Pilih Laman
Tren Conscious Consumerism Semakin Meningkat Saat Ini Khususnya Anak Muda

Tren Conscious Consumerism Semakin Meningkat Saat Ini Khususnya Anak Muda

Danone-AQUA dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI, menggelar sesi diskusi terbuka Voice of Youth dengan tema “Conscious Consumption: Let’s Start The Journey”. Diskusi terbuka ini membahas tentang pentingnya membangun kebiasaan conscious consumption dalam mendukung target pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals) pada isu lingkungan, sosial, ekonomi, dan juga kesehatan.

Acara dilaksanakan di Balai Purnomo Prawiro (24/2). Dalam acara tersebut juga dilakukan penandatanganan nota kesepahaman bersama antara Danone-AQUA dengan UI untuk memperkuat upaya pelestarian lingkungan, edukasi, dan kesehatan.

Alumni Departemen Ilmu Hubungan Internasional tahun 2009 dan juga pendiri lembaga Think Policy, Andhyta Firselly Utami (Afutami) mengatakan, tren conscious consumerism semakin meningkat saat ini di antara masyarakat, seiring dengan meluasnya kesadaran tentang dampak konsumsi mereka terhadap lingkungan dan kesehatan. Khususnya di antara orang muda, sebagai generasi yang melek digital dan terpapar terhadap lebih banyak informasi melalui media sosial.

Ia menambahkan, “mereka adalah populasi terbesar dalam menerapkan kesadaran konsumsi di kehidupan sehari-hari, dan ternyata terbukti salah satunya lewat hasil voting yang dipaparkan tadi. Tentunya ini perlu didorong agar terus berkelanjutan, demi membawa manfaat positif dalam jangka panjang.”

Sepakat dengan Afutami, Corporate Communication Director Danone Indonesia, Arif Mujahidin menjelaskan bahwa kesadaran untuk memilih produk yang berkontribusi positif pada berbagai aspek kehidupan, mulai dari lingkungan hingga sosial, menjadi faktor yang penting bagi masyarakat dan generasi muda saat ini dalam mengambil keputusan, yang sekaligus menjadi salah satu penggerak utama tren conscious consumption.

“Kami menyadari bahwa kebutuhan serta gaya hidup masyarakat terus berubah dan hal tersebut tentu memiliki dampak terhadap lingkungan maupun sosial. Oleh karena itu, kami yakin bahwa dengan mengadopsi gaya hidup conscious consumption terutama dimulai dari kalangan muda, kita dapat memberikan dampak yang lebih positif bagi berbagai pihak,” ujar alumni yang juga berasal dari Departemen Ilmu Hubungan Internasional tahun 1985.

Seluruh produk AQUA yang beredar di pasaran diproduksi dengan standar kualitas yang tinggi. Setiap produk berasal dari sumber air terpilih yang 100% murni dan terjaga ekosistemnya serta telah melalui proses kontrol, evaluasi dan dijamin baik dari sisi fasilitas produksi, kebersihan, dan keamanan produk serta berbagai aspek mutu lainnya.

“Mayoritas bisnis kami juga sudah mendukung keberlanjutan lingkungan dengan kemasan galon guna ulang AQUA yang telah hadir sejak 1983 dan telah membentuk budaya reusable sehingga mengurangi dampak terhadap lingkungan. Kami terus mengembangkan berbagai pilihan produk yang lebih ramah lingkungan baik secara kemasan maupun operasional”, jelas Arif.

Mendengarkan Ukraina: Perkembangan Terkini dan Prospek Penyelesaian Krisis

Mendengarkan Ukraina: Perkembangan Terkini dan Prospek Penyelesaian Krisis

Kuliah Umum antara Delegasi Masyarakat Sipil Ukraina diselenggarakan dengan FISIP UI pada (9/2) di Auditorium Mochtar Riady dengan pembicara Prof. Olexiy Haran (National University of Kyiv-Mohyla Academy), Liubov Tsybulska (Ahli Komunikasi Strategis dan Pendiri Pusat Komunikasi Strategis Ukraina), Aliev (Wakil Direktur Jendral Institut Ukraina) serta sebagai moderator Shofwan Al Banna, Ph.D (Dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI).

Dalam kuliah umum tersebut, Delegasi Ukraina menyampaikan situasi sebenarnya yang dihadapi rakyat Ukraina.

Menurut Olexiy, hal yang penting perlu diketahui, perang ini bukan hanya perang antara Rusia dan Ukraina. Ini perang antara demokrasi dan tindakan yang ingin menghancurkan.

