oleh Sri Indah Wijayanti | Jan 2, 2023 | Berita, Liputan Media
Gita Aprinta EB menjadi doktor dari Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI setelah berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul “Masyarakat Informatika untuk Keterlibatan dan Pemberdayaan Masyarakat Perkotaan (Pengalaman dan Praktik Teknologi Informasi dan Komunikasi Masyarakat Kota dalam Membentuk Keterlibatan dan Pemberdayaan di Kota Semarang).”

Pada sidang terbuka promosi doktor ini ini dilaksanakan pada Senin (2/1) di Auditorium Juwono Sudarsono. Ketua Promosi Doktor, Dekan FISIP UI, Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto, Promotor Dr. Hendriyani dan Ko-Promotor Endah Triastuti, Ph.D serta dewan penguji Dr. Elidjen, Dr. Dyah Rahmawati Sugiyanto, Inaya Rakhmani, Ph.D dan Prof. Dr. Billy K. Sarwono.
Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi dalam komunitas atau masyarakat seharusnya tidak hanya menitikberatkan pada pengembangan infrastruktur namun juga dengan mempertimbangkan konteks lainnya yang mencakup pengalaman dan praktik dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

Gita mengatakan, penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi pengalaman dan praktik masyarakat dengan teknologi informasi dan komunikasi dalam kehidupan sehari-hari dengan menitik-beratkan pada pengalaman komunitas sebagai masyarakat kota di mana TIK secara aktif digunakan sebagai bentuk keterlibatan dengan pemerintah. Kota dirancang dan dikembangkan secara strategis dengan bantuan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan kualitas kehidupan mereka.
Menggunakan paradigma konstruktivis, penelitian ini merujuk pada pemikiran Michael Gurstein mengenai Community Informatics yang mengedepankan penggunaan aplikasi teknologi informasi dan komunikasi untuk pemberdayaan masyarakat.
Perkembangan dan Penggunaan TIK di kota Semarang di desain berdasarkan strategi Rencana Pembangunan Jengka Menengah Daerah [RPJMD] tahun 2016-2021. Dalam gagasan masyarakat informatika, desain TIK yangtapat akan membuka kesempatan untuk dan pembangunan infastruktur TIK kota merupakan perwujudan dari desain TIK. Infastruktur TIK kota semarang pertma kali dibangun 2013 dengan konsep pintar dengan pemasangan 2.300 titik free wifi di area publik. Pembangunan infastruktur TIK memberikan kesempatan akses yang luas dalam pengembangan potensi kota.
Pada tahun 2018, pemerintah kota semarang membuat rencana induk semarang kota cerdas yang dituangkan dalam peraturan walikota semarang nomor 26 tahun 2018. Tujuannya untuk mempercepat penanganan program prioritas dari RPJMD kota Semarang. Pengembangan infastruktur TIK meliputi pengembangan program jariangan, pembuatan portal lintas instansi dan informasi online, kapasitas jaringan data yang dititik beratkan pada enam dimensi yaitu, smart governtmen, smart branding, smart economy, smart living, smart society dan smart enviroment.
Pembangunan infastruktur TIK di kota semarang dan bahwa kota semarang sebenarnya diawali dari tindak lanjut regulasi pemerintah yaitu Undang – Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik.
Gita menjelaskan hasil temuannya, penelitian ini menunjukkan bahwa pertama, pengembangan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi di perkotaan terkait era dengan rencana pembangunan nasional yang memerlukan berbagai kebijakan, regulasi, kelokalan dan konteks sosial sekaligus mengatur penggunaan teknologi informasi dan komunikasi pada masyarakat perkotaan, sehingg pengembangan infrastruktur memiliki posisi penting dalam konteks masyarakat informatika. Kedua, pengalaman dan praktik teknologi informasi dan komunikasi masyarakat kota dipengaruhi oleh kecemasan, rasa tidak percaya terhadap pemerintah dan teknologi itu sendiri. Ketiga terdapat gap antara teori dan praktik masyarakat informatika dalam penelitian ini.
