Maraknya kabar penculikan anak di berbagai media baru-baru ini dirasakan telah berdampak kepada munculnya rasa ketakutan masyarakat. Bila rasa sakit itu tidak segera dihentikan, bisa berdampak negatif bagi masyarakat itu sendiri.
Kriminolog Universitas Indonesia (UI), Yogo Tri Hendiarto, menekankan pentingnya kerja sama semua pihak untuk menciptakan rasa aman dan nyaman masyarakat. Salah satunya dengan tidak membagikan informasi tentang penculikan anak.
Sebab seringkali informasi kejadian penculikan itu merupakan kejadian yang sama di suatu daerah, atau informasi yang tidak benar atau hoaks. “Masyarakat jangan mudah membagikan info-info penculikan,” ungkap dia, Kamis (2/2/2023) sore.
Yogo menjelaskan maraknya berita atau informasi penculikan yang beredar bisa memicu rasa fear of crime atau ketakutan berlebihan atas kejahatan itu. Dia juga berpesan kepada media massa agar bijak dan cerdas saat memberitakan penculikan.
“Harus hati-hati saat memberitakan. Sebab bisa memunculan efek fear of crime secara massal. Jadi seakan-akan kejadian itu akan menimpa di tempatnya. Padahal tidak semua memberikan gambaran sebenarnya dari kejatan yang terjadi,” ujar dia.
Yogo juga menyoroti fenomena maraknya penggunaan media sosial di kalangan masyarakat. Sebab di media itu seringkali dibagikan informasi atau konten penculikan anak. Padahal informasi itu bisa saja kejadian yang sudah lama atau tidak benar.
“Media bersifat massal, apalagi medsos. Kadang-kadang juga gak benar tuh yang membuat, justru memberikan rasa takut kepada masyarakat. Karena berkaitan dengan anak, belum dewasa dan lemah, kekhawatiran masyarakat tinggi,” urai dia.
Yogo menjelaskan ada sejumlah motif atau alasan dari tindak penculikan anak yang terjadi. Pertama alasan pribadi yang bersifat balas dendam atau mengintimidasi. Untuk alasan ini biasanya antara korban dengan pelaku penculikan saling kenal.
Alasan lain penculikan yaitu untuk mengeksploitasi seksualitasnya. Untuk penculikan alasan ini menurut Yogo pelaku tidak saling kenal dengan korban. Pelaku memilih korban secara acak. “Korban dipilih acak dengan tujuan tertentu,” kata dia.
Alasan lain penculikan, Yogo menjelaskan motif ekonomi dengan meminta tembusan berupa uang atau materiil. “Menculik anak dengan memberikan ancaman bila tidak ditebus, akan dibunuh, atau dilakukan tindakan kekerasan lain,” tutur dia.
Kriminolog Universitas Indonesia (UI) Josias Simon mengungkap pemicu kasus pembunuhan berantai atau serial killer di Bekasi dan Cianjur yang dilakukan oleh Wowon cs memiliki berbagai faktor. Dikatakan, faktor yang menjadi pemicu Wowon cs tega menghabisi nyawa sembilan orang itu bisa karena ekonomi, sosial, dan pribadi.
“Banyak faktor yang menjadi pemicu, ekonomi, sosial, dan pribadi,” kata Josisas kepada Beritasatu.com, Senin (23/1/2023).
Josias memaparkan, faktor sosial dan budaya seperti hidup seperti anggota masyarakat lain dengan menutupi masalah internal keluarga. Sementara, faktor pribadi lainnya seperti dendam atau terjadi perselisihan dengan keluarga.
Saat ini pihak kepolisian masih terus mendalami kasus pembunuh berantai atau serial killer tersebut dengan metode scientific crime investigation dan melibatkan para ahli keilmuan. Sebelumnya polisi mengungkap aksi pembunuhan berantai yang dilakukan Wowon cs dari kasus kematian satu keluarga di Bekasi yang diduga tewas keracunan namun ternyata ketiganya dibunuh menggunakan pestisida. Mereka dibunuh oleh Wowon Erawan alias Aki, Solihin alias Duloh, dan Dede Solehudin.
