Pilih Laman
Kajian LabSosiso Menemukan Hasil Bahwa Tingkat Literasi Masih Terkendala Sejumlah Keterbatasan

Kajian LabSosiso Menemukan Hasil Bahwa Tingkat Literasi Masih Terkendala Sejumlah Keterbatasan

Upaya mendongkrak tingkat literasi di Tanah Air terkendala beragam keterbatasan, mulai dari infrastruktur, kegiatan berliterasi, hingga dukungan pendanaan. Selain itu, siswa dan guru kurang memanfaatkan sumber literasi di sekolah dan masyarakat. Upaya mendongkrak tingkat literasi masih terkendala sejumlah keterbatasan.

Tahun 2021, Kementrian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan(PMK) telah Menyusun Naskah Akademik Peta Jalan Pembudayaan Literasi 2021-2045. Maka dari itu dibutuhkan uji publik naskah akademik untuk melihat kesesuaian antara rencana kebijakan yang dirumuskan dengan kebutuhan masyarakat.

Sebagai bagian dari uji publik tidak langsung, pada bulan Agustus – September 2022, Kajian LabSosio Departemen Sosiologi Universitas Indonesia menemukan sejumlah persoalan kegiatan literasi di sekolah, keluarga dan masyarakat. Kajian ini diperoleh melalui diskusi fokus terarah atau FGD secara tatap muka di Kupang, Bali dan Medan serta di ikuti oleh Pegiat Literasi Nasional, siswa, guru, pengelola perpustakaan daerah.

Peneliti kluster riset pendidikan dan transformasi sosial LabSosio UI yaitu, Dr. Indera Ratna Irawati Pattinasarany, M.A., Dr. Lucia Ratih Kusumadewi, S.Sos., DEA., dan Prof. Dr. Paulus Wirutomo, M.Sc menyampaikan hasil penelitian secara hybrid pada Senin (21/2).

Hasil temuan yang didapatkan dari literasi sekolah, keluarga dan lingkungan yaitu (1) literasi masih dikenal dan dimaknai secara terbatas oleh siswa dan guru, (2) pada umumnya orang tua tidak terbiasa berkegiatan literasi di rumah dan di komunitas, (3) kurangnya keterlibatan masyarakat dalam kegiatan literasi.

Hal tersebut disebabkan oleh perpustakaan belum menjadi tempat yang menarik untuk dikunjungi dan kurang dapat diakses, serta masyarakat lebih tertarik menyibukan diri dengan gadget.

Menurut Indera, sejumlah siswa beralasan perpustakaan sudah tutup saat jam pulang sekolah sehingga mereka tidak dapat masuk dan mengakses bahan bacaan. Kebanyakan siswa hanya terpaku belajar di kelas dan cuma membaca buku pelajaran.

Padahal, penting bagi siswa mencari informasi di luar di kelas, ”yang tidak hanya tertulis, tetapi juga secara lisan. Hal ini yang masih terbatas. Di lingkungan keluarga, orangtua tidak terbiasa berkegiatan literasi di rumah. Tingkat literasi digital orangtua pun masih rendah,” ucapnya.

Kajian dari LabSosio merekomendasikan beberapa hal, salah satunya pembentukan kelompok kerja atau pokja ini untuk mendorong kegiatan literasi di sekolah. Lucia mengatakan, pokja itu dapat melibatkan guru, siswa, orangtua, dan pegiat literasi di luar sekolah.

Selain itu, ia mengatakan “perlu adanya metode kegiatan berliterasi yang dikembangkan berbasis kolaborasi dan terkait dengan tradisi-tradisi lisan di Indonesia, perlu adanya dukungan dana dan fasilitas kerjasama, lalu literasi digital terus digalakkan di sekolah.”

Lucia menambahkan, untuk membudayakan literasi di keluarga, pihaknya mengusulkan pelibatan orangtua dalam proyek literasi anak di sekolah. Berdasarkan temuan dalam FGD, banyak orangtua tidak lagi rutin membaca buku setelah menyelesaikan pendidikan formal.

”Kegiatan literasi dalam konteks lain, seperti berdiskusi dan mendongeng, juga kurang sekali. Kalau orangtua bisa terlibat, mungkin dapat menumbuhkan literasi di keluarga,” katanya.

