertahankan hasil disertasinya yang berjudul “Orang Batak dan Urang
Pasisi di Sibolga: Suatu Kajian Tentang Politik Identitas Pada Pemilihan
Walikota Sibolga Periode 2015-2020” di hadapan para penguji. Sidang promosi
doktor Irfan dilaksanakan pada Jumat (03/01) di Auditorium Juwono Sudarsono
FISIP UI.
Penelitian ini membahas mekanisme terwujudnya keragaman,
dinamika dan kontinuitas perilaku “berbagi dan tidak berbagi” (shared and unshared) pengetahuan antar
subjek dalam suatu komunitas yang bersifat situasional dari waktu ke waktu.
Mekanisme belajar dan transmisi pengetahuan yang terlaksana melalui “berbagi
dan tidak berbagi”, menjadi bagian dari dan berada dalam kegiatan keseharian
para praktisi dalam komunitasnya. Fenomena ini ditemukan dalam keseharian
petani sayur Karo di Berastagi, Sumatera Utara.
Para praktisi tersebut merupakan individu-individu yang
dalam situasi yang dalam situasi tertentu membagikan pengetahuannya dan juga
menyembunyikan dari praktisi (subjek) lain. Keragaman perilaku “berbagi dan
tidak berbagi” pengetahuan itu tidak hanya dilakukan beberapa subjek individual
secara tidak menentu, tetapi juga secara bersama oleh kolektiva dan
berkelanjutan.
Kajian tentang perilaku “berbagi dan tidak berbagi”
pengetahuan itu diharapkan berkontibusi pada bahasan tentang dinamika dalam
transmisi pengetahuan oleh para pelaku yang hidup dalam suatu komunitas
praktisi. Pendekatan connectionism
menjadi acuan dalam menjelaskan fenomena keragaman perilaku berbagi dan tidak
berbagi pengetahuan, khususnya tentang pestisida.
Hasil penelitian menemukan tiga varian utama perilaku
berbagi dan tidak berbagi pengetahuan dengan tiga konsekuensi pada struktur
ekstrapersonal subjek. Konsekuensi itu mempengaruhi terbentuknya skema
pengetahuan subjek yang juga beragam tergantung pada karakteristik setiap
konsekuensi pada struktur ekstrapersonal. Karakterstik konsekuensi perilaku
berbagi dan tidak berbagi pengetahuan itu ternyata menunjukan keagensian pada
pelaku dan juga liyan.
Temuan disertasi
ini memberikan kebaruan pada model penjelasan connectionism untuk mengungkapkan mekanisme terwujudnya keragaman.
Temuan disertasi ini juga memperkuat fenomena keragaman agensi dan menambahkan
temuan sebelumnya bahwa keragaman dan dinamika itu terwujud melalui mekanisme
penyembunyian pengetahuan, konstruksi/seleksi relasi dan aliansi, serta
kompetisi dan kepentingan ragam subjek.
Faktor kontekstual
yang berkonstribusi pada terwujudnya keragaman itu terkait dengan kelangkaan
sumber, serangan penyakit dan hama, tingginya fluktuasi harga, serta hawa atau
cuaca. Sebagian dari faktor kontekstual ini terkait dengan dimensi historis,
serta kondisi risiko dan ketidakpastian yang sehari-hari dihadapi petani.
Pengetahuan-pengetahuan mengenai masalah-masalah itu lah yang sebagian dibagi dan bagian lainnya tidak dibagikan, terutama terkait dengan pestisida. Fenomena berbagi dan tidak berbagi pengetahuan menyebar menjadi perilaku bersama mewujudkan shared concealment atau shared secrecy, dan mewujudkan pelaku yang memiliki kemampuan secretive agentic.
Sri Alem Br. Sembiring berhasil menyandang gelar doktor
Antropologi, setelah berhasil mempertahankan hasil disertasinya yang berjudul “Katakan
yang Benar, Jangan yang Sebenar-Benarnya: Berbagi dan Tidak Berbagi Pengetahuan
Tentang Pestisida pada Petani Sayur Karo” di hadapan para penguji. Sidang promosi doktor Sri Alem
dilaksanakan pada Jumat (27/12) di Auditorium Komunikasi FISIP UI.