Gap tersebut terletak pada pemikiran pemikiran bahwa pemberdayaan masyarakat terjadi tidak hanya pada masyarakat mampu menggunakan teknologi informasi dan komunikasi namun juga karena adanya aset komunitas seperti kepercayaan, timbal balik, kerjasama, nilai norma bersama yang dihasilkan dari interaksi dalam jaringan sosial masyarakat sehingga penelitian ini menawarkan “kebaruan” konseptual “desain teknologi informasi dan komunikasi yang lebih humans, baik secara infrastruktur maupun praktik atau pengalaman.
oleh Sri Indah Wijayanti | Des 23, 2022 | Berita, Liputan Media

Rocky Prasetyo Jati berhasil mempertahankan disertasinya dan mendapatkan gelar Doktor di bidang Ilmu Komunikasi. Sidang Promosi Doktor Rocky dilaksanakan pada Rabu (21/12) di Auditorium Juwono Sudarsono. Ketua sidang ini Prof. Dr. Fredy Buhama Lumban Tobing, M.Si, Promotor Dr. Donna Asteria, S.Sos, M.Hum serta dan Ko-promotor Endah Triastuti, Ph.D, serta dewan penguji Prof. Dr. Billy K Sarwono, Dr. Hendriyani, Dr. Linda Darmajanti, Inaya Rakhmani Ph.D, Mario Anton Birowo, Ph.D, Dr. Iwan Gunawan.
Penelitian ini mengeksplorasi bagaimana media komunitas menghadapi media arus utama yang menolak kemasan lokal guna melakukan usaha-usaha komodifikasi budaya. Penolakan media arus utama terhadap kemasan lokal dapat diindikasikan melalui bagaimana media arus utama tidak memberikan ruang lebih luas bagi komunitas budaya untuk menampilkan pertunjukan budaya tradisional dengan kekhasan lokalitas.
Disertasi ini memberikan gambaran umum mengenai studi tentang media komunitas pada komunitas budaya di era digital. Teknologi informasi dan komunikasi (selanjutnya akan disebut TIK) berpotensi mendorong industri kesenian tradisional. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi inovasi pelestarian budaya lokal oleh komunitas budaya. Secara umum, TIK diyakini dapat memperluas akses publik serta peluang bagi komunitas budaya dalam berbagi ekspresi kesenian.
Diawali dari ketertarikan peneliti terkait evolusi platform digital untuk media komunitas. Guna mewujudkan tujuannya, komunitas budaya berupaya memanfaatkan saluran media berupa media komunitas. Bagaimana teknologi media kemudian mampu memenuhi kebutuhan orang dalam memproduksi makna. Penelitian ini mengeksplorasi aksi komunitas budaya di Jawa Tengah yang secara ruin melakukan produksi konten berupa seni dan budaya tradisional.
Komunitas budaya yang menjadi tujuan eksplorasi peneliti yaitu komunitas bernama Bali Buja. Bali Buia adalah singkatan dari Paguyuban Peduli Budaya Jawa. Meskipun menggunakan kata Bali di dalam namanya, namun aktivitas komunitas ini tidak secara langsung berkaitan dengan nama daerah di Indonesia, yaitu Pulau Bali.
Pilihan peneliti untuk mengkaji komunitas Bali Buia diawali dari pengamatan terhadap karakteristik unik yang dibangun oleh Bali Buja. Sepanjang pengamatan penelitian sejak tahun 2018, penggunaan teknologi media berbasis internet yang dilakukan ole seniman di sekitar Jawa Tengah-ataupun Daerah Istimewa Yogyakarta (daerah yang memiliki kedekatan secara geografis dengan Klaten), mash belum begitu banyak dimanfaatkan oleh komunitas seniman.

Menurut Rocky, pada penelitian ini menemukan bahwa ruang publik yang dibentuk melalui media baru adalah jalur inovasi media komunitas. Ruang publik yang hadir melalui teknologi digital adalah potensi bagi komunitas untuk lebih mudah berekspresi.
Kontribusi penelitian ini telah mengkonfirmasi bahwa misi ketahanan budaya akan mampu diupayakan ketika terjadi partisipasi masyarakat yang memiliki kepedulian yang sama, motivasi untuk melahirkan inovasi, komitmen serta konsistensi antar anggota komunitas termasuk di dalamnya aktor sosial. Seperti bagian dari studi, penelitian ini juga menyoroti pentingnya interaksi antara media komunitas dengan budaya lokal.