Prof. Paulus menekankan ada tiga kekuatan atau tiga elemen yang penting, yaitu elemen struktural (pemerintah) yang harus memberikan panduan dan dorongan kepada masyarakat, elemen kultural masyarakat Indonesia, harusnya tradisi lama dibangkitkan kembali seperti mendongeng, selanjutnya elemen proses sosial untuk bersama-sama kolaborasi seperti perpustakaan sebagai learing-hub bahwa perpustakaan tidak hanya untuk menyimpan buku saja.

Menurut Prof. Paulus, “transformasi perpustakaan saat ini dahsyat betul, tetapi memang di lapangan transformasi tersebut belum terasa oleh masyarakat maka dari itu saya kecewa mengapa pembudayaan literasi hanya sampai tahun 2045 seharusnya masih bisa terus berlanjut.”

Sosiolog UI Menilai Memprediksi Bahwa Dukungan yang Diberikan Kepada Eliezer Justru Bakal Bertambah

Sosiolog UI Menilai Memprediksi Bahwa Dukungan yang Diberikan Kepada Eliezer Justru Bakal Bertambah

Sosiolog sekaligus Guru Besar FISIP Universitas Indonesia Prof. Paulus Wirutomo memprediksi, pendukung Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E tidak akan membubarkan diri dalam waktu dekat. Paulus menilai, pendukung Richard yang dikenal dengan nama Eliezer Angels, bakal mengawal Bharada E sampai pria berusia 24 tahun itu kembali ke masyarakat.

Alhasil selama Bharada E menjalani hukuman di balik jeruji besi, Paulus meyakini bahwa Eliezer Angels akan tetap setia. “Kalau menurut perkiraan saya, kalau isu itu sudah hilang, sudah terjawab. Eliezer sudah diterima lagi jadi polisi misal, mungkin akan berakhir (bubar) dukungannya,” ujar Paulus saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (19/2/2023). “Sebaliknya, kalau Eliezer masih dipenjara, mungkin mereka masih melanjutkan. Karena di penjara kan mereka bisa meninjau dan membesuk,” tambahnya. Lebih lanjut, Paulus memprediksi bahwa dukungan yang diberikan kepada Eliezer justru bakal bertambah. Apalagi empat terdakwa kasus pembunuhan Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J), yakni Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Kuat Ma’ruf, dan Ricky Rizal mengajukan banding atas vonis yang diterima. “Saya pikir pendukung Eliezer bisa bertambah. Kasus ini juga belum berakhir. Para pendukung Eliezer pasti mengawal proses hukum terdakwa lainnya. Terutama Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi yang notabene memiliki kekuasaan,” ujar Paulus.

Sebagai informasi, Bharada E yang dituntut 12 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan hanya divonis 1 tahun 6 bulan penjara oleh hakim. Bharada E merupakan terdakwa pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J. Selain Bharada E, terdapat terdakwa lain yaitu Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Kuat Ma’ruf dan Ricky Rizal.

Source: https://megapolitan.kompas.com/read/2023/02/19/13535271/pendukung-bharada-e-diprediksi-awet-tak-akan-bubar-dalam-waktu-dekat?page=2

Guru Besar Sosiologi:  Krisis dan Transformasi Besar Melahirkan Terobosan Baru

Guru Besar Sosiologi: Krisis dan Transformasi Besar Melahirkan Terobosan Baru

Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), menyelenggarakan kegiatan perdana Selo Soemardjan Memorial Lecture di Auditorium Juwono Sudarsono. Prof. Dr. Selo Sumardjan perintisi ilmu sosiologi di Indonesia yang juga menejadi Dekan pertama FISIP UI. Kuliah umum yang diselenggarakan pada Rabu (21/09) mengangkat judul “Sosiologi, Pandemi dan Ekonomi Platform” dengan Prof. Dr. der.soz. Rochman Achwan, MDS, Guru Besar Departemen Sosiologi sebagai pemberi materi.