Beberapa minggu terakhir persoalan Papua kembali menguat di Indonesia, Papua bergolak. Mereka yang teriak lantang dianggap provokatif dan dituduh makar. Pada hari Kamis 12 September 2019 di Auditorium Juwono Sudarsono (AJS) FISIP UI Depok, di laksanakan dialog publik mengenai nasib Papua. Mendatangkan narasumber Jurnalis dan Aktifis HAM, Andreas Harsono. Tokoh dan pemerhati isu Papua sekaligus anggota tim perumus RUU, Otsus Papua. Tokoh muda Papua dan pemerhati Papua, Natalia Yewen. Dosen Departement Antropologi Universitas Indonesia, Dave Lumenta, Ph.D. Sub divisi KGBO dan SafeNet Indonesia, Ellen Kusuma dan juga Antropolog, Koordinator Task Force Jawa Barat dan Direktur Eksekutif DROUPADI, Ni Loh Gusti Madewati.
Negara masih mengedepankan pendekatan neo developmentalism. UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Daerah Papua dan Papua Barat yang tidak signifikan mengakomodir hak rakyat Papua. Hingga persoalan identitas sebagai orang Papua seringkali terpinggirkan dan mengakibatkan orang asli Papua tidak pernah menjadi tuan di tanahnya sendiri. Hal ini di perkuat dengan pernyataan Andreas Harsono yang mengatakan, toko-toko yang ada di Papua dikuasai oleh pendatang dari luar Papua.
Tindakan rasialisme dan stigma terhadap rakyat Papua semakin kuat. Menyebar dengan adanya hoaks dan disinformasi yang masif beredar. Terutama soal kronologis penurunan Bendera Merah Putih di asrama Papua – Surabaya. Pengepungan asrama mahasiswa oleh oknum aparat, hingga pada kenyataan persekusi, penistaan dan rasisme bagi mahasiswa Papua. Kejadian itu membuat luka-luka semakin menganga, api konflik merembet dari Malang, Surabaya. Hingga kota lainnya di Indonesia serta membesar mencapai puncak kerusuhan di Papua dan Papua Barat.
Frans Maniagassi mengatakan, para founding fathers kita terdahulu, mereka arif dan hari ini kita kurang pemimpin yang mempunyai kearifan di negara ini. Kalau kita mempunyai kearifin tidak mungkin mengatakan rasisme terhadap orang Papua. Hanya beberapa orang saja yang mempunyai kearifan pada saat ini. kejadian di Surabaya beberapa minggu yang lalu bukan hanya menyinggung masyarakat Papua saja namum juga masyarakat Papua Nugini. Saat ini realitas yang ada di Papua ada dua nasionalisme, satu nasinalisme Indonesia, dua nasionalisme Papua dan ini fakta, yang bisa memahami itu hanya Gusdur. Pemerintah harus korektif, harus mengkoreksi apa yang sudah dilakukan bangsa Indonesia kepada Papua.
Gejolak ini semakin diperkeruh dengan gagalnya pemerintah meresponse cepat. Alih-alih meredam konflik pemerintah melalui Kominfo lewat Siaran Pers No. 155/HM/KOMINFO/08/2019 tertanggal 21 Agustus 2019 memberlakukan Pemblokiran Layanan Data di Papua dan Papua Barat. Dalih Pemerintah untuk mempercepat proses pemulihan situasi keamanan dan ketertiban di Papua dan sekitarnya namun negara terlihat panik dan malah makin memperkeruh suasana sekaligus memrampas hak dasar rakyat Indonesia dalam mengakses sumber informasi yang tepat. Hingga 6 September 2019, data dari SafeNet Indonesia menyebutkan masih ada 13 kabupaten/kota yang belum dapat mengakses internet. Jalur komunikasi terbatas hanya pada telepon biasa dan layanan pesan singkat.
Kampus UI Depok Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Jl. Prof. Dr. Selo Soemardjan, Depok, Jawa Barat 16424 Indonesia
E-mail: fisip@ui.ac.id
Tel.: (+62-21) 7270 006
Fax.: (+62-21) 7872 820
Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 6, Universitas Indonesia
Jl. Salemba Raya 4, Jakarta 10430 Indonesia