Ia menilai Rusia dinilai ingin menghilangkan identitas dari Ukraina, mulai dari bahasa hingga kultur yang ada. Bahkan Olexiy menyamakan kondisi Ukraina sama dengan Indonesia. Kedua negara sama-sama memiliki sejarah melawan kekuasaan kolonial yang menjajah dan berjuang dalam mendapatkan kemerdekaan.

Tindakan ini sangat bertentang dengan demokrasi, walau dalam propaganda Rusia selalu menekankan kedua wilayah merupakan satu kesatuan. Bagi Ukraina sendiri, propaganda Rusia yang dilakukan tujuannya untuk melemahkan keinginan warga Ukraina ikut berperang. Sayangnya, upaya tersebut gagal, karena bangsa Ukraina berjuang untuk melawan musuh yang ingin menghancurkan mereka.

Olexiy mengatakan bahwa propaganda Rusia telah membuat pemahaman masyarakat di wilayah Asia meyakini bahwa Ukraina seharusnya duduk bersama Rusia.

Begitu pula krisis kemanusiaan yang turut diderita oleh umat Muslim Tatar Krimea. Aliev mengatakan korban pertama perang disana adalah Muslim Tatar Krimea yang dipenjara dan dituduh melakukan terorisme. Rusia berusaha menghancurkan identitas dengan melarang para pemimpin dan organisasi agama kami.

Aliev mengharapkan dukungan dari masyarakat muslim di seluruh dunia. “Penting bagi kami untuk mendapat dukungan dari organisasi dan masyarakat Muslim di seluruh dunia. Ini bukan perang tentang wilayah, ini adalah perang tentang identitas dan masa depan kita. Banyak Muslim Ukraina telah bergabung berjuang di paramedis militer,” ujarnya.

Di sisi lain Aliev bersyukur karena suplai pangan halal untuk masyrakat muslim di Ukraina tidak mengalami gangguan.

Rusia gunakan strategi informasi dalam memecah dukungan yang beredar di publik. Upaya ini, menurut Tsybulska, sebagai tindakan agar tidak banyak pihak yang mau memberikan dukungan terhadap Ukraina. “Salah satu informasi yang disebar Rusia dengan menggunakan narasi  mengkotakan koalisi Barat dan anti-Barat. Namun bagi kami, ini bukan tentang Barat dan Anti-Barat. Ini tentang kemerdekaan, kebebasan dan hidup kami. Upaya tersebut memang cukup berhasil dengan beberapa pihak yang menahan dukungan. Walau begitu Ukraina dapat bertahan hingga saat ini,” ujarnya.

Tsybulska menceritakan, pada awal-awal invasi Rusia dilakukan, banyak informasi menyatakan bahwa ibu kota Ukraina akan tumbang dalam tiga hari. Namun, menginjak peringatan satu tahun invasi tersebut, Ukraina tetap bisa melawan dengan baik.

Bahkan, Tsybulska menegaskan, Rusia hingga saat ini belum bisa mencapai satu pun tujuan yang ingin dicapai dari invasi tersebut. Padahal pasukan Rusia telah kehilangan ratusan ribu nyawa untuk menyerangan berbagai wilayah Ukarina

Para Delegasi tersebut juga merupakan pendukung Deklarasi Kyiv, yaitu seruan segenap warga sipil Ukraina kepada komunitas internasional untuk mendukung Ukraina dalam perjuangannya melawan Rusia. Deklarasi Kyiv telah ditandatangani oleh lebih dari 100 pemimpin masyarakat sipil dan didukung oleh tokoh internasional, termasuk mantan kepala negara dan pemimpin internasional.

KASI Menjadi Inti Kebijakan Luar Negeri Republik Korea

KASI Menjadi Inti Kebijakan Luar Negeri Republik Korea

ASEAN Study Center, LPPSP (Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sosial dan Politik) FISIP UI dengan dukungan dari Mission of The Republic Korea untuk ASEAN mengadakan kuliah umum dengan mengangkat tema “The Republic of Korea’s Foreign Policy and ROK – ASEAN Relations”. Sebagai pembicara H.E. Kwon Hee Seog (Duta Besar Mission of The Republic Korea untuk ASEAN) dan di moderatori oleh Broto Wardoyo, Ph.D. (Dosen Jurusan Hubungan Internasional). Kegiatan ini dilaksanakan pada Rabu (7/12) di Ruang Sidang, lantai 9, Pusat Administrasi (Rektorat) Universitas Indonesia.

