Dewasa ini, Indonesia mengalami kebanjiran informasi. Jurnalis Indonesia setidaknya dituntut untuk memiliki kemampuan menyortir, memilah dan menyajikan kebenaran sebagai penyegar informasi yang diterima oleh publik. Bukan lain karena informasi yang kian melimpah seiring waktu memiliki sisi buruk yang dapat dirasakan oleh masyarakat, satu diantarnya adalah berkembangnya berita bohong. Jurnalis dituntut untuk mengembalikan sikap profesionalisme wartawan agar dapat mempertahankan kepercayaan publik pada pers.
Melalui rangkaian kegiatan Seminar Nasional “Profesionalisme Pers Mahasiswa di Era Digital” diharapkan dapat menjadi ruang diskusi dan belajar mengenai sikap profesionalisme jurnalis. Kegiatan ini merupakan rangkaian dari Hari Pers Nasional yang dilaksanakan setiap tahunnya. Kegiatan ini telah berlangsung pada Rabu (15/02) di Auditorium Juwono Sudarsono.
Dekan FISIP UI, Prof. Semiarto Aji Purwanto menyambut baik dan mengapresiasi diselenggarakannya seminar nasional ini dan berharap mahasiswa FISIP dapat mendapatkan ilmu yang baru mengenai jurnalistik ini.
Ahmed Kurnia selaku perwakilan Persatuan Wartawan Indonesia Pusat (PWI), mengatakan bahwa saat ini sosial media mengambil alih media lama seperti koran, radio dan televisi, media sosial juga telah menjadi gaya hidup baru serta budaya baru dalam jurnalisme. Ia memberikan contoh saat ini trending topic atau isu yang lagi viral menjadi isi redaksi saat ini berbeda dengan dulu yang harus dirapatkan terlebih dahulu.
Ia juga melihat bahwa saat ini fenomena yang terjadi di media sosial demi konten, “mau itu masyarkat kelas atas maupun kelas bawah rela melakukan apa saja demi konten yang akan menjadi viral, sudah banyak contoh yang terjadi di Indonesia.”
Di sisi lain, Muhamad Agung Dharmajaya (Wakil Ketua Dewan Pers) menekankan pentingnya profesionalisme pers mahasiswa di era digital dengan periksa kembali keaslian sumber informasi sebelum menyebarkan informasi tersebut serta perhatikan kode etik jurnalistik.
“Sebab tugas jurnalis adalah mengklarifikasi dan investigasi lebih lanjut pemberitaan untuk mengcover both side. Idealnya ada tiga narasumber untuk pemberitaan,” ujarnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, jika seorang jurnalis mempunyai impact dan tanggung jawab atas pemberitaan yang ada, jika banyak pemberitaan yang tidak jelas maka viewers dan pembaca menurun lalu menjadi tidak kredibel.
Seminar ini dilaksanakan bertujuan untuk membangun semangat para jurnalis mahasiswa untuk
mengembangkan sikap profesionalisme pers serta memfasilitasi para jurnalis mahasiswa secara umum untuk belajar mengenai sikap profesionalisme pers.
Alumni Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI tahun 2012, Keyza Widiatmika menuliskan artikel mengenai critical thinking yang dimuat dalam web balipost.com pada Senin (23/1), ia juga menjadi asisten dosen di Departemen Ilmu Komunikasi.
Dalam pendidikan hadap masalah (problem-posing education), proses transfer ilmu satu arah adalah nihil. Murid bukan sekadar obyek penerima ilmu, karena guru harus bisa menjadi pendamping untuk menstimulasi critical thinking atau kemampuan berpikir kritis para murid.
Guru dan murid ibarat rekan sejawat yang sama-sama sadar untuk saling belajar tentang realitas dunia dan menyelesaikan permasalahannya. Maka dari itu, sudah sewajarnya murid diajak mengeksplorasi diri dan sekitarnya melalui kesempatan mengekspresikan perspektif mereka.
Mengasah critical thinking dapat dilakukan dengan sistem pembelajaran yang bersifat HOTS (High Order Thinking Skills) yang juga berpengaruh pada kemampuan berpikir kreatif dan analitis. Jika guru menanamkan pembelajaran bersifat hafalan dan minim kontekstualitas, maka terjadilah proses pelemahan berpikir kritis. Terlebih lagi dengan bantuan Artificial Intelligence (AI) bernama Chat GPT.
