Pihak penguasa khawatir Anies Baswedan tidak melanjutkan program pembangunan jika menjadi Presiden Indonesia. Kekhawatiran itu menyebabkan ada upaya untuk menggagalkan Anies Baswedan menjadi capres dan diserang di media sosial.
“Cobalah bersaing tapi yang ribut itu pihak penguasa yang lain yang dianggap sebagai calon kuat itu biasa saja. Mungkin yang dikhawatirkan itu adalah kalau penguasa baru itu tidak dilanjutkan program mereka. Itu resiko,” kata Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) Prof Maswadi Rauf di podcast Jurnal PolitikTV dengan tema Pendukung Anies Dianggap Musuh, Prof. Dr. Maswadi Rauf: Penyakit Apa Ini? pada Kamis (4/2).
Ia juga mendengar isu, peradilan akan digunakan untuk menjegal Anies. “Bisa nggak Anda bersaing dengan Anies, isu yang santer, peradilan akan digunakan untuk itu, ini penjahat macam apa itu. Cobalah bersaing,” paparnya.
Maswadi heran dengan pemerintah saat ini yang merasa khawatir programnya tidak dilanjutkan oleh presiden baru. “Tidak pernah ada sebuah pemerintah di manapun yang akan turun terus berbicara untuk melanjutkan programnya,” ujarnya.
Ia menilai ada sifat yang kekanak-kanakan yang meminta NasDem direshuffle karena mengusunng Anies di Pilpres 2024. “Anies dicalonkan menimbulkan gejolak di koalisi ada yang mengancam reshuflle, ini kekanak-kanakan,” jelas Maswadi.
Para kepala desa melakukan demo di depan Gedung DPR RI pada Rabu (25/1) dalam aksi menuntut perpanjangan masa jabatan yang sebelumnya enam tahun menjadi sembilan tahun dan meminta DPR RI merevisi masa jabatan. Aturan soal masa jabatan kepala desa diatur dalam Pasal 39 UU Desa, yang berbunyi (1) Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan; (2) Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.
Dosen Ilmu Politik FISIP UI Nurul Nurhandjati, S.IP, M.Si menanggapi isu mengenai usulan kepala desa tersebut. Sebelumnya, usulan ini telah menuai sorotan publik.
Menurut Nurul, desa merupakan self govenrment community, memang seharusnya desa memiliki pemerintahan sendiri dan memikirkan masyarakatnya sendiri.
“Tetang isu tersebut, sebenarnya dikembalikan lagi apakah itu keinginan kepala desa atau keinginan masyarakat desa? Kadang kita lupa apa yang menjadi perbincangan masyarakat, malah sebagian besarnya merupakan perbincangan para elit dan melupakan keinginan sebenarnya dari masyarakat. Jangan-jangan masyarakat desa tidak butuh perpanjangan masa jabatan kades dan ternyata masyarakat lebih membutuhkan pembangunan, diberdayakan serta sejahtera,” ujar Nurul.
Ia menambahkan, “mau panjang ataupun pendek masa jabatan kalau masyarakat desanya tidak sejahtera maka apa gunanya. Walaupun ada dana desa, kesenjangan antara kaya dan miskin di desa semakin tinggi dan semakin lebar. Menurut saya, usulan perpanjangan masa jabatan kepala desa harus dikembalikan ke masyarakat dahulu, apakah masyarakat desa butuh usulan tersebut.”
Adakah kaitannya usulan perpanjangan masa jabatan kepala desa dengan kepentingan politik 2024?
Menjelang pemilu 2024, normal ada sesuatu isu yang diangkat. Pasti nantinya ada partai yang mendukung perpanjangan masa jabatan itu lalu mendapatkan simpati dari masyarakat.
“Sebenarnya sesuatu yang wajar jika menjelang pemilu banyak gagasan yang diusulkan. Namun yang perlu dilakukan oleh masyarakat yaitu mengawal apakah usulan tersebut menguntungkan bagi masyarakat,” ujar Nurul.
Menurutnya, suara masyarakat sering dilupakan, menjelang pemilu banyak partai yang banyak mencari suara di desa karena suara masyarakat desa lebih banyak daripada suara masyarakat di kota.
Tidak cukupkah masa jabatan enam tahun bagi kepala desa?
Nurul menegaskan bahwa sebenarnya hal itu adalah masalah kepemimpinan, kalau pemimpinnya sudah berintegritas dan sadar bahwa diri maka harus melakukan inovasi dan kreativitas untuk masyarakat.