Sejauh ini, korban pertama Wowon cs diketahui merupakan seorang TKW bernama Siti. Wowon memerintahkan Noneng, mertua dari istrinya yang bernama Wiwin, agar mendorong Siti ke laut saat perjalanan menuju Mataram, NTB. Jasad Siti kemudian ditemukan warga dan dimakamkan di Garut, Jawa Barat.
Setelah Siti, Wowon membunuh seorang wanita bernama Farida. Jenazah Farida dikubur di sebuah rumah di Cianjur. Kekejaman Wowon cs tidak sampai di situ saja. Noneng dibunuh tersangka lain dalam kasus serial killer tersebut, yaitu Solihin alias Duloh.
Korban lain setelah Noneng, adalah Wiwin, istrinya. Jasad Noneng dan Wiwin dikubur dalam satu lubang yang sama di area rumah Cianjur.
Korban berikutnya seorang wanita bernama Halimah. Ia dibunuh Duloh. Halimah juga merupakan istri Wowon. Setelah dibunuh, Halimah dikembalikan ke keluarga di kampung halamannya. Saat mengantar itu, Duloh berdalih Halimah meninggal karena sakit.
Wowon juga menikahi Maemunah, anak dari Halimah, yang juga mantan istrinya. Dari pernikahan tersebut, Wowon dan Maemunahh punya dua anak, yaitu Bayu dan Neng Ayu.
Bayu juga menjadi korban pembunuhan serial killer ini. Dia dibunuh Duloh di Cianjur. Bayu dikubur di sebuah lubang di samping rumah Wowon. Sepak terjang klompotan Wowon dkk tidak berhenti di situ. Kasus serial killer juga terjadi di Bantar Gebang, Kota Bekasi.
Tiga orang dibunuh dengan cara diracun dan dicekik di Bekasi. Ketiganya adalah Maemunah, Ridwan Abdul Muiz, dan Riswandi.
Riswandi merupakan anak Maemunah dari mantan suaminya, Didin. Korban selamat dalam kasus di Bekasi, adalah Neng Ayu yang merupakan anak Wowon dengan Maemunah.
Terdakwa kasus pembunuhan Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J telah mendapatkan jatah hukumannya masing-masing, mulai dari Ferdy Sambo hingga Richard Eliezer.
Namun, ada ketidakpuasan tersendiri bagi para pendukung Ferdy Sambo maupun Richard Eliezer. Melihat jalannya kasus ini pun mungkin akan membuat beberapa orang bertanya-tanya soal faktor dibalik munculnya para pendukung.
Terdakwa kasus pembunuhan, kok masih ada yang dukung dan mengidolakan?
Bahkan, para pendukung tak segan-segan meluangkan waktu untuk hadir dalam persidangan. Memberikan tenaga untuk menangis, berteriak, dan marah atas tuntutan yang dijatuhkan pada Ferdy Sambo dan Richard Eliezer.
Berkaitan dengan hal ini, Kriminolog Universitas Indonesia (UI), Josias Simon mengungkapkan bahwa pendukung Ferdy Sambo dan Richard Eliezer sendiri sebenarnya belum tentu idola atau pendukung sungguhan.
“Tentu tidak betul idola atau tidak, yang pasti pendukung (bisa saja) dibuat untuk memengaruhi putusan hakim. Agar berpihak pada kelompok yang tidak puas tersebut,” ujar Josias pada Health Liputan6.com ditulis Sabtu, (21/1/2023).
Josias menambahkan, munculnya fenomena pendukung untuk Ferdy Sambo dan Richard Eliezer bisa jadi karena ada kepercayaan jikalau keduanya tidak bersalah. Namun, kemungkinan itu hanya sesaat.
“Bisa saja (karena percaya terdakwa tidak bersalah). Tapi apa ya itu kepercayaan? Tampaknya hanya sesaat atau dadakan, dan lebih kepada dukungan semangat agar ada pro dan kontra di publik atas soal ini,” kata Josias.
Lebih lanjut Health Liputan6.com berbincang pula dengan Kriminolog UI, Adrianus Meliala. Berbeda dengan Josias, menurut Adrianus, munculnya dukungan untuk Ferdy Sambo dan Richard Eliezer bisa ada kaitannya dengan era post truth.