Teknologi ini mampu menjawab pertanyaan dan permintaan pengguna lewat teks. Ia jadi pendamping yang dapat melakukan pekerjaan yang biasanya hanya dilakukan oleh manusia seperti mengatur strategi dan membuat keputusan.
Misal dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia, murid diminta membuat puisi bertemakan cinta. Mereka yang terbiasa dengan internet akan mengakses mesin pencari seperti Google untuk menemukan jutaan contoh puisi sebagai referensi.
Namun, uniknya Chat GPT lebih dari sekadar mesin pencari. Murid bahkan bisa meminta jawaban yang bersifat personal dan spesifik mulai dari jumlah kata, penggunaan bahasa, hingga bentuk emosi dalam puisi.
Guru yang abai dengan pembelajaran bersifat kontekstual akan membuat murid mempertanyakan kembali relevansi materi pelajaran dengan kehidupan mereka sehari-hari. Jika kadar relevansi itu tipis, maka berbagai jalan pintas akan dilakukan, termasuk memanfaatkan Chat GPT untuk membuat tugas yang ala kadarnya. Di sinilah critical thinking manusia diuji dan berdampak banyak.
Pertama adalah berkurangnya interaksi sosial. Padahal, pendidikan hadap masalah mengutamakan dialog, dan pembelajaran dialogis menciptakan keterbukaan. Interaksi antara guru dan murid akan menjadi jendela bagi murid berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, sehingga ilmu yang didapat tak hanya menjadi ego individu.
Tantangan lain ada pada rendahnya motivasi. Murid berpotensi kehilangan niat belajar karena segala tugas yang diberikan hanya sekadar memenuhi lembar putih oleh tinta hitam. Bayangkan makalah puluhan halaman yang biasanya memakan waktu berhari-hari dapat diselesaikan dalam hitungan menit.
Tantangan ini kemudian melahirkan tantangan pada produk tanpa kontrol kualitas, meski bukan masalah bagi guru yang berorientasi kuantitas. Ini lah perkara utamanya. Teknologi Chat GPT bukan secara tiba-tiba mereduksi kemampuan berpikir kritis manusia. Ada peran guru yang harus muncul untuk merancang pembelajaran kontekstual, sekalipun harus memanfaatkan Chat GPT.
Ellen M. Yasak resmi menjadi doktor Ilmu Komunikasi setelah berhasil mempertahankan disertasinya dihadapan para dewan penguji. Sidang terbuka promosi doktor Ellen dilaksanakan pada Jumat (6/1) di Auditorium Juwono Sudarsono. Disertasi Ellen berjudul “Dominasi Wacana Maskulin dalam Habitus Perempuan Pewarta Foto: Telaah Foto Berita dari Sudut Pandang Semiotika Sosial Multimodal”.
Perempuan yang hidup dalam sistem patriarki, seperti di Indonesia, berjuang untuk membuktikan bahwa dirinya memiliki kekuatan, mampu bersaing di kancah publik dan bukan warga negara kelas dua. Idealnya, kebijakan yang terkait dengan hak warga negara harus menempatkan perempuan pada posisi yang setara dengan laki-laki.
Sejak dulu jumlah jurnalis laki-laki selalu lebih banyak dibandingkan pewarta perempuan. Apalagi Jumlah mereka yang berprofesi sebagai pewarta fotonya lebih kecil lagi. Berprofesi sebagai pewarta memiliki tantangan dan risiko tinggi, terlebih untuk perempuan. Mereka harus bersaing dengan pewarta laki-laki untuk mendapat berita secara profesional.
Perbedaan pengalaman, identitas gender, struktur patriarki yang dikukuhkan oleh maskulinitas berimplikasi pada karya perempuan fotografer. Diskriminasi berbasis gender di tempat kerja, membuat perempuan di Indonesia lebih rentan dan lebih mungkin untuk dieksploitasi dibandingkan rekan kerja laki-laki. Kondisi itu turut memengaruhi kondisi perempuan pewarta foto.