Ia juga mengatakan bahwa, penelitian ini telah menunjukkan bahwa media komunitas mendapatkan dukungan masyarakat yang besar dibuktikan dengan keterlibatan aktor sosial, relawan, dan anggota masyarakat yang peduli untuk memproduksi konten-konten seni dan budaya.
Komunitas budaya melalui pengembangan teknologi media menunjukkan upaya ‘pengarusutamaan’ konten pertunjukan seni dan budaya. Mereka kemudian membuktikan, bahwa optimalisasi beragam platform internet dapat melahirkan aliran baru berupa ‘pengarusutamaan’ konten seni dan budaya tradisional.
Langkah ini sejalan dengan tujuan awal komunitas yaitu ketahanan budaya, sebuah upaya dalam menjaga warisan leluhur mereka agar terus diingat bagi generasi penerus. Apa yang dikembangkan komunitas melalui teknologi yang terkini merupakan bukti respon dari komunitas agar seni dan budaya tradisional semakin mudah diakses oleh generasi muda.
oleh Sri Indah Wijayanti | Agu 26, 2022 | Berita, Liputan Media
Media sosial menjelang tahun politik tidak lagi sekadar ruang interaksi sosial antar warganet, tapi juga kerap menjadi pengawasan, pengendalian serta pemojokkan kelompok tertentu. Memasuki tahun politik 2024, ada kecenderungan politisasi media sosial di Indonesia.
Sosial media kemudian menjadi alat baru bagi pemain politik guna mencapai tujuan kepentingan politiknya, seperti mendapatkan suara pada pilpres atau pilkada. Dalam kasus tersebut, biasanya yang dikorbankan adalah kelompok-kelompok minoritas. Tingginya kepentingan politik, ditambah dengan kuatnya paham fundamentalis dan konservatisme agama membuat media sosial menyebarkan konten-konten yang berdampak buruk bagi kelompok minoritas gender dan agama.
Melalui moderasi sosial media, bagaimana masyarakat bersama-sama dengan pemerintah mereduksi konten-konten di sosial media yang dapat melanggengkan diskriminasi terhadap kelompok minoritas? Endah Triastuti, Ph.D (Dosen Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI) menjadi pembicara dalam diskusi yang diadakan oleh The Conversation Indonesia pada Rabu (24/8) melalui kanal Youtube dengan mengangkat tema “Mereduksi Diskriminasi Terhadap Kelompok Minoritas di Media Maya Menjelang Tahun Politik.”
Berangkat dari panasnya tahun-tahun menjelang pemilu dimana kelompok-kelompok minoritas biasanya menjadi objek diskriminasi yang polanya sudah merambah ke sosial media, seperti isu-isu tentang LGBTQ, minoritas agama atau kelompok-kelompok lain kadang dipakai menjelang pemilu.
Diskriminasi dan persekusi akan intens dan seperti itu polanya menjelang tahun politik dikarenakan ekspresi penolakan terhadap kelompok-kelompok minoritas tersebut.
Kandidat politisi yang terlihat mendukung atau membela kelompok-kelompok minoritas biasanya dianggap akan mendapat kerugian dari aspek elektabilitas, contohnya seperti pemilu tahun 2019 lalu dari kaum ‘pelangi’ mengakui bahwa isu LGBTQ memang selalu ‘digoreng’ untuk kepentingan politik tertentu.
Menurut Endah, internet itu tidak aman dan tidak juga bahaya, ibaratnya internet mempunyai connecting door yang dimana seseorang bisa mencari apa yang diinginkan dan bisa menghindari apa yang ingin dihindari, jadi internet atau media sosial tidak bisa dikontrol karena mempunyai banyak pintu. “Seperti contohnya kaum LGBTQ di Indonesia yang saya amati melakukan praktik-praktik seperti itu, mereka bisa anonim, mempunyai bahasanya isyaratnya sendiri dan saling membantu untuk komunitasnya jika ada sesuatu masalah terjadi dari kalangan mereka,” ujarnya.
Lebih lanjut Endah mengatakan bahwa pemerintah Indonesia terutama di order baru sudah memelihara dan memproduksi narasi-narasi partisanship (keberpihakan) seperti pada tahun 1998 mulai ada narasi ‘nonpribumi’. Para elit politik sudah memupuk polarisasi dan partisanship jauh sebelum tahun 2024 nanti dan dilakukan secara massive, rapih, organik dan jangka panjang.