Hal tersebut lantaran pada era post truth, seseorang tidak akan ditampilkan secara utuh. Melainkan akan ditampilkan sisi-sisi yang hanya mau diperlihatkan pada orang lain. Itulah yang menyebabkan masih bisa ada yang menyukai, memberikan dukungan, atau mengidolakan terdakwa kasus pembunuhan.
“Dalam era post truth, soal suka itu bisa dibentuk atau diciptakan. Hal-hal yang buruk dari mereka bisa dipelintir jadi bagus,” kata Adrianus.
“Jadi sisi dimana publik tidak mau dengar atau lihat, ya tidak disajikan. Lama-lama publik mengira sebagian itu keseluruhan. Seluruh hal tentang orang itu adalah baik, padahal bisa saja tidak. Itulah sebabnya pembunuh yang dicitrakan ganteng bisa disukai,” tambahnya.
Masalah ujaran kebencian yang biasa dikenal dengan istilah hate speech merupakan fenomena sosial yang sangat kompleks. Perkembangan literatur tentang ujaran kebencian menunjukkan bahwa tindakan ini memberikan konsekuensi terhadap perlukaan fisik dan mental korban, serta memicu terjadinya kekerasan.
Departemen Kriminologi menambah kembali satu doktor yaitu Wiharyani. Ia berhasil menjadi doktor kriminologi setelah mempertahankan disertasinya yang berjudul “Model Pengendalian Sosial Terhadap Penyebaran Ujaran Kebencian Secara Daring (Online Hate Speech) Di Media Sosial” dihadapan para dewan penguji pada Jumat (13/1) di Auditorium Juwono Sudarsono.
Sidang terbuka promosi doktor Wiharyani diketuai oleh Prof. Isbandi Rukminto Adi, M.Kes., Ph.D., dengan promotor Prof. Dr. Drs. Muhammad Mustofa, M.A dan kopromotor Dr. Mohammad Kemal Dermawan, M.Si serta para dewan penguji Prof. Dr. Iwan Gardono Sudjatmiko., Dr. Dra. Ni Made Martini Puteri, M.Si., Dr. Iqrak Sulhin, S.Sos., M.Si., dan Irjen. Pol. Dr. Tornagogo Sihombing, S.I.K., M.Si.
Seiring perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, potensi dampak tindakan ujaran kebencian yang muncul juga semakin besar, terutama dengan hadirnya berbagai medium perantara penyebaran ujaran kebencian di internet, seperti platform media sosial. Tidak jarang ditemui unggahan konten di media sosial yang mengandung makna kebencian, informasi yang menyesatkan, bahkan unsur-unsur ekstremisme
Penyebaran konten ujaran kebencian berpotensi memunculkan kekerasan fisik dan konflik sosial. Terlepas dari meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap dampak yang merugikan akibat ujaran kebencian di media sosial, hanya sedikit konsensus yang memusatkan perhatian pada pendekatan untuk menguranginya.
Disertasi ini bertujuan merumuskan model pengendalian sosial melalui analisis pola dan efektivitas penanganan ujaran kebencian secara daring di media sosial dengan menggunakan parameter efektivitas regulasi. Berbeda dengan beberapa penelitian terdahulu, terutama di negara Barat yang fokus pada hak kebebasan berpendapat, penelitian ini mengedepankan pendekatan toleransi dalam menganalisis pengendalian terhadap ujaran kebencian secara daring di Indonesia.
Model pengendalian sosial terhadap tindakan penyebaran ujaran kebencian secara daring masih dilakukan secara parsial yang minim kolaborasi dan sistem yang terintegrasi antar-institusi terkait. Berdasarkan telaah data dan analisis temuan penelitian, dapat disimpulkan bahwa penanganan tindakan ujaran kebencian secara online di Indonesia masih belum maksimal dan efektif, baik dari segi implementasi/praktis, maupun dari segi regulasi.
Dari sisi regulasi, efektivitas pengendalian kejahatan ujaran kebencian tidak dapat dilakukan secara maksimal karena belum adanya payung hukum tersendiri yang mengatur tentang kejahatan ujaran kebencian, sehingga digunakan pasal terkait, seperti pencemaran nama baik, penyebaran berita bohong, dan UU ITE. Sementara dari sisi praktis, penanganan ujaran kebencian dapat disimpulkan tidak berjalan dengan efektif karena tidak adanya sistem pengendalian kejahatan yang terintegrasi antar-institusi. Kolaborasi peran dari multi agency crime prevention yang terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat sangat penting dalam model pengendalian yang penulis tawarkan.