Penelitian ini menelaah sumber semiotik yang dibentuk dari habitus perempuan pewarta foto, yang berimplikasi pada pilihan bahasa visual mereka. Metode penelitian yang digunakan adalah semiotika sosial multimodal.
Penerapan analisis semiotika sosial pada karya perempuan pewarta foto di atas dapat mendeskripsikan karakter visual masing-masing yang dilihat dari pilihan sumber semiotis yang digunakan. Pembentukan habitus terjadi pada perempuan pewarta foto dalam kurun waktu yang lama, secara berulang-ulang dan bersifat dialektis.
Proses pembelajaran mereka dalam lingkungan sosial di mana habitus dibentuk, menurut Bourdieu berkaitan erat dengan tatanan sosial yang berdasarkan pembagian objek dan kegiatan sesuai dengan oposisi antara feminin dan maskulin.
Menelaah konstruksi, kekerasan, dan kekuatan simbolik memiliki pengaruh kuat pada cara pandang seseorang. Cara perempuan pewarta foto memandang realitas sosial yang diartikulasikan dalam bentuk foto jurnalistik ini tidak lepas dari habitus yang melekat pada diri mereka yang sangat personal.
Selanjutnya, meskipun visi perempuan dianggap berbeda dengan laki-laki, dari penelitian ini dapat dilihat bahwa visi laki-laki memiliki andil besar dalam visi yang disampaikan perempuan. Tidak berhenti sampai di sini, proses ini akan berlangsung secara dialektis dan tidak tetap. Setiap individu akan selalu memgalami dialektika atas realitas objektif yang ada di sekitarnya.
Ide-ide semiotika sosial tersebut didasarkan pada pemikiran Karl Marx: kesadaran sejati manusia tidak akan pernah bisa menjadi apa pun selain ideologi. Konsep ini digunakan untuk membedah foto jurnalistik yang dihasilkan oleh perempuan pewarta foto . Foto-foto yang mereka hasilkan berkaitan erat dengan preferensi pribadi berdasarkan realitas objektif yang melingkupi mereka.
Misalnya foto yang dihasilkan dari fotografer yang menerima didikan egaliter dalam keluarganya, dapat dibedakan dengan yang menerima didikan penuh diskriminasi. Tekanan atau keleluasaan yang dialami seorang pewarta foto, memengaruhi pilihan sumber semiotis visual yang mereka hasilkan.Dalam konsep semiotika sosial terdapat model fungsional bahasa untuk menentukan pilihan sumber semiotis dalam berkomunikasi.
Temuan penelitian ini yaitu (1) sumber semiotik yang dimiliki perempuan pewarta foto tidak bebas, dan ditentukan oleh habitus; (2) media menjadi sumber semiotik perempuan pewarta foto dalam memaknai dominasi maskulin; (3) dominasi wacana maskulin dibentuk dari konstruksi, kekerasan, dan kekuatan simbolik; dan (4) konteks situasi dan budaya pada konsep semiotika sosial Halliday merupakan perwujudan habitus dalam teori Bourdieu.
Pernikahan tradisional Jawa merupakan hal yang masih sangat relevan hingga masa kini, meskipun tidak lagi ramai peminatnya seperti pada masa lampau. Pernikahan merupakan bagian dari warisan budaya berlandaskan sistem sosial, yang merujuk pada terjadinya pembentukan kebiasaan tertentu. Dalam persiapan perkawinan Jawa, relasi yang utama bertumpu pada Ibu dan anak perempuan, relasi tersebut berakibat pada atau bersifat konfliktual dalam proses persiapan perhelatan, karena baik Ibu dan anak perempuannya mewakili dua generasi yang berbeda.
Sidang Promosi Doktor Departemen Ilmu Komunikasi, Bhernadetta Pravita Wahyuningtyas dilaksanakan pada Rabu (4/1) di Auditorium Juwono Sudarsono. Ia berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul “Akomodasi Komunikasi Dalam Keluarga Sebagai Penyesuaian Nilai-Nilai Budaya Antargenerasi (Suatu Studi pada Perhelatan Pernikahan Tradisional cara Solo dan Yogyakarta)”.