Dekan FISIP UI, Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto dalam sambutannya mengatakan, ekonomi berbasis digital sudah terbayang sejak lama tetapi pandemi mengakselerasi prosesnya. Menjadi penting bagi para ilmuwan untuk bekerja lintas ilmu untuk mengembangkan solusi berbagai masalah. Fakultas, menurutnya terus mendorong upaya para dosen, peneliti dan mahasiswanya untuk memformulasikan penjelasan-penjelasan baru berkaitan dengan fenomena pandemi dan transformasi digital yang kian masuk ke seluruh sendi kehidupan masyarakat.

Ketua Departemen Sosiologi, Dr. Ida Ruwaida mengatakan bahwa kegiatan tersebut menjadi arena bagi para akademisi untuk mengontekstualisasi pemikiran-pemikiran Prof. Selo Soemardjan secara kritis dan bermakna luas, dengan isu-isu kekinian. Harapannya melalui kegiatan tersebut, bukan hanya terbangun tradisi penghargaan pada para ilmuwan yang produktif dan kontributif secara akademis, tetapi juga peduli pada isu-isu sosial kemasyarakatan, sebagaimana yang diteladankan oleh Prof. Selo.

Prof. Rochman, dalam kuliahnya menjelaskan pentingnya menggunakan perspektif teori tertentu untuk menjelaskan peristiwa transformasi besar yang tengah terjadi saat ini, merujuk pada teori Karl Polanyi mengenai transformasi besar akibat kapitalisme, Prof. Rochman menekankan pandemi dan internet sebagai penyebab transformasi besar di masa kini. “Transformasi besar adalah perubahan mendasar yang menggoncang sendi-sendi kehidupan ekonomi, politik dan masyarakat” ungkapnya.

Transformasi besar ini disebabkan oleh berbagai hal seperti perubahan politik, ekonomi, peperangan, bencana kesehatan dan revolusi teknologi. Ia menegaskan pentingnya memperhatikan kecenderungan pasca transformasi besar yang berbahaya yaitu ketika corak ekonomi baru diadopsi tanpa memahami konteks kebudayaan dan kemasyarakatan.

Dia mengambil contoh berpikir teoretik untuk melihat fenomena pandemi di Indonesia, tidak sekedar dilihat sebagai urusan gangguan kesehatan tetapi terkait dengan identifikasi isu. Menurutnya, pandemi menjadi semacam alat ronsen untuk melihat agents of change yaitu kelompok-kelompok strategis yang memiliki pengaruh politik, memprakarsai perubahan yang inovatif dan aktif dalam melaksanakan perubahan tersebut.

“Krisis dan transformasi besar justru melahirkan terobosan-terobosan baru seperi sharing economy,” ujar Prof. Rochman. Tujuan utama sharing economy adalah untuk memberikan akses atau layanan kepada semua orang dengan penyediaan fasilitas melalui platform digital, harapannya, bisa meningkatkan efisiensi sumber daya dan menghindari potensi buruk dari lingkungan karena konsumsi tidak terkontrol.

Ia mengharap para ahli dan mahasiswa sosiologi mengidentifikasi rangkaian-rangkaian sosial, politik, ekonomi yang terjadi dan pada saat pandemi. Peran mereka sangat penting dan berpengaruh karena di Indonesia, social protection dan kerekatan sosial lebih menonjol dibanding ekonomi pasar.

Lebih lanjut Prof. Rochman mengatakan, sosiologi harus bisa menerangkan platform economy berupa platform digital sebagai sebuah  model organisasi bisnis tanpa batas, yang dimungkinkan oleh internet dan teknologi komunikasi. Platform ini merupakan transformasi dari proses nikefication yaitu model orang-orang yang bekerja di pabrik, menuju uberization sutu model yang tidak perlu lagi lokasi khusus untuk bekerja

Ada kecenderungan di masa depan platform digital ini akan menejadi super platform yang mendominasi penguasaan data, memiliki jangkauan global, super eksploitatif dan sangat powerful. Bersama dengan media sosial, platform ekonomi digital akan semakin berhubungan dan menjadi kekuatan konsumen melawan ekspoitasi pemilik modal.