Dikutip dari media online Kompas, peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkhawatirkan wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa menjadi sembilan tahun bakal menyuburkan praktik oligarki dan akan membuka keran abuse of power pada pemerintahan desa.
Senada dengan hal tersebut, Nurul mengatakan pemilihan kepala desa merupakan oligarki ditingkat desa, jadi bisa saja keluarga dari kepala desa tersebut maju mencalonkan diri, buktinya selama ini sudah banyak.
Korea Selatan dan Indonesia merupakan dua negara demokratis yang menggunakan pemilihan umum (pemilu) sebagai satu-satunya alat politik yang absah untuk melakukan pergantian kekuasaan. Sepanjang sejarahnya, pemilu di kedua negara tersebut telah terlaksana dengan hasil yang memuaskan, yaitu terpilihnya seorang presiden secara demokratis.
Namun, dasawarsa kedua abad ke-21 ini telah menghadirkan tantangan bagi pemilu dan politik elektoral secara keseluruhan. Di Korea Selatan, pemilu 2022 telah menghantarkan seorang populis sayap kanan Yoon Suk-yeol ke kursi kepresidenan. Sementara itu, di Indonesia kita menyaksikan tercederainya pemilu oleh gerakan populis sepanjang 2014-2019.
Jae Hyeok Shin (Asisten Profesor Ilmu Politik dan Hubungan Internasional Korea University) berdiskusi dengan para mahasiswa terkait permasalahan politik elektoral di Korea Selatan dan Indonesia ke depannya. Kegiatan ini dilaksanakan pada Senin (16/1) di Ruang E.103A.
Jae Hyeok Shin menjelaskan perspektif teori sistem pemilu di Korea Selatan serta menceritakan presiden Korsel dari masa ke masa. Selain itu ia menjelaskan tentang pemilu Korea Selatan telah menunjukkan bahwa perbedaan di provinsi asal pemilih, posisi ideologis dan generasi memainkan peran besar dalam membentuk preferensi pemilih di tempat pemungutan suara.
Menurutnya, berdasarkan data survei pasca pemilu, faktor-faktor kunci tersebut berinteraksi mempengaruhi perilaku memilih dalam enam pemilihan presiden dari tahun 1992 hingga 2017. Selain itu, perpecahan ideologis dan generasi sering memecah belah pemilih dari provinsi Gyeongsang dan dengan demikian menggerogoti regionalisme di provinsi tersebut; perpecahan itu terkadang memiliki efek yang sama pada pemilih dari provinsi Jeolla juga.
Ia mengatakan ada kesamaan election antara Korsel dengan Indonesia yaitu pada reformasi pemilu, sistem pemilu yang berpusat pada partai dan yang berpusat pada kandidat bagaimana reputasi pribadi kandidat tersebut. Kemudian ia menambahkan politik yang berorientasi pada patronase terjadi baik di Korsel maupun Indonesia, politik patronase tetap menjadi pusat pertukaran politik, terutama di negara-negara berkembang.
Jae Hyeok Shin merupakan Asisten Profesor Ilmu Politik dan Hubungan Internasional di Korea University. Beliau memperhatikan institusi politik, pemilu, partai, dan demokrasi di Asia Timur dan Asia Tenggara. Beliau meneliti berbagai topik seperti transisi ke demokrasi dan aturan-aturan pemilu di negara-negara seperti Filipina, Indonesia, dan Korea Selatan.
Dengan diadakannya kegiatan ini mahasiswa diharapkan memahami politik elektoral kontemporer di Korea Selatan dan Indonesia; memahami pentingnya pemilu dalam penyelenggaraan negara dengan sistem politik demokrasi; dan dapat mengidentifikasi permasalahan-permasalahan yang ada beserta solusi-solusinya.
Disertasi ini beriudul “Konflik Pemerintah Pusat Dengan Pemerintah Daerah Kepulauan Studi Kasus Pengelolaan Labuh Jangkar di Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2017-2022.” Bismar Arianto menyelesaikan studinya dari Departemen Ilmu Politik FISIP UI dengan hasil akhir cumlaude dan mampu mempertahankan hasil penelitiannya didepan para dewan penguji.