Sidang terbuka doktoral ini di ketuai oleh Guru Besar Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI, Prof. Dr. Drs. Fredy Buhama Lumban Tobing, M.Si, sebagai Promotor Dr. Donna Asteria, M. Hum., Kopromotor Dr. Sunarto, M,Si., serta para dewan penguji Prof. Alois A. Nugroho, Ph.D., Prof. Dr. Billy K. Sarwono, M.A., Dr. Nina Mutmainah Armando, M.Si., Endah Triastuti, M.A., Ph.D., Dr. Riris Loisa, M.Si., Ph.D., dan Dr. Indah Santi Pratidina, M.Si.
Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana akomodasi komunikasi terlaksana dalam persiapan pernikahan tersebut, serta mengidentifikasi dan menganalisis landasan proses akomodasi komunikasi yang terdapat atau beserta di dalamnya. Untuk mengakomodasi kesenjangan generasi, fokus komunikasi pada pola konvergensi dalam perilaku komunikasi. Paradigma post-positivis digunakan untuk menggambarkan fenomena pada keluarga Jawa dalam menerap upacara pernikahan adat sebagai warisan di antara keluarga mereka. Metode kualitatif digunakan untuk mengumpulkan data dengan observasi partisipan dengan purposive sampling.
Temuan studi ini menunjukkan adanya dua lapisan untuk menjelaskan proses Akomodasi Komunikasi tersebut, pada lapisan pertama Akomodasi Komunikasi yang berlangsung menghasilkan konvergensi yang dapat menyelesaikan masalah antar generasi dan menjadikannya sebagai interaksi yang harmonis, sementara pada lapisan kedua, ditemukan bahwa yang menjadi landasan dari akomodasi komunikasi adalah sistem sosial yang menghasilkan pemahaman yang berbeda pada masing-masing pihak, dalam hal ini Ibu dan anak perempuan. Pemahaman tersebut menghadirkan dua hal; pertama: Pernikahan merupakan bagian dari sosialisasi baik bagi Ibu maupun anak perempuan yang selaras. Kedua: Perbedaan yang muncul lebih merujuk pada aspek teknis. Aspek teknis inilah yang menggambarkan perbedaan antar generasi dalam pemaknaan Ibu dan anak perempuan tentang segala hal yang terkait dengan perhelatan pernikahan tradisional.
Ditemukan pula dua pola konvergensi dari akomodasi komunikasi antara pasangan Ibu dan anak Perempuan. Pola pertama adalah sang anak mengikuti dan menyesuaikan dengan keinginan, sedangkan pola kedua adalah Ibu menyesuaikan diri dan mengikuti kemauan anak. Dalam kedua pola tersebut muncul berbagai konflik yang mewarnai proses akomodasi antara keduanya.
Dari penelitian ini diketahui bahwa pola konvergensi juga ditentukan oleh posisi anak dalam keluarga, yang melakukan konvergensi pada orang tua adalah anak kedua dari dua bersaudara dan anak pertamanya adalah laki-laki, sementara pola yang kedua yaitu yang melakukan konvergensi pada anak, anaknya merupakan anak perempuan pertama dalam keluarga tersebut.
Akomodasi komunikasi terjadi karena bagaimanapun ada satu landasan dan basis yang dipahami oleh kedua belah pihak. Akomodasi komunikasi yang dilakukan memiliki makna penghormatan, menegakkan harmoni, menjaga kerukunan, memahami tata krama dan tidak konfrontatif. Peka terhadap perasaan, kepantasan dan rasa sungkan, serta berhitung atas siapa saja yang sudah berjasa dalam hidupnya. Meskipun patriarkis, orang Jawa meletakkan ibu sebagai sosok penting atau sebagai posisi sentral dalam keluarga, menjadi sosk yang dimuliakan. Maka, dalam konteks pernikahan, ayah atau bapak tidak banyak dilibatkan dalam diskusi dan tarik-menarik akomodasi.
Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia telah memberikan gelar Doktor kepada Reza Praditya Yudha yang berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul “Konstruksi Sosial atas Realitas dalam Mediatisasi (Guyub Rukun dalam Kehidupan Sehari-hari Masyarakat Tulungagung)” dihadapan para dewan penguji pada Selasa (3/1) di Auditorium Juwono Sudarsono.