Prof. Paulus: Pembangunan Masih Terlalu Sektoral dan Kurang Sistemik-Holistik

Prof. Paulus: Pembangunan Masih Terlalu Sektoral dan Kurang Sistemik-Holistik

Pembangunan Sosiental menekankan bahwa membangun kualitas kehidupan sosial budaya atau good society untuk mencapai ultimate goal yang berupa kualitas kehidupan sosial budaya, pembangunan harus mencakup seluruh satuan masyarakat secara sistemik dan holistik. Hal ini akan tercermin dari kondisi elemen struktural, kultural, dan prosesual,” demikian yang ditekankan Prof. Paulus dalam bukunya yang berjudul “Imajinasi Sosiologi: Pembangunan Sosietal” yang diluncurkan pada Selasa (02/08) di Auditorium Juwono Sudarsono.

Perdebatan tentang pembangunan masih terus berlangsung hingga sekarang, mulai dari pembangunan berorientasi pertumbuhan ekonomi, pemerataan, pembangunan manusia sampai good society. Sementara itu, pembangunan masih terlalu sektoral dan kurang sistemik-holistik. Berpijak dari keprihatinan atas kondisi yang ada, Prof. Paulus menuangkan pemikiran sekaligus refleksinya atas pembangunan melalui bukunya, “perspektif Sosiologi tidak boleh mempersempit fakta yang ada dan harus holistic.”

Prof. Paulus percaya bahwa pembangunan sosietal akan menggeser kecenderungan pembangunan yang bersifat “antroposentrisme” (mengutamakan kepentingan spesies manusia) menuju pembangunan yang lebih seimbang secara sistemik dan inklusif ke dalam perspektif sosietal-ekologis.

Konsekuensinya, pembangunan tidak boleh hanya dinilai melalui indikator sektoral, tetapi harus menggunakan indikator yang lebih bersifat sosiologis, yaitu: (1) kondisi struktural yang mencerminkan kondisi dari penataan hubungan kekuasaan seperti kebijakan pembangunan, regulasi dsb; (2) kondisi kultural yakni sistem nilai, norma, kepercayaan, gaya hidup, cara berpikir masyarakat, serta (3) aspek prosesual yaitu dinamika interaksi sosial yang memberikan kemampuan manusia untuk menyatakan aspirasi, bernegosiasi terhadap kekuatan struktural dan kultural yang mendominasi.

Senada dengan yang disampaikan Prof. Paulus, Prof. Iwan Gardono yang juga Guru Besar Sosiologi mengatakan, bahwa tujuan pembangunan itu bukan sekadar membangun prasarana dan sarana, melainkan membangun masyarakat, yang bakal memakai dan memaknai hasilnya. “Buku ini dengan mudah dan jelas membawakan konsep ilmu sosial yang berbobot ini ke pembaca umum dan luas. Hubungan struktur masyarakat dengan budaya dan dinamika tata olah pembentukan “budaya terstruktur” serta “struktur terbudaya” merupakan buah pikir panjang dan mendalam dari Prof. Pauls selama puluhan tahun bergelut dalam pembangunan masyarakat,” ujar Prof. Iwan.

Dalam acara tersebut Dekan FISIP UI, Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto mengatakan, “Prof. Paulus membidik berbagai persoalan yang timbul karena ekses dari pembangunan berencana dan diperlukan suatu sosiologi yang lepas dari batasan-batasan tertentu, imajinasi untuk memaknai masyarakat yang ideal. Melalui buku ini kita belajar secara konseptual, untuk menempatkan ilmu sosiologi kembali ke subject method nya yang utama yaitu masyarakat. Selanjutnya yang saya ingat dari buku ini yaitu hilangkan ego sectoral dari pembangunan dan seringkali terjebak di sektor-sektor tertentu.”

Buku ini menawarkan model pembangunan sosietal untuk dipelajari, dikritisi atau digunakan oleh para ilmuwan sosial, praktisi pembuat kebijakan maupun para profesional yang memiliki ketertarikan terhadap pembangunan.

“Harapannya sosiologi harus mencerahkan bukan merumitkan masalah, kreatif, imajinatif dan sosiologi juga harus berorientasi pada pemecahan masalah,” ungkap Prof. Paulus.

Dalam rangka menyambut kehadiran buku ini, Departemen Sosiologi UI didukung oleh LabSosio dan Unit Riset FISIP UI, akan menyelenggarakan acara “Peluncuran sekaligus Bedah Buku”. Harapannya buku yang ditulis Paulus Wirutomo ini, akan lebih luas dikenal tidak hanya oleh kalangan masyarakat akademis, tetapi juga pemerhati, serta praktisi pembangunan baik dari kalangan pemerintahan maupun non-pemerintah.