Peran sosialisasi melibatkan seluruh agen pengendalian kejahatan, seperti dari level yang paling inti, yaitu keluarga, kemudian kelompok atau komunitas, termasuk warganet karena fokus kejahatan ujaran kebencian daring terjadi di ranah siber, selanjutnya lembaga pendidikan, perusahaan penyedia layanan media sosial dan juga pemerintah.
Model pengendalian sosial yang ideal untuk tindakan ujaran kebencian secara daring harus memperhatikan unsur kebijakan sanksi. Penerapan kebijakan sanksi ini berangkat dari kategorisasi atau levelling dalam tindakan ujaran kebencian. Dalam hal ini, salah satu alternatif kebijakan sanksi yang dapat dilakukan dalam kasus ujaran kebencian sebagai bentuk pelanggaran ringan sampai sedang adalah restorative justice yang menekankan pada permohonan maaf secara publik atau social pardon. Hal ini juga sebagai salah satu upaya mengembalikan posisi korban yang dirugikan akibat replikasi dalam penyebaran konten ujaran kebencian.
Hasil yang ditemukan dari penelitian ini, antara lain; terdapat pola berbeda dalam tindakan ujaran kebencian secara daring yang dilakukan oleh individu dengan kelompok, regulasi dan penanganan kasus penyebaran ujaran kebencian secara daring selama ini tidak efektif, tidak adanya kolaborasi institusi formal dan informal dalam pengendalian ujaran kebencian, dan fokus program belum menyentuh akar masalah munculnya ujaran kebencian. Akhirnya, penelitian ini berkontribusi memberikan kebaruan terhadap model efektif dalam pengendalian sosial terhadap ujaran kebencian secara daring yang fokus pada peningkatan sosialisasi, edukasi dan fasilitasi.
Reklamasi Teluk Benoa Bali dan Teluk Jakarta sama-sama menimbulkan polemik dan Retara masalah, baik pada tatanan kebijakan maupun pelaksanaan. Namun faktanya, Reklamasi Teluk Jakarta tetap berlangsung, sementara reklamasi Teluk Benoa gagal untuk dlimplementasikan. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan klaim terkait kedua proyek reklamasi tersebut, yaitu pada proyek reklamasi Teluk Jakarta pemerintah berhasil meyakinkan masyarakat bahwa proyek yang dijalankan akan memberikan dampak yang positif, sementara pada proyek reklamasi Teluk Benoa tidak.
Meningkatnya jumlah penduduk tiap tahun, tidak dipungkiri membutuhkan lahan untuk masyarakat tinggal. Oleh karena itu, pemerintah mencari cara untuk menangani hal tersebut, salah satunya dengan melakukan reklamasi. Bahwa reklamasi merupakan salah satu solusi untuk meningkatkan sumber daya lahan maupun pelabuhan karena meningkatya jumlah penduduk. Khususnva reklamasi lahan pesisir memiliki tujuan untuk pembangunan menciptakan lahan maupun peluang urbanisasi yang cepat.
Meskipun reklamasi diklaim memberikan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi dan kehidupan manusia. Di sisi lain, reklamasi memberikan dampak negatif yang justru dapat menimbulkan polemik. Dampak negatif mencakup perubahan kondisi dan ekosistem wilayah pesisir dalam beberapa aspek, seperti hilangnya habitat pesisir secara masif, pengurangan jenis habitat laut, menghilangkan garis asli pantai, dan menurunkan jumlah ikan yang bisa ditangkap ole nelayan, sehingga menyebabkan perubahan kualitas hidup masyarakat lokal yang tinggal di sekitar wilayah pesisir.
Dedy Anung Kurniawan berhasil menjadi Doktor Kriminologi dari FISIP UI dengan mempertahankan disertasinya yang berjudul “Fragmented Episteme dalam Implementasi Proyek Reklamasi: Studi Kasus Teluk Jakarta dan Teluk Benoa” didepan para penguji pada Kamis (5/1) di Auditorium Juwono Sudarsono.