Prof. Dr. Maswadi Rauf, M.A (Promotor) dan Dr. Phil. Aditya Perdana, M.Si (Ko Promotor), penguji ahli Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, M.A, dan para penguji dari Departemen Ilmu Politik yaitu; Prof. Dr. Valina Singka, M.Si, Dr. Phil. Panji Anugrah Permana, M.Si, Meidi Kosandi, M.A., Ph.D, Dr. Sri Budi Eko Wardani, M.Si dan Prof. Amir Santoso, M. Soc., S.Ci., Ph.D
Studi ini mengkaji aspek pelaksanaan desentralisasi yang memicu terjadinya konflik. Kasus yang diteliti pengelolaan labuh jangkar di Provinsi Kepulauan Riau tahun 2017-2022. Permasalahan pokok dalam kajian ini; mengapa terjadi konflik kewenangan antara Pemprov Kepulauan Riau dengan pemerintah pusat dalam pengelolaan labuh jangkar sepanjang tahun 2017-2022 dan bagaimana relasi pemerintah pusat dengan pengusaha pada saat teriadi konflik tersebut.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi kasus tunggal terjalin (embeded). Dua teori utama yang digunakan untuk menganalisis permasalahan penelitian ini yaitu desentralisasi dan resentralisasi yang didukung oleh teori konflik politik dan resolusi konflik. Teori kedua yang digunakan yaitu teori rent seeking.
Konflik antara Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau dengan pemerintah pusat disebabkan oleh saling klaim, tumpang tindih regulasi, perebutan sumber daya yang memiliki nilai ekonomi dan perbedaan kepentingan di antara pihak yang berkonflik. Posisi pemerintah pusat sangat kuat dalam konflik ini, ditandai dengan pemungutan uang labuh jangkar masih dilakukan oleh Kementerian Perhubungan dan BP Batam. Di sisi lain terjadinya proses deotonomisasi/resentralisasi pada masa reformasi. Proses ini dilakukan secara legal formal dengan mengubah UU pemerintahan daerah. Kebijakan deotonomisasi/resentralisasi semakin memperlemah bargaining power pemerintah daerah.
Kegagalan daerah dalam konflik ini karena secara historis dan yuridis pemerintah pusat lebih dahulu melakukan pemungutan jasa labuh, serta faktor psiko hirarki Gubernur adalah wakil pemerintah pusat di daerah. Kelemahan lain adalah terbatasnya keterlibatan dan dukungan publik dalam eskalasi konflik ini, sehingga yang dominan berkonflik hanya antara Pemprov Kepulauan Riau dengan emerintah pusat.
Penelitian ini menemukan lima model rent seeking yang terbangun dalam relasi pemerintah pusat dengan pengusaha labuh jangkar. Resolusi konflik dilakukan dengan cara pembagian sumber daya dan salah satu pihak mengubah prioritas tuntutan. Faktor anggaran pembangunan dan kompensasi bisnis pengelolaan labuh jangkar menjadi faktor yang dominan dalam proses negosiasi dan membangun resolusi konflik.
Penelitian ini berkontribusi menielaskan deotonomisasi di Indonesia dalam konteks desentralisasi da resentralisasi. Studi ini berkontribusi menambahkan putaran desentralisasi di Indonesia memasuki fase ketujuh yaitu deotonomisasi/resentralisasi. Kontribusi teoritis pada teori rent seeking adalah menambah model rent seeking yang dikemukan oleh Ross dengan model keempat yaitu rent previlege.
Riedno Graal Taliawo resmi menjadi Dokter Ilmu Politik dengan judul disertasi “Gerakan Perlawanan Tanpa Kekerasan: Studi Kasus Gerakan Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dalam Mendukung Referendum Papua Barat Periode 2008-2021” pada Kamis (1/12) di Audiotirum Juwono Sudarsono. Graal mempertahankan disertasinya dihadapan para dewan penguji, yaitu: Meidi Kosandi, SIP., M.A., Ph.D., Dr. Nur Iman Subono, M. Hum., Dr. Sri Budi Eko Wardani, S.P, M.Si., Dr. Phil. Panji Anugrah Permana, S. IP., M.Si., serta Dr. Adriana Elisabeth, M.Soc., Sc. Prof. Dr. Valina Singka Subekti, M.Si. sebagai promotor, Drs. Julian Aldrin Pasha, M.A., Ph.D. sebagai ko-promotor.