Kwon Hee menjabarkan beberapa poin besar yang dibahas dalam kuliah umum ini, diantaranya yaitu kerangka kebijakan luar negeri Republic Of Korea (ROK), tiga dimensi kebijakan luar negeri ROK, hubungan ROK-ASEAN dan inisiatif solidaritas KOREA-ASEAN atau Korea-ASEAN Solidarity Initiative (KASI).

Dalam kerangka kebijakan luar negeri ROK mempunyai misi nasional yaitu “Korea Leaping Again: A Nation of People Living Well Together” yang mencakupi pemerintah bekerja dengan baik, pertumbuhan yang dinamis dan inovatif, kesejahteraan yang produktif. Menurutnya Kwon Hee, ROK juga mempunyai tujuan nasional untuk mencapai visi tersebut, sesuatu yang harus dicari dan dilindungi.

Tiga dimensi kebijakan luar negeri ROK yang dikatakan oleh Kwon Hee adalah diplomasi dengan negara tetangga seperti Jepang, China dan lainnya, lalu diplomasi regional serta diplomasi global/multilateral yang membahas masalah-masalah yang sedang terjadi maupun masalah jangka panjang.

Kwon Hee mengatakan dalam hubungan antara ROK dengan ASEAN, ROK memandang penting ASEAN. Konsep utama dalam hubungan ini yaitu setralitas ASEAN dan persatuan yang tujuannya untuk ASEAN yang lebih terintegrasi.

Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa KASI menjadi inti dari kebijakan luar negeri untuk mempromosikan Indo-Pasifik yang bebas, damai, dan sejahtera di tengah persaingan Amerika Serikat dan Republik Rakyat China.

Selain itu, kerja sama dan peningkatan perjanjian perdagangan bebas antara Korea Selatan dan ASEAN, serta penanganan perubahan iklim dan lingkungan. Peningkatan hubungan antara Korea Selatan dan ASEAN ke hubungan kemitraan strategis dan komprehensif dalam rangka menyambut 35 tahun jalinan hubungan diplomatik antara keduanya pada tahun 2024 mendatang.

Prioritas dari KASI ini ialah (1) mempromosikan tatanan internasional berbasis aturan dan kerja sama strategis dalam diplomasi dan pertahanan negara; (2) kemakmuran dan pengembangan bersama rantai pasokan global, keamanan energi, transformasi digital dan kendaraan elektronik; (3) kolaborasi dalam merespon bersama tantangan regional dan global seperti netralitas karbon dan pertumbuhan hijau, kerja sama pertanian dan perikanan, kesehatan masyarakat; (4) menggandakan kontribusi finansial.

Kuliah umum ini dilaksanakan secara hybrid dan diikuti oleh mahasiswa Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI, diakhir acara dilakukan sesi tanya jawab antar mahasiswa kepada H.E. Kwon Hee Seog dan sebaliknya.

Asra Virgianita: Deklarasi G20 Bali 2022, Kesuksesan Siapa?

Asra Virgianita: Deklarasi G20 Bali 2022, Kesuksesan Siapa?

Perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 yang diselenggarakan di Bali, 15-16 November lalu, berhasil menghasilkan sebuah deklarasi bersama.

Tercapainya deklarasi menjadi hal yang cukup mengejutkan, sekaligus menggembirakan, mengingat konferensi tersebut dilaksanakan di tengah saat situasi geopolitik yang tidak kondusif dan meningkatnya tensi antara negara-negara besar yang juga menjadi anggota G20.

Terlepas dari kesuksesan Indonesia sebagai Presidensi dalam melaksanakan perhelatan akbar ini, timbul pertanyaan: Apakah ini buah dari proses diplomasi Indonesia? Bagaimana dengan tekanan negara-negara maju yang selama ini begitu kuat mengusung isu konflik Rusia-Ukrania? Di samping seluruh rasa bangga masyarakat Indonesia, apa manfaat yang bisa didapat oleh masyarakat global dari deklarasi itu?

Dominasi isu Rusia-Ukraina dalam penyelenggaraan G20

Sejak serangan Rusia ke Ukrania pada bulan Februari 2022, pembahasan isu dalam rangkaian pertemuan G20 telah mengalami pergeseran.

Negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat (AS), sempat mendesak adanya agenda pembahasan tentang konflik Rusia-Ukrania dalam KTT G20, termasuk mengusulkan mengeluarkan Rusia dari keanggotaan G20 dan menghadirkan Presiden Ukrania Volodymyr Zelenskyy dalam pertemuan KTT G20.

