Pilih Laman
Membangun Perspektif Indonesia Dalam Perspektif Ilmu Hubungan Internasional

Membangun Perspektif Indonesia Dalam Perspektif Ilmu Hubungan Internasional

Universitas Indonesia mengukuhkan Prof. Evi Fitriani, M.A Ph.D sebagai Guru Besar dalam Ilmu Hubungan Internasional, sekaligus menjadi Guru Besar Perempuan Pertama dalam Ilmu Hubungan Internasional di Indonesia. Pengukuhan dilakukan melalui sidang terbuka berbarengan dengan pengukuhan empat Guru Besar lain dari FISIP dan FT.

Acara Sidang Terbuka Pengukuhan Guru Besar Universitas Indonesia pada Sabtu (13/11) dihadiri oleh Rektor Universitas Indonesia Prof. Dr. Ari Kuncoro, para Guru Besar UI dan para tamu melalui daring dan luring.

Dalam pidato pengukuhannya, Prof. Evi Fitriani, Ph.D menyampaikan pidato berjudul “Membangun Perspektif Indonesia Dalam Perspektif Ilmu Hubungan Internasional”.

“Dalam upacara Pengukuhan Guru Besar ini, saya memfokuskan perhatian terhadap (1) masalah yang dihadapi Indonesia sebagai salah satu negara dalam sistem internasional dan (2) masalah dalam ilmu hubungan internasional yang berkembang di Indonesia,” kata Evi Fitriani.

Evi memaparkan bahwa perjuangan Indonesia untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan, terutama untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial sangat mulia dan ideal, namun tidaklah mudah. Tekanan struktural dalam sistem internasional dan berbagai masalah domestik menghambat Indonesia. Namun pembahasan tentang keterbatasan Indonesia juga menguak kelebihan dan kekuatan Indonesia sebagai negara berkembang yang harus bermanuver dalam hubungan internasional di tengah power politics yang umum terjadi dalam sistem internasional.

Karakter sistem internasional selama tujuh dekade terakhir diwarnai oleh dua karakteristik, katanya. Pertama, pernyataan ‘the winner takes all’ sistem internasional yang didominasi oleh negara-negara besar atau major powers di bidang politik, keamanan, dan ekonomi. Dominasi negara-negara besar ini membuat negara-negara sedang membangun, seperti Indonesia tidak memiliki posisi tawar yang kuat.

“Bahwa terdapat saling ketergantungan (interdependence) antar negara di dunia tidak menghalangi beroperasinya hubungan kekuasaan antar negara di dunia karena negara-negara kecil lebih tergantung kepada negara-negara besar dari pada sebaliknya,” kata Evi. Karakteristik kedua sistem internasional pasca Perang Dunia kedua sampai hari ini adalah persaingan antar negara-negara besar karena memperebutkan pengaruh politik, kekuatan strategis, dan dominasi ekonomi.

“Kekuatan dan kelebihan Indonesia dan negara berkembang lainnya, selama ini jarang dapat diidentifikasi dan difahami dalam ilmu hubungan internasional karena dominasi Western-centric dan fokus pada negara besar dalam ilmu ini. Karena itu diperlukan perspektif Indonesia yang lebih mampu menangkap, menerjemahkan dan memahami karakteristik-karakteristik khusus dari negara yang bukan negara Barat dan bukan negara besar. Mungkin perlu dibangun Depok School of International Relations yang sejajar dengan English School, Frankfurt School maupun Copenhagen School,” papar Evi.

Selaian tekanan struktur internasional, keterbatasan Indonesia untuk mewujudkan cita-cita yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 juga berasal dari dalam negara. “Bagi Indonesia, meningkatkan posisi tawar dalam struktur politik global tidak cukup dengan membenahi garda belakang penampilan negara ini di tengah masyarakat internasional. Diperlukan juga perubahan mindset tentang peran negara bukan hegemonik yang mampu mengubah atau memperkaya discourse dalam ilmu hubungan internasional,” ujarnya.