Argument mengenai filter buble dan echo chamber itu membuat polarisasi dikalangan user platform media sosial. Indonesia sudah mempunyai bakat untuk polarisasi dan partisanship yang sudah dipelihara bertahun-tahun sudah banyak kasusnya
oleh Sri Indah Wijayanti | Agu 22, 2022 | Berita, Liputan Media
Endah Triastuti Ph.D, Dosen dari Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI aktif menulis pada website theconversation.com kali ini ia menulis mengenai Langgengnya Akun-Akun ‘Kampus Cantik’: Gejala Pendisiplinan Tubuh Perempuan di Tengah Pendidikan Tinggi Indonesia. Berikut ini tulisan artikel Endah yang dimuat dalam https://theconversation.com/langgengnya-akun-akun-kampus-cantik-gejala-pendisiplinan-tubuh-perempuan-di-tengah-pendidikan-tinggi-indonesia-187374
Sejak beberapa tahun lalu, unggahan foto mahasiswi oleh berbagai akun ‘kampus cantik’ hadir di media sosial dan senantiasa mengundang kontroversi. Berbagai diskusi mengkritik fenomena ini – dari masalah komodifikasi dan komersialisasi konten oleh akun kampus cantik hingga pelanggaran privasi yang kerap terjadi.
Misalnya, selama ini tak jarang akun-akun kampus cantik tersebut memuat foto tanpa persetujuan mahasiswi yang bersangkutan. Tapi, bukannya menutup akun, di tengah badai kritik ini banyak dari mereka yang sekadar mengunci profil sehingga tak mudah diakses publik. Akun @uicantikid, misalnya, bersifat privat dan hingga kini punya lebih dari 220 ribu pengikut, serta banyak memanfaatkan tagar agar publik bisa menemukan sejumlah besar foto mahasiswi.
Mereka tidak hilang, malah semakin tersembunyi dari pengawasan publik. Akun-akun ini merupakan wujud praktik pendisiplinan tubuh perempuan yang membentuk sebuah hegemoni (kekuatan dominan) atas gender di lingkungan kampus. Untuk mendalaminya, mengumpulkan data secara daring menggunakan perangkat lunak analisis NVivo (NCapture) untuk memahami diskursus yang terjadi pada beberapa akun kampus cantik. Kami juga melakukan wawancara dengan beberapa mahasiswa dan alumni perguruan tinggi negeri mengenai persepsi mereka terhadap akun-akun ini.
Meski tak dapat digunakan sebagai generalisasi fenomena kampus cantik, studi kami menemukan kentalnya budaya objektifikasi perempuan – baik dari mahasiswa laki-laki atau perempuan, atau bahkan kampus melalui pembiaran. Ini terjadi di lingkungan pendidikan tinggi yang seharusnya menjadi ruang kritis.

Pendisiplinan tubuh perempuan lewat male gaze
Pakar teori film Laura Mulvey memperkenalkan konsep ‘male gaze’ untuk menggambarkan bagaimana laki-laki menggunakan sudut pandangnya untuk menciptakan wacana tentang perempuan dalam layar.
Wacana ini berupa citra yang dibuat untuk memenuhi kepuasan (pleasure) laki-laki dengan perempuan sebagai objek. Dalam male gaze ini, laki-laki mengikat perempuan sebagai simbol untuk memenuhi fantasi seksual mereka melalui berbagai citra yang menghapus kualitas perempuan, sehingga pandangan tentang perempuan seakan hanyalah tentang tubuhnya.
Di sini, akun kampus cantik memangkas perempuan menjadi ‘seonggok daging’. Tapi, pada saat yang sama, mereka juga melatih perempuan lain menormalisasi sudut pandang yang menempatkan mereka sendiri sebagai objek pemuas seks.
Hal tersebut konsisten dengan data dalam studi ini. Baik laki-laki maupun perempuan memanfaatkan ruang yang disediakan akun kampus cantik untuk mereduksi keberadaan perempuan, sekaligus meminggirkan narasi tentang kemampuan akademik mereka.