Negara-negara G7 juga mengancam melakukan walk out jika Presiden Rusia Vladimir Putin hadir dalam KTT G20.

Dalam hampir seluruh rangkaian pertemuan G20 di tingkat menteri atau Working Group, negara-negara G7 terus mengeluarkan pernyataan yang mengecam Putin atas invasi Rusia di Ukrania. Walhasil, seringkali pertemuan-pertemuan itu mengalami kebuntuan dan pada akhirnya hanya menghasilkan ringkasan pemimpin rapat (chair’s summary), bukan dokumen kesepakatan atau komunike (communique).

Tekanan dari negara-negara G7 membuat Indonesia sebagai tuan rumah G20 berada di posisi yang sulit. Padahal, di luar persoalan geopolitik, Indonesia sudah menetapkan tiga isu prioritas untuk dibahas, yakni tata kelola kesehatan global, transformasi digital, dan transisi energi. Ketiganya sangat relevan dengan upaya pemulihan ekonomi global yang terdampak pandemi COVID-19.

Berbagai upaya dilakukan Indonesia untuk merespon berbagai desakan, baik desakan kelompok yang pro atas usulan negara G7 maupun yang kontra.

Salah satu upaya yang terlihat adalah inisiatif Presiden Joko “Jokowi” Widodo berkunjung langsung ke Rusia dan Ukraina untuk masing-masing menemui Putin dan Zelenskyy. Jokowi secara langsung mengundang mereka menghadiri KTT G20 di Bali.

Sayangnya, baik Putin maupun Zelenskyy tetap memilih tidak hadir secara tatap muka pada KTT G20. Rusia diwakili oleh Menteri Luar Negeri (Menlu) Sergei Lavrov, sementara Zelenskyy hadir secara virtual.

Tarik menarik kekuatan negara-negara besar makin terlihat dari hasil deklarasi KTT G20. Poin 3 Deklarasi Pemimpin G20 Bali secara jelas menyatakan kecaman atas invasi Rusia terhadap Ukrania:

“Most members strongly condemned the war in Ukraine and stressed it is causing immense human suffering and exacerbating existing fragilities in the global economy – constraining growth, increasing inflation, disrupting supply chains, heightening energy and food insecurity, and elevating financial stability risks. There were other views and different assessments of the situation and sanctions.”

Paragraf tersebut tidak mengatasnamakan seluruh anggota, melainkan hanya menyebut “most members” (sebagian besar anggota). Artinya, hanya tidak seluruh pemimpin negara anggota G20 satu suara terhadap kecaman tersebut.

Kondisi tersebut mencerminkan adanya kompromi-kompromi yang terjadi dalam perumusannya akibat adanya perbedaan sikap antara para pemimpin negara.

Di satu sisi, negara-negara Barat cenderung menyalahkan Rusia atas krisis pangan global yang tengah terjadi. Di sisi lain, ada Cina, misalnya, yang secara konsisten menolak mengecam Rusia.

Presiden Cina Xi Jinping dalam G20 justru mendorong penghentian permusuhan antara Rusia dan Ukrania dan mengajak negara-negara lain untuk tidak mempolitisasi isu Rusia-Ukraina sebagai penyebab krisis pangan. Cina meyakini bahwa krisis pangan terjadi bukan karena masalah pasokannya, tapi karena banyak negara yang memberlakukan sanksi terhadap Rusia sehingga rantai pasok jadi terhambat.

Dinamika yang didominasi oleh negara G7 tersebut membuat negara berkembang seperti Indonesia yang berada dalam posisi sangat terjepit. Padahal, sejak awal dimulainya perdebatan global terkait perang di Ukraina, pemerintah Indonesia sudah menegaskan bahwa forum G20 bukan forum yang tepat untuk membahas, apalagi menyelesaikan, konflik Rusia-Ukrania.

Perlu dicatat bahwa G20 adalah forum informal yang seharusnya fokus pada pembahasan tentang perekonomian global. Isu keamanan maupun geopolitik secara khusus tidak seharusnya ditekankan pada pertemuan ini.

Alih-alih menyerukan multilateralisme yang diharapkan dapat membangun kerangka dan tindakan bersama (Common framework and Collective Action), forum G20 masih tebal diselimuti oleh kepentingan-kepentingan negara-negara besar.

Mengawal Hasil G20

KTT G20 kali ini memberikan warna tersendiri dibandingkan konferensi G20 sebelum-sebelumnya. Tidak hanya sarat dengan segala kompleksitas terkait geopolitik, konferensi kali ini juga menghadapi tantangan besar karena berlangsung di tengah upaya pemulihan global pascapandemi.