Sidang terbuka Promosi Doktor Reza Praditya Yudha ini, di ketuai oleh Dekan FISIP UI, Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto, Promotor Dr. Hendriyani, Ko-Promotor Endah Triastuti, Ph.D. Para dewan penguji, Suryadi, Ph.D, Yanuar Nugroho, Ph.D, Prof. Billy K. Sarwono, Dr. Nina Mutmainnah, Dr. Pinckey Triputra dan Dr. Irwansyah.
Studi ini mengkaji hubungan timbal balik antara masyarakat, media dan konteks sosial budaya dalam proses konstruksi sosial atas realitas. Studi ini merujuk pada diskusi akademik tentang konstruksi sosial atas realitas yang menekankan pada bagaimana realitas dihasilkan oleh cara manusia berfikir atau membicarakannya dalam sebuah mekanisme atau struktur sosial.
Studi ini kemudian memahami guyub rukun sebagai nilai budaya yang dikonstruksi masyarakat Tulungagung dalam berbagai makna, praktik sosial, diskusi atau perwujudan nyata (artefak). Secara konseptual, guyub (kebersamaan) dan rukun adalah nilai budaya yang dilestarikan secara nasional, artinya, guyub rukun diteguhkan sebagai nilai bersama untuk menjaga kesatuan bangsa Indonesia yang memiliki keragaman budaya. Studi ini memusatkan diskusi pada pengalaman dan keseharian masyarakat Tulungagung dalam proses konstruksi sosial atas realitas guyub rukun di lingkungan yang termediatisasi.
Isu sosial tentang politik dan agama melatarbelakangi sejumlah konflik ataupun ujaran kebencian di beberapa media. Akan tetapi, kehidupan masyarakat Tulungagung menunjukkan nuansa kerukunan sebagaimana data dari Data Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Tulungagung mencatat ketiadaan konflik sosial sepanjang tahun 2017-2019.
Merujuk Teori Konstruksi Sosial atas Realitas dan mediatisasi yang menyatakan konteks sosial budaya melandasi praktik komunikasi dan penggunaan media, studi ini berargumen bahwa engagement media masyarakat Tulungagung memiliki kaitan dengan guyub rukun sebagai nilai sosial budaya.
Untuk itu, studi ini bertujuan untuk memahami interelasi masyarakat Tulungagung dengan media dalam konteks guyub rukun. Studi ini menggunakan etnografi sebagai metode penelitian demi memahami pengalaman, makna, dan praktik keseharian guyub rukun dari perspektif masyarakat Tulungagung.
Temuan studi menunjukkan bahwa masyarakat membangun makna guyub rukun dari perspektif politik, sejarah dan sosial budaya. Guyub rukun kemudian membentuk kesadaran kognitif dan dimplementasikan masyarakat dalam praktik-praktik sosial. Masyarakat Tulungagung juga membangun mekanisme bersama untuk menjaga guyub rukun melalui kebiasaan, aktivitas sosial budaya dan penyelesaian konflik yang mengutamakan nilai kebersamaan, keharmonisan, inklusifitas, kepedulian dan saling menghormati. Dalam kesehariannya, masyarakat menggunakan media untuk mendiseminasi, meneguhkan dan merepresentasikan guyub rukun, menjaga nilai lokalitas, mengelola konflik, memunculkan eksistensi subkultur, membentuk relasi sosial yang harmonis, serta menyajikan informasi secara cepat, valid dan sesuai dengan konteks sosial.
Reza merekomendasi, masyarakat Tulungagung menggunakan media untuk memenuhi kebutuhan informasi, membina relasi, diskusi publik, pengawasan pemerintah dan mendapatkan hiburan. Masyarakat masih dapat memaksimalan pemanfaatan media misalnya untuk meningkatkan pendapatan dan menunjang pendidikan pribadi, atau menciptakan lapangan kerja dan mempromosikan kegiatan kelompok.
Kampus UI Depok Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Jl. Prof. Dr. Selo Soemardjan, Depok, Jawa Barat 16424 Indonesia
E-mail: fisip@ui.ac.id
Tel.: (+62-21) 7270 006
Fax.: (+62-21) 7872 820
Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 6, Universitas Indonesia
Jl. Salemba Raya 4, Jakarta 10430 Indonesia