Evi menambahkan, selain itu, Indonesia menjalankan praktik hubungan internasional khas negara Asia yang agak berbeda dengan cooperative culture di negara-negara Barat. Dalam banyak kasus, fleksibilitas yang sejalan dengan prinsip ‘bebas aktif’, serta pendekatan informal bahkan kadang personal, menjadi kekuatan Indonesia dalam hubungan internasional. Fenomena-fenomena di atas jarang sekali dikemukakan dalam discourse ilmu hubungan internasional yang literatur utamamya banyak berasal dari Amerika Serikat dan Eropa,” ujarnya.

Evi berharap semoga gagasan ini menginspirasi generasi muda pemikir-pemikir ilmu hubungan internasional di Universitas Indonesia dan di universitas- universitas lain Indonesia maupun di negara-negara sejenis. Semoga Ilmu Hubungan Internasional yang berkembang di Indonesia mampu mendukung Indonesia dalam mencapai tujuan kemerdekaannya, terutama untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Evi Fitriani memperoleh gelar Sarjana dari Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Setelah itu Evi melanjutkan pendidikan Magister di Leeds University London dan Ohio University serta memperoleh gelar Doktor dari Australian National University.

Pemulihan Ekonomi yang Inklusif dan Lebih Kuat Menjadi Pilar Prioritas Presidency Indonesia

Pemulihan Ekonomi yang Inklusif dan Lebih Kuat Menjadi Pilar Prioritas Presidency Indonesia

Pertama kalinya dalam sejarah, pada bulan Oktober 2021, Indonesia akan memegang jabatan Presiden G20. Dengan tema “Recover Together, Recover Stronger,” Indonesia berusaha untuk menekankan semangat pemulihan kolektif negara-negara di dunia. Kuliah umum ini akan membahas mengenai bagaimana Presidensi Indonesia dalam G20 dapat mewujudkan pemulihan ekonomi global yang adil, inklusif dan berkelanjutan.

Departemen Hubungan Internasional FISIP UI mengadakan STUDIUM GENERALE: Arti Penting Presidensi G20 Indonesia dalam Mewujudkan Pemulihan Ekonomi Global yang Adil, Inklusif, dan Berkelanjutan pada Kamis (09/10). Sebagai pembicara Dr. Edi Prio Pambudi (Plt. Deputi Koordinasi Kerja Sama Ekonomi Internasional).

G20 adalah forum koordinasi kebijakan yang lahir sebagai respons terhadap krisis ekonomi tahun 1998-1999 yang merepresentasikan 85% GDP dunia , 75% perdagangan dunia, 80% investasi global dan 2/3 populasi penduduk dunia. Indonesia menjadi bagian dari forum ini, sejak awal dibentuk karena negara G7 melihat bahwa upaya penyelesaian krisis ekonomi dunia tidak akan efektif tanpa melibatkan negara-negara ekonomi berkembang yang terdampak oleh krisis tersebut.

Pada tahun 2008, sebagai negara yang relative survive dari krisis ekonomi global untuk pertama kalinya Indonesia diundang pada KTT G20 di Washington DC. Pada tahun ini pula G20 tidak hanya terbatas pada ekomoni keuangan tapi mencakup ekonomi keuangan seperti ketenagakerjaan, perdagangan, investasi, perhatian pada lingkungan dan isu penting lainnya.

“Menjadi presidensi G20 adalah kehormatan sekaligus harapan pemerintah Indonesia untuk turut andil merumuskan strategi secara bersama-sama bagi seluruh negara di dunia,” ujar Prio.

“Presidensi tahun depan menjadi momentum untuk meningkatkan diplomasi ekonomi melalui upaya menciptakan arsitektur ekonomi global pasca krisis dengan beberapa karakteristik kunci seperti membangun kekuatan dan persiapan agar dunia lebih tahan terhadap krisis kedepannya dengan memperkuat struktur ekonomi yang berorientasi langsung kepada kesejahteraan rakyat, memastikan keseimbangan ekonomi yang adaptif, transformatif dan berlekanjutan dengan dinamika global, serta inklusif dan berimbang serta sisi keterwakilan.”

Acara ini memiliki dua arti penting, yang pertama menjadi media sosialisasi dan peluang aspirasi presidensi G20 Indonesia terhadap dunia, yang kedua menjadi masukan bagi pemerintah untuk memaksimalkan manfaat presidensi G20 Indonesia.