Sosiolog FISIP UI: Banyak Kalangan Menengah Ke Atas Mengambil Ruang Kreasi Remaja Di Citayam Fashion Week

Sosiolog FISIP UI: Banyak Kalangan Menengah Ke Atas Mengambil Ruang Kreasi Remaja Di Citayam Fashion Week

Citayam fashion week merupakan tren street fashion yang dilakukan oleh kebanyakan remaja asal Citayam namun selain itu ada pula yang berasal dari Bojong Gede dan Depok di kawasan Sudirman. Alhasil, kawasan SCBD yang dulu terkenal dengan singkatan Sudirman Central Business District pun berubah menjadi Sudirman Citayam Bojonggede Depok.

Tren ini baru merebak beberapa waktu lalu. Diawali dengan anak-anak remaja yang nongkrong di kawasan Sudirman. Ide untuk menghabiskan waktu dan adu kreativitas para anak muda dalam tampil modis, saling beradu gaya dengan memanfaatkan outfit pilihan masing-masing di Citayam Fashion Week.

Para remaja memilih SCBD Sudirman karena kawasan yang berlokasi di Jakarta Pusat itu punya pemandangan layaknya di luar negeri. Bukan cuma itu, kawasan ini juga dikenal ramah pejalan kaki karena lebarnya trotoar dan banyak ditumbuhi pepohonan. Lokasinya pun strategis bagi warga Citayam, Bojong Gede dan Depok lantaran bisa diakses hanya dengan menggunakan KRL.

Menurut sosiolog dari FISIP UI, Ida Ruwaida mengatakan bahwa fenomena Citayam Fashion Week ini awalnya diciptakan oleh remaja yang tergolong marginal untuk memanfaatkan fungsi-fungsi sosial dari fasilitas publik. Kreasi remaja mereka pada dasarnya lebih bersifat alamiah, tanpa dirancang sebelumnya, hanya lebih karena dipicu tampil eksis untuk nongkrong dan berekspresi di ruang terbuka.

Tetapi seiring berjalannya waktu, ruang kreasi remaja marjinal tersebut justru dimanfaatkan kaum kelas menengah atas untuk berbagai kepentingan. Fenomena ini mengundang banyak selebritas hingga sosialita untuk ikut tampil di jalanan kawasan tersebut. Bahkan, kini banyak merek fesyen juga turut serta memanfaatkan atensi dari fenomena itu untuk dijadikan ajang promosi produk mereka.

Namun, kehadiran dari berbagai merek fesyen maupun public figure tersebut sebagian besar cenderung terlihat hanya sekadar memanfaatkan momen yang sedang ramai.

Senada dengan hal tersebut Ida mengatakan, “meski sebagian kalangan mengklaim akan memfasilitasi remaja tersebut, namun yang terjadi adalah mereka memanfaatkan keterbatasan anak-anak suburban maupun anak-anak kota yang marginal ini untuk kepentingan tertentu.”

“Ini cermin lemahnya kohesi sosial warga kota, juga solidaritas antar kelas karena pembangunan kota selama ini memang cenderung bias kelas,” sambung dia. Alih-alih memfasilitasi eksistensi remaja SCBD dengan cara yang unik dan menarik, Ida mengatakan bahwa banyak kalangan menengah ke atas justru mengambil ruang kreasi mereka.

“Sebagian kalangan juga cenderung reaktif dan menstigma latar belakang remaja tersebut sebagai anak pinggiran dan dianggap mengganggu wajah kota, khususnya kehidupan para elit kota,” tuturnya.

“Maka dari itu, fenomena ini seharusnya bisa diapresiasi sebagai wujud kemampuan remaja pinggiran maupun kota yang latar sosial ekonominya rendah untuk merespons konteks situasi terkini dengan cara mereka yang lebih kreatif,” imbuh Ida.

Artikel ini ambil dari: https://lifestyle.kompas.com/read/2022/07/26/063000120/remaja-citayam-fashion-week-ditunggangi-demi-popularitas-ini-kata-sosiolog?page=2