Pilih Laman
Hubungan Internasional FISIP UI Mengadakan Dialog Daring Bertajuk “Defining Nurani”

Hubungan Internasional FISIP UI Mengadakan Dialog Daring Bertajuk “Defining Nurani”

Departemen Hubungan Internasional FISIP UI mengadakan dialog daring bertajuk “Defining Nurani #6: Human Security dalam Diplomasi Multilateral” pada Jumat (10/7). Sebagai pembicara, Nara Masista Rakhmatia (Diplomat RI di PTRI Jenewa; S1 HI FISIP UI 2002) dan sebagai pembahas, Hariyadi Wirawan Ph.D (Staf Pengajar Departemen HI FISIP UI).

Nara menjelaskan, terdapat beberapa pesan kunci yang pertama elemen-elemen people-centred, pendekatan komperhensif dan pembahasan spesifik konteks dalam human security telah terinternalisasi dalam berbagai diskusi di internasional. Kedua, peran dan ruang gerak bagi para pemangku kepentingan terkait yang terbuka dan dianggap penting. Ketiga negara tetap memiliki peran kuat dan ruang gerak dalam penetapan konteks dan kepemilikan nasional serta isu yang menjadi prioritas. Ada beberapa kategori human security seperti economic, food, health, environmental, personal, community dan political.

“Dalam pembahasan human security di PBB, dimulai dari United Nations Development Programme Human Development Reports tahun 1994 yaitu freedom from fear and freedom from want. Dilanjutkan dengan millennium summit oleh sekjen Kofi Annan pada tahun 2000. Pembahasan human security terus di dorong oleh PBB melalui beberapa mekanisme seperti Commission on Human Security pada tahun 2001, meeting dan diskusi,” ujar Naya.

Lebih lanjut Nara menerangkan, pemahan human security pada diplomasi multilateral terlihat dari pemahaman yang berbeda dari tanggung jawab untuk melindungi dan implementasinya, tidak melibatkan ancaman atau penggunaan kekuatan atau tindakan pemaksaan dan tidak menggantikan keamanan negara serta pemerintah mempertahankan peran dan tanggung jawab utama untuk memastikan kelangsungan hidup, kehidupan dan martabat warga negara mereka.

Pada dasarnya keeamanan manusia harus dilaksanakan dengan rasa hormat penuh untuk tujuan dan prinsip-prinsip yang tercantum dalam piagam PBB termasuk penghormatan penuh terhadap kedaulatan negara, integritas teritorial dan tidak ada campur tangan dalam hal-hal yang pada dasarnya berada dalam yurisdiksi domestik negara.

Isu-isu yang tekait human security adalah pengentasan kemiskinan, ketahanan pangan, perubahan iklim, tenaga kerja, suistainable