Tema besar presidensi G20 Indonesia tahun 2022 yaitu pemulihan yang kuat adalah pemulihan yang inklusif dan ekonomi yang kuat adalah ekonomi yang transformatif. Pilar prioritas Presidensi Indonesia diarahkan untuk menopang pemulihan ekonomi yang inklusif dan lebih kuat.

Indonesia juga mendorong pertumbuhan ekonomi inklusif yang memperhatikan hak-hak pekerja termasuk penyandang disabilitas, keterwakilan perempuan dan pemuda serta UMKM dengan optimalisasi transformasi digital, hal tersebut menjadi salah satu letak perbedaan dan kunci antara presidency Indonesia dengan presidency sebelumnya. Indonesia menjadi negara ekonomi berkembang pertama yang akan mengambil alih kepemimpinan G20 dari negara maju.

“Kita harus memanfaatkan momentum ini untuk mulai mendorong standart global yang mengacu pada kepentingan dan kapasitas negara ekonomi berkembang. Atas arahan presiden, pilar prioritas presidency Indonesia diarahkan untuk menopang pemulihan ekonomi yang inklusif dan lebih kuat. Selain itu presidency Indonesia juga diharapkan dapat menjadi sarana untuk mempererat kolaborasi tidak hanya antar negara namun juga antara pemerintah dan sektor private terhadap kemitraan yang menguntungkan secara nasional dan menjajaki berbagai bisnis kolaborasi.” Jelas Prio.

Teknologi Antariksa Dapat Mendorong Pencapaian Agenda Pembangunan Berkelanjutan

Teknologi Antariksa Dapat Mendorong Pencapaian Agenda Pembangunan Berkelanjutan

Departemen Hubungan Internasional FISIP UI mengadakan Seminar Nasional Online Kebijakan Penerbangan dan Antariksa VI (Webinar Nasional KPA VI) diselenggarakan atas kerja sama dengan Pusat Kajian Kebijakan Penerbangan dan Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa (KKPA LAPAN) dengan tema “Diplomasi Keantariksaan sebagai Instrumen Mencapai Pembangunan Indonesia yang Berkelanjutan” yang diselanggarakan pada Rabu dan Kamis (15-16/09/21).

Sesi Pleno 16 September 2021 Menghadirkan Pembicara Dr. Arie Setiabudi Soesilo, M.Sc (Dekan FISIP UI), Edy Prasetyono, S.Sos., MIS, Ph.D. (Dosen Senior HI FISIP UI), Dr. M. Rokhis Khomarudin, M.Si. Sebagai moderator Asra Virgianita, M.A., Ph.D.

Pada beberapa tahun terakhir sektor keantariksaan memainkan peran penting sosial politik dan ekonomi suatu negara meskin teknologi antariksa merupakan teknologi yang bersifat high cost dan high risk, tidak dapat dipungkiri keantariksaan merupakan salah satu tools yang sangat penting berkontribusi cukup besar bagi pembangunan nasional suatu negara.

Indonesia telah menyepakati agenda Sustainable Development Goals (SDG’s) bersama dengan negara lain yang telah disepakati para pemimpin dunia yang bertujuan untuk mengakhiri kemiskinan mengurangi kesenjangan sosial ekonomi politik dan melestarikan lingkungan

Terkait hal ini Indonesia telah berkomitmen untuk melaksanakan atau mengimplementasikan program SDG’s dalam konteks ini teknologi keantariksaan merupakan alat dukung yang sangat efektif dalam pencapaian tujuan-tujuan SDG’s namun demikian Indonesia saat ini masih menghadapi tantangan, kapabilitas Indonesia dalam penguasaan teknologi keantariksaan Indonesia masih tergolong negara berkembang.

Seminar Nasional Kebijakan Penerbangan dan Antariksa (SINAS KPA) merupakan forum tahunan dari Pusat KKPA-LAPAN. Forum bertujuan menjaring masukan, membahas, serta mendiseminasikan wawasan ilmu pengetahuan, sudut pandang, dan informasi dalam kerangka pikir ilmiah yang relevan pada bidang kajian kebijakan penerbangan dan antariksa.