Selaku promotor Dr. Drs. Mohammad Kemal Dermawan, M.Si., kopromotor Dr. Drs. Arthur Josias Simon Runturambi, M.Si dan para dewan penguji Prof. Dr. Muhammad Mustofa, M.A., Prof. Dr. Der. Soz. Drs. Rochman Achwan, MDS., serta Dr. Hadi Purnomo, S.I.K, M.H.
Penelitian ini memperjelas bahwa praktik kegiatan reklamasi merupakan bentuk dari kejahatan lingkungan dan state-corporate crime melalui perspektif kriminologi. Hal ini mengacu pada social and environmental harm yang hadir dari praktik tersebut, serta bagaimana negara dan perusahaan berkontribusi dalam mendorong praktik reklamasi. Meskipun demikian, polemik pro dan kontra mengenai reklamasi tidak berhenti begitu saja. Pada realitasnya, praktik reklamasi di Teluk Jakarta tetap berjalan sebagaimana rencana Pemerintah, namun tidak dengan praktik reklamasi di Teluk Benoa.
Akhirnya dapat dijelaskan bahwa pada kasus Teluk Benoa, proyek reklamasi berhasil digagalkan karena keberadaan social power lebih kuat dibandingkan dengan outcome power. Pada tataran pengetahuan, masyarakat meyakini bahwa proyek reklamasi hanya memiliki dampak negatif bagi kehidupan sosial budaya masyarakat sekitar, yang diperoleh dari pengalaman dan pengetahuan tradisional yang dimiliki masyarakat Teluk Benoa. Solidaritas bersama tercipta melalui kesamaan keyakinan atas nilai-nilai sosial, budaya dan ekonomi masyarakat adat di wilayah reklamasi Teluk Benoa dan begitu pula Provinsi Bali secara umum.
Sebaliknya, pada kasus Teluk Jakarta proyek reklamasi tetap berjalan sebagaimana yang direncanakan, karena keberadaan outcome power lebih kuat dibandingkan dengan social power. Penguasa dan kapitalis berhasil mempolitisasi pengetahuan yang sesungguhnya dengan memproduksi wacana berdasarkan klaim kebenaran mereka serta menghadir kontra narasi dengan membenturkan isu yang berbeda. Di sisi lain, solidaritas di dalam masyarakat Jakarta sangatlah lemah. Hal ini dikarenakan karakteristik dari masyarakat Jakarta cenderung heterogen.
Hasil dari temuan di atas kemudian meruntuhkan pandangan radikal kriminologi yang melihat perjuangan kelas dalam konflik kelas akan selalu menempatkan kelas elite sebagai pihak yang diuntungkan. Keadaan tidak akan berubah selama tidak penggulingan sistem kapitalis tersebut.
Selain itu, penelitian ini juga memperlihatkan bahwa adanya klaim kebenaran atau episteme yang dipengaruhi oleh kuasa dan pengetahuan, ternyata tidak hanya berlaku pada era tertentu, sebagaimana dikemukakan oleh Foucault. Pada era yang sama, dimungkinkan adanya perbedaan episteme antara suatu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya. Terutama pada empat aspek, yaitu sosial, budaya, hukum dan ekonomi. Episteme yang berbeda yang muncul karena adanya empat aspek pengetahuan tersebut merupakan suatu kondisi yang disebut sebagai fragmented episteme.
Penelitian ini pada akhirnya, memberikan pengayaan pandangan terhadap Kriminologi Radikal dan konsep episteme-nya Foucault. Khususnya terkait episteme, pengayaan dalam penelitian ini adalah dengan mengkonstruksikan konsep episteme yang dikemukakan oleh Foucault dengan melihat adanya fragmentasi nilai sosial, ekonomi dan budaya, dalam reklamasi yang terjadi di Teluk Benoa dan Teluk Jakarta, sehingga menghasilkan konsep fragmented episteme.
Kampus UI Depok Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Jl. Prof. Dr. Selo Soemardjan, Depok, Jawa Barat 16424 Indonesia
E-mail: fisip@ui.ac.id
Tel.: (+62-21) 7270 006
Fax.: (+62-21) 7872 820
Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 6, Universitas Indonesia
Jl. Salemba Raya 4, Jakarta 10430 Indonesia