Dulu kita menyalahkan media massa yang menyuguhkan konten-konten yang sesuai kepentingan mereka, termasuk konsep sex sells (seks itu menjual). Pada era digital, yang harapannya bisa mengangkat martabat perempuan, ternyata tak jauh berbeda dengan masa pra-digital.
Beragam komentar dari pengunjung laki-laki – seperti ‘cantiknya’, ‘sensual banget’, ‘trauma sama yang tepos lur’, ‘angan-angan yang terlalu tinggi buatku yang ga sampai 170cm’, ‘dah kek tante aja’, hingga ‘cantik sama seksi beda ga bosque?’ – menghiasi kolom komentar akun kampus cantik.
Sementara komentar dari pengunjung perempuan memperlihatkan bagaimana banyak dari mereka sendiri menormalisasi cara pandang tersebut. Tanpa sadar, perempuan menginternalisasi male gaze untuk memangkas keberadaan mahasiswi lain dengan berpartisipasi melalui komentar yang fokus pada penampilan.
Bagi saya, para perempuan ini seakan ‘meminjam mata laki-laki’ untuk mengobjektifikasi mahasiswi lain. Ini memperlihatkan bagaimana laki-laki tak hanya berhasil menggunakan cara pandang mereka untuk mendisiplinkan tubuh perempuan. Laki-laki turut melibatkan perempuan untuk menciptakan sistem agar pendisiplinan tubuh perempuan terus berjalan.
oleh Sri Indah Wijayanti | Agu 8, 2022 | Berita, Liputan Media

Perempuan PRT (Pekerja Rumah Tangga) adalah perempuan pekerja yang menerima upah dengan melakukan pekerjaan domestik. Di Indonesia, perempuan PRT masih dikategorikan sebagai anggota keluarga sekaligus pekerja. Oleh karena itu muncul pemahaman yang mempersepsikan bahwa perempuan PRT bukanlah pekerja profesional. Hal ini mengakibatkan relasi yang tidak setara antara perempuan PRT dan pihak lain dan memunculkan perbedaan kewenangan bagi mereka.
Nuria Astagini berhasil lulus dari Program Studi Doktoral Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI. Ia berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul “Konstruksi Makna Profesi Pekerja Rumah Tangga (Studi Interaksionisme Simbolik Pada Narasi Perempuan Pekerja Rumah Tangga di Jabodetabek) di Auditorium Juwono Sudarsono secara hybrid pada Kami (21/7).
Sebagai promotor Prof. Dr. Billy K. Sarwono, M.A, kopromotor I Dr. Nina Mutmainnah, M.Si dan kopromotor II Endah Triastuti, M.Si, Ph.D beserta dengan tim penguji Prof. Dr. Eni Maryani, M.Sil, Prof. Dr. Alois Agus Nugroho, Ph.D, Prof. Dr. Ilya R. Sunarwinadi, M.Si, Dr. Pinckey Triputra, M.Sc dan Dr. Donna Asteria, M.Hum.
Salah satu upaya perempuan PRT untuk mensetarakan posisi adalah melalui ekspresi narasi terkait profesi profesi mereka. Studi ini mengkaji narasi identitas profesi yang diekspresikan oleh perempuan PRT dengan menggunakan teori interaksionisme simbolik, serta dengan memasukkan konsep kewenangan serta aspek emosi yang muncul dari proses interaksi. Pengumpulan data dilakukan dari enam perempuan partisipan penelitian yang berprofesi sebagai PRT di daerah Jabodetabek, ditambah tujuh orang partisipan penelitian yang merupakan pengguna jasa dan anggota keluarga perempuan PRT.
Para perempuan PRT mengkonstruksi makna bagi profesi mereka sebagai orang kepercayaan pengguna jasa, tenaga kerja yang terampil dalam melakukan pekerjaan domestik dan berpengalaman. Pemaknaan in terlihat dalam narasi yang menunjukkan bahwa mereka sesungguhnya sudah mampu melepaskan diri dari konstruksi negatif yang ada di masyarakat. Narasi yang mengekspresikan makna profesi perempuan PRT merupakan hasil interaksi mind, self dan society. Melalui proses ini perempuan PRT menyerap dan mengolah makna terhadap identitas profesi sebagaimana yang ada di masyarakat, dan kemudian membangun identitas bar sesuai dengan pengalaman dan konteks situasi yang mereka alami melalui persepsi mereka sendiri. Narasi mana profesi yang dibangun tidak lepas dari peranan significant others dan generalized others.