Dr. Arie S. Soesilo, M.Sc memberikan paparan mengenai urgensi dan strategi implementasi dan diplomasi antariksa dalam masyarakat, “tantangan yang muncul dari persaingan dan kekuatan hegemoni yakni, Indonesia dan Asia dapat menjaga relevasinya tidak hanya sebagai penyedia sumber daya mentah dan tenaga kerja tetapi sebagai pemain aktif yang menentukan nasibnya sendiri dan tidak hanyut dalam eksploitasi negara besar. Tantangan di luar angkasa ini, menjadi masalah karena tidak semua orang Indonesia atau orang yang memiliki pendidikan tinggi memahami tantangan dan pentingnya memiliki daya saing di luar angkasa.”

Arie Soesilo menambahkan, bahwa Indonesia dapat mengambil peran diplomasi antariksa yang mengedepankan kepatuhan negara terhadap tata kelola global dan regional. Hal ini penting untuk memastikan akses dan pengembangan kekuatan yang adil bagi negara dan bangsa di dunia. Dalam konteks tujuan pembangunan berkelanjutan, teknologi antariksa menjadi salah satu tools yang diharapkan dapat mendorong pencapaian agenda pembangunan berkelanjutan 2030.

Sementara itu, Edy Prasetyono, S.Sos, M.s, Ph.D. dalam materi yang disampaikan menjelaskan potensi keantariksaan dalam geostrategi diplomasi Indonesia untuk pembangunan berkelanjutan.

“Esensi dari space adalah ruang yang selalu dieskplorasi dan dimanfaatkan oleh banyak kekuatan untuk memperoleh keunggulan terhadap pihak atau kekuatan lain.  Merefleksikan apa yang terjadi di daratan atau bumi, Gray mengatakan bahwa geography adalah “the mother of strategy”. Pandangan tersebut menegaskan signifikansi ruang dalam strategi. Ketertarikan dalam diplomasi adalah bisa untuk tidak membuat satu pengaturan fleksibel yang menguntungkan negara-negara ekuator. Misalnya, seperti alokasi slot untuk satelit. Walaupun, kedaulatan dilarang tetapi tidak ada larangan eksplisit untuk hak berdaulat.” Ujarnya

Terdapat beberapa kekhawatiran dalam hal ini yaitu, peningkatan jumlah satelit, bahaya tabrakan dan jatuhnya satelit, militerisasi orbit dan aktivitas permusuhan (seperti spionase atau intelijen), serta perusahaan peluncuran satelit swasta.

Forum ini sekaligus sarana untuk menjalin kemitraan antar lembaga dan mendorong kerja sama antar peneliti, praktisi, akademisi, mahasiswa, dan masyarakat sehingga akan semakin meningkatkan kepedulian pada isu penerbangan dan antariksa untuk dapat menyokong kemajuan pembangunan Indonesia.

Kerjasama Selatan-Selatan Merupakan Skema Kerjasama Antar Negara Berkembang

Kerjasama Selatan-Selatan Merupakan Skema Kerjasama Antar Negara Berkembang

Departemen Hubungan Internasional FISIP UI bekerja sama dengan Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan, Kementerian Luar Negeri RI menyelenggarakan “Webinar Nasional: Penguatan Peran Indonesia dalam Kerjasama Selatan-Selatan” pada Selasa (06/07) via ZOOM Meeting. Menghadirkan Pembicara Utama, Meutya Viada Hafid (Ketua Komisi I, DPR RI 2) dan Teuku Faizasyah (Dirjen IDP Kemlu RI, Ketua Tim Kornas KSS Indonesia).

Sejarah peran Indonesia bekerjasama dengan Selatan-Selatan sudah mulai ketika Indonesia menjadi pelopor Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955, hasil dari pertemuan tersebut menjadi dasar solidaritas dan kerjasama negara berkembang yang saat itu baru terbebas dari kolonialisme. Kerjasama Selatan-Selatan saat ini semakin relevan dan penting, utamanya dalam upaya pencapaian SDG’s. Pada saat pandemi ini telah menyebabkan banyak target SDG’s yang sulit untuk dicapai dan mengalai kemunduran, seperti SDG’s 1 untuk menghapus kemiskinan, SDG’s 3 untuk memastikan kesehatan yang baik dan kesejahteraan.