Status politik Papua Barat dalam administrasi Indonesia masih meniadi masalah dan polemik hingga hari ini. Papua Barat merupakan wilayah yang diperebutkan pemerintah Belanda dan Indonesia, yang kemudian diselesaikan melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969. Sebagian masyarakat asli Papua Barat, khususnya kelompok yang mendukung Papua Barat merdeka dan/atau kelompok yang mendukung referendum (nasionalis Papua Barat), menolak dan menggugat Pepera. Situasi ini mendorong munculnya organisasi perlawanan tanpa kekerasan, termasuk Komite Nasional Papua Barat (KNPB) pada 2008. KNPB menuntut dilaksanakannya referendum bagi penentuan status politik Papua Barat.
Dalam kajian Ilmu Politik, penelitian terhadap organisasi perlawanan tapa kekerasan belum mendapat perhatian serius, apalagi dengan studi kasus di Papua Barat. Padahal, terdapat indikasi bahwa kasus perlawanan tanpa kekerasan di level organisasi telah lama muncul dan terus berkembang. Penelitian ini dilakukan untuk memahami bagaimana jenis aksi perlawanan tanpa kekerasan tersebut dilakukan pada level organisasi, beserta motifnya.
Implikasi teoretis menunjukkan bahwa selama tiga belas tahun terakhir, aksi-aksi yang dilakukan KNPB cenderung berbentuk protes dan persuasi, serta sedikit bentuk nonkooperasi, dan tidak ditemukan bentuk intervensi. KNPB memilih perlawanan tanpa kekerasan karena menganut nilai-nilai kolektivisme, berjiwa patriotis, kesetaraan sesuai kebudayaan masyarakat Papua Barat, serta sebagai cara untuk mendapat dukungan dan simpati dari masyarakat luas. Juga adanya kesempatan politik (reformasi dan demokrasi) yang membuka ruang kebebasan berpendapat dan berserikat.
Penelitian ini melengkapi teori Gene Sharp mengenai karakteristik gerakan perlawanan tanpa kekerasan di level organisasi. Pada konteks Papua Barat ada lima karakteristik gerakan, yaitu cenderung kurang sistematis dan sporadis, mengedepankan Struktur fungsional dibanding struktural, gerakan bersifat kuat atau solid karena isu bukan karena organisasi, mengandalkan tokoh, seta pengutusan kader.
Peneliti menyimpulkan bahwa KNPB melakukan gerakan perlawanan tapa kekerasan dengan kategori (1) protes dan persuasi serta (2) nonkooperasi. Di antara dua metode tersebut, kategori protes dan persuasi paling banyak dilakukan: Pernyataan Formal; Komunikasi dengan Khalayak Luas; Perwakilan Kelompok; Aksi Simbolis; Tekanan terhadap Individu; Proses; Upacara Kematian; Pertemuan Publik; dan Penarikan dan Penolakan, dan sedikit nonkooperasi: Nonkooperasi Politik yang berupa Boikot Pemilu; Boikot terhadap Lembaga Pemerintahan; Menolak Pejabat yang Ditunjuk; Menolak Membantu Apart Penegak Hukum; dan Menarik Kesetiaan, Nonkooperasi Sosial berupa Pembangkangan Sosial, dan Nonkooperasi Ekonomi berupa Menolak Sumbangan dari Pemerintah.
Penelitian ini menunjukkan bahwa gerakan perlawanan tanpa kekerasan mulai muncul di Papua Barat sebagai gerakan alternatif dari perlawanan lainnya dan mulai menarik massa karena karakteristik gerakan dan isu yang diangkat. Perlawanan ini berpotensi akan berkembang pest jika akar masalah belum diselesaikan dan respons dari negara yang kurang sesuai.
Temuan lain dari penelitian ini adalah bahwa KNPB membangun dan mengorganisasi dirinya dengan lima karakteristik. Pertama, cenderung kurang sistematis dan sporadis (random strategy action); kedua, mengedepankan struktur fungsional dibanding struktural (functional action); ketiga, gerakan bersifat kuat atau solid karena isu bukan karena organisasi (issue drive action); keempat, mengandalkan tokoh (icon drive action); dan kelima, pengutusan kader (agent dispatch action) pada lembaga mahasiswa di berbagai universitas/lembaga pendidikan tinggi.
Kampus UI Depok Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Jl. Prof. Dr. Selo Soemardjan, Depok, Jawa Barat 16424 Indonesia
E-mail: fisip@ui.ac.id
Tel.: (+62-21) 7270 006
Fax.: (+62-21) 7872 820
Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 6, Universitas Indonesia
Jl. Salemba Raya 4, Jakarta 10430 Indonesia