Terdapat tiga identitas profesi yang dinarasikan oleh perempuan PRT, yaitu pembantu, asisten dan penolakan terhadap identifikasi sebagai PRT. Sebutan pembantu ditampilkan melalui narasi partisipan yang menganggap bahwa kata “pembantu” bermakna adalah pekerja keras yang berpengalaman, profesional dan bertanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Sehingga ketika menyebutkan profesi mereka sebagai pembantu, narasi yang diekspresikan ole para partisipan penelitian tidak memperlihatkan adanya emosi yang negatif. Konseptualisasi yang dinarasikan perempuan PRT memperlihatkan adanya kewenangan yang mereka miliki dengan mengkonseptualisasikan profesi sesuai dengan keinginan mereka.
Perempuan PR menampilkan dirinya dalam interaksi sosial melalui symbol berupa posisi dan profesi. Simbol posisi dipertukarkan dengan keluarga sebagai significant others dan termanifestasi dalam bentuk kepemilikan harta benda serta kemampuan partisipan dalam memenuhi peran sebagai tulang punggung keluarga.
Manifestasi simbol posisi dimaknakan sebagai penghargaan dan penerimaan posisi dari keluarga, oleh karena itu para partisipan berusaha menampilkan diri mereka di depan keluarga bear dengan menggunakan simbol tersebut.
Penampilan diri para partisipan dengan pengguna jasa dinarasikan dengan kata profesional, loyalitas, kepercayaan, dan pengabdian. Oleh karena itu, simbol utama dalam interaksi in adalah simbol profesi. Simbol ini dimanifestasikan oleh para partisipan melalui loyalitas kepada pengguna jasa dan pengabdian pada pengguna jasa. Loyalitas terlihat melalui narasi yang mengungkapkan tidak adanya keinginan mereka untuk berpindah kerja. Sementara pengabdian dinarasikan melalui sikap partisipan yang menerima semua tugas yang didelegasikan pengguna jasa dan tidak membicarakan gaji yang mereka terima.
Berdasarkan hasil analisis data diperoleh beberapa temuan, antara lain bahwa proses pembentukan identitas profesi pada perempuan PRT terjadi melalui interaksi antara mind, self dan sociery dalam interaksi soaial dengan pihak lain. Partisipan menggunakan istilah pembantu dan asisten untuk mengidentifikasi profesi mereka. Namun partisipan melekatkan makna bar pada kata pembantu, yaitu sebagai pekerja keras yang berpengalaman dan terampil, jauh berbeda dari konsep pembantu yang dikenal masyarakat selama ini. Pembentukan makna profesi yang dipahami oleh para partisipan tidak lepas dari peranan significant others yaitu keluarga yang berinteraksi dengan partisipan.
Dalam interaksinya dengan keluarga, partisipan mempertukarkan simbol posisi. Sedangkan dalam interaksi dengan pengguna jasa mereka mempertukarkan simbol profesi. Dalam interaksi ini, para partisipan tidak hanya menerapkan aspek Me yang bersifat sosial tetapi juga mengedepankan aspek I yang aktif untuk menunjukkan bahwa perempuan PRT memiliki posisi tawar. Proses interaksi juga merupakan sarana pembelajaran bagi perempuan PRT untuk mendapatkan sumber daya yang dapat digunakan untuk melakukan berbagai strategi penolakan untuk mensetarakan posisi mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Hasil penelitian menunjukkan partisipan mengetahui bahwa profesi membuat mereka berada di status sosial bawah. Namun terlihat jelas terdapat usaha dari para partisipan untuk melemahkan stigma yang ada di masyarakat dengan melakukan berbagai strategi. Salah satu dari strategi tersebut adalah mengenali dan mengembangkan sumber daya yang mereka miliki, yang dapat memperkuat posisi tawar perempuan PRT di mata pengguna jasa. Sumber daya ini kemudian digunakan untuk menyeimbangkan posisi antara PRT dan pengguna jasa maupun dalam berbagai strategi penolakan.