Menurut Meutya, Kerjasama Selatan-Selatan (KSS) merupakan skema kerjasama antar negara berkembang yang dilakukan melalui berbagaii hubungan bilateral dan multilateral secara mutual. Hal ini bertujuan untuk menghasilkan solusi-solusi bersama bagi pembangunan negara Selatan.

“Indonesia dalam KSS mempunyai peran aktif salah satunya posisi Indonesia sebagai pemain global akan memberi nilai tambah dalam KSS dalam rangka mencapai kemandirian bersama yang dilandasi oleh solidaritas, kesetaraan dan saling menguntungkan. KSS juga mempunyai tantangan yaitu tujuan pembangunan berkelanjutan (SDG’s), perubahan iklim, kerjasama multi pihak seperti kerjasama dengan kementerian, lembaga, universitas dan parlemen” tambah Meutya.

Penguatan Peran Indonesia dalam Kerja Sama Selatan-Selatan pada tahun 2010-2012 memperkuat koordinasi dalam kerangka koordinasi institusional untuk ikut memerankan diplomasi pembangunan. Tahun 2015-2019 meningkatkan kepemimpinan dan kontribusi Indonesia dalam Kerjasama Selatan-Selatan serta meningkatkan peran Indonesia dalam mencakup intervensi kebijakan pengembangan Kerjasama Selatan-Selatan. Rancangan penguatan selanjutnya tahun 2020-2024 yaitu optimalisasi Kerjasama pembangunan intenasional untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas melalui peningkatan sumber-sumber dan mekanisme pendanaan baru serta perdagangan bebas aktif.

“Kepentingan nasional tentu saja menjadi perhatian juga, dalam konteks Kerjasama Selatan-Selatan di bidang politik yaitu citra positif peran dan kepemimpinan Indonesia serta memagari kepentingan Indonesia dari ancaman disintegrasi, bidang ekonomi Indonesia meningkatkan investasi dan perdagangan serta dalam bidang sosial budaya” jelas Teuku.

Teuku mengatakan, “Pada saat pandemi seperti saat ini KSS mempunyai empat tren pendekatan implementasi KSS global pasca pandemi Covid-19, yaitu inklusifitas dengan menerapkan kemitraan multipihak, fleksibilitas dengan prinsip demand-driven, transparan dengan melakukan sosialisasi dan membangun ruang komunikasi dengan multi-actors untuk mendapatkan masukan dan rekomendasi, serta resilence berfokus pada pendekatan jangka panjang yang didasarkan pada prinsip solidaritas.”

Selain itu upaya Pemerintahan RI dalam penguatan pelaksanaan KSS dengan penguatan kelembagaan penjuru bagi kerjasama pembangunan internasional, penyempurnaan mekanismie implementasi program bantuan, peran multi-stakeholder, perluas jaringan, meningkatkan promosi dan profiling KSS Indonesia serta pemanfaatan IT dan penyempurnaan database.

Konflik Palestina-Israel: Indonesia Terus Mendorong Negosiasi Perdamaian Multilateral

Konflik Palestina-Israel: Indonesia Terus Mendorong Negosiasi Perdamaian Multilateral

Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI bekerjasama dengan Direktorat Timur Tengah Kementerian Luar Negeri RI menyelenggarakan kegiatan Webinar dengan tema ”Proyeksi Masa Depan Hubungan Palestina-Israel dan Posisi Indonesia”. Kegiatan ini dilaksanakan pada Senin (21/06) via Zoom.

Hadir untuk memberikan sambutan, Abdul Kadir Jaelani (Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika, Kementerian Luar Negeri RI). Serta sebagai pembicara, Bagus Hendraning Kobarsyih (Direktur Timur Tengah Kementerian Luar Negeri RI), Yenny Wahid (Direktur Wahid Foundation) dan Agung Nurwijoyo (Dosen dan Tim Peneliti PRN Kemenristek/BRIN Peran 20 Departemen Ilmu Hubungan Internasional, FISIP UI).