Tema besar yang diusung Indonesia, “Recover Together, Recover Stronger”, mempunyai makna yang sangat dalam tentang pentingnya bangkit bersama, baik dalam pertumbuhan ekonomi maupun pembangunan. Prinsip inklusivitas dan leave no one behind dalam agenda pembangunan berkelanjutan telah didengungkan sedemikian rupa dalam berbagai forum.

Namun, tampaknya makna kata “together” masih menyisakan tanda tanya: merujuk ke siapa atau kelompok negara mana?

Oleh karena itu, pekerjaan rumah yang terbesar adalah memastikan berbagai komitmen yang dihasilkan dalam KTT G20, dilaksanakan oleh para anggotanya.

Negara G20 diharapkan dalam mengimplementasikan kesepakatan utama secara konkrit, seperti pengumpulan dana pandemi (Pandemic Fund). Manfaat dari dana tersebut tidak hanya diarahkan untuk anggota G20, namun utamanya untuk negara-negara berkembang yang memiliki kerentanan atas tantangan dunia saat ini.

Mengawal implementasi hasil kesepakatan G20 ini menjadi penting mengingat forum G20 bukan forum yang mengikat. Di sinilah sesungguhnya kesuksesan Presidensi G20 Indonesia.

Sumber: https://theconversation.com/deklarasi-g20-bali-2022-kesuksesan-siapa-194915

Prof. Evi Fitirani: Implementasi Kesepakatan Forum Tergantung Pada Niat Baik dan Kesadaran Masing-Masing Pihak

Prof. Evi Fitirani: Implementasi Kesepakatan Forum Tergantung Pada Niat Baik dan Kesadaran Masing-Masing Pihak

Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia (UI) Evi Fitriani menilai pertemuan pemimpin negara berkonflik dalam forum G20 adalah hal baik.

Para pemimpin dua ekonomi paling kuat di dunia, Presiden AS Joe Biden dan Presiden Cina Xi Jinping, bertemu selama lebih dari tiga jam pada Senin (14/11) sesaat sebelum acara puncak dari KTT G20 di Nusa Dua, Bali. Pembahasan bilateral antar kedua negara digadang-gadang menjadi kunci dari munculnya komunike dalam ajang G20.

Isu ketegangan geopolitik hingga ego antar negara tetangga menjadi tantangan bagi KTT G20 untuk menghasilkan keputusan bersama atau komunike. Sejumlah analisis memandang presidensi Indonesia pada KTT G-20 akan menghadapi tantangan sulit untuk memastikan setiap anggota G20 dapat membuahkan komunike di tengah ketegangan geopolitik. Namun, di tengah kekhawatiran itu, Indonesia masih optimis pada munculnya komunike.

“Sebetulnya perang di Ukraina cuma salah satu dari masalah geopolitik yang mengganggu G20 selama ini. Masih ada geopolitik China dengan Amerika Serikat dan sekutunya, seperti Australia,” kata Evi, Rabu (16/11), dikutip dari dialog Sapa Indonesia Malam KOMPAS TV.

“Jadi bila pemimpinnya bisa bertemu, minimal mereka sharing, lalu diharapkan tensinya agak released (dilepaskan, red) atau menurun. Karena, kalau orang tidak pernah bertemu, pasti ada curiga,” kata akademisi UI itu.

Evi mengatakan, pemimpin negara berkonflik punya kesempatan untuk berekspresi terkait apa yang sedang jadi konsentrasi mereka. “Jadi, komunikasi memang harus dilakukan untuk pihak-pihak yang bertikai, dan kita menyediakan forum itu di G20,” terang dia.

Kendati begitu, Evi mengingatkan, “G20 bukan penyelesaian semua masalah dunia. Jangan salah, jangan berharap terlalu banyak pada G20.”

“G20 merupakan institusi global yang sebetulnya tidak mengikat. Jadi semua komitmen itu voluntary (sukarela, red),” lanjutnya.

Evi berujar, implementasi kesepakatan forum tergantung pada niat baik dan kesadaran masing-masing pihak. “Tapi dunia sudah mencatat, mereka telah berkomitmen di berbagai isu. Nah, ini yang kita bersama-sama masyarakat dunia mengamati,” ujar Evi.

https://www.kompas.tv/article/349159/jadi-forum-pertemuan-kepala-negara-pengamat-ingatkan-ktt-g20-bukan-penyelesaian-semua-masalah-dunia