Acara ini merupakan inisiatif yang sangat baik dan penting ditengah gejolak politik dan keamanan yang terjadi di Kawasan Timur Tengah. Utamanya adalah akibat konflik Palestina-Israel yang sampai saat ini masih terus berlangsung. Akar masalah konflik Palestina-Israel adalah penjajahan, perampasan hak-hak rakyat Palestina dan perjuangan mereka untuk mendapatkan kemerdekaan bagi bangsa Palestina. Persoalan Palestina bukan merupakan persoalan agama namun merupakan persoalan untuk mewujudkan keadilan dan kemanusiaan.

Dukungan kepada kemerdekaan Palestina merupakan amanat konsitusi Indonesia dan sekaligus jantung politik luar negeri Indonesia yang akan terus menjadi perhatian besar sampai kemerdekaan Palestina berhasil diwujudkan. Sikap Indonesia sampai detik ini terhadap konflik Palestina-Israel senantiasa konsisten, terus menyerukan kepada masyarakat internasional terutama PBB untuk menghentikan berbagai aksi kekerasan dan militer Israel.

Dalam sambutannya, Abdul Kadir  mengatakan bahwa Indonesia juga terus mendorong negosiasi perdamaian multilateral yang lebih kredibel berdasarkan solusi dua negara dan sejalan dengan parameter internasional yang telah disepakati. Proses perdamaian Palestina-Israel saat ini mendapatkan momentum yang baik, ditengah menguatnya perhatian dan dukungan internasional akibat konflik yang terakhir ini. Momentum ini harus dimanfaatkan dengan baik oleh semua pihak untuk mencapai solusi yang adil bagi kedua negara terutama yang dapat memenuhi hak-hak rakyat Palestina.

Yenny Wahid menambahkan, Masjidil Aqsa, Dome of Rock, Tembok Ratapan dan lain sebagainya, sampai saat ini masih dikuasai oleh PBB tetapi Amerika lewat pemerintahan Donald Trump kemudian membuat ‘Deal of The Century’ dan inilah yang membuat tambah lebih keruh suasana keputusan semacam itu membuat Palestina marah. Upaya penyelesaian konflik dalam ‘Deal of the Century’ meliputi beberapa poin penting, seperti status Yerusalem, perbatasan yang disetujui bersama, membuat kontrol keamanan, wilayah teritorial, pengungsi, pengaturan sumber daya alam seperti air dan pendirian two-states country.

“Pemukiman yang ditempati oleh Israel di Tepi Barat, meskipun Palestina bersikeras mengeklaim wilayah tersebut, sedangkan Ibukota Palestina berada di wilayah Yerusalem Timur. Jadi dalam hal ini persoalan Palestina dan Israel  ini persoalan yang cukup kompleks karena melibatkan banyak hal yang sama-sama sensitif bagi kedua negara. Konflik Palestina-Israel juga cukup dipengaruhi oleh dinamika politik dalam negeri” tambah tambah Yenny.

Menurut Agung, “tantangan perdamaian Palestina-Israel yang pertama proses peace building Palestina terus berjalan tidak boleh berhenti, rekonstruksi pasca perang, jalan multilateralisme melalui UNSC, OIC dan sebagainya, proses unifikasi Palestina terus dilakukan, serta perlunya legitimasi akan new peace maker. Dalam konteks Indonesia mempunyai sejarah panjang kepada Palestina kita fokus kepada masalah-masalah kemanusiaan tidak lupa juga konteksual solusi terhadap masalah politik dan juga masalah HAM serta masalah politik-keamanan, ekonomi dan sosio-budaya.”

Sebagai penutup Bagus menambahkan, “strategi dukungan Indonesia terdahap Palestina melalui dukungan politik terhadap kemerdekaan negara Palestina seperti tidak menjalin hubungan diplomatik dengan Israel, dukungan terhadap kemandirian Palestina melalui penguatan kerjasama bilateral di berbagai bidang, diplomasi bantuan kemanusiaan dan menjalin sinergi pemerintah-swasta atau masyarakat Indonesia seperti membantu UMKM Palestina termasuk sektor perdagangan, pertanian dan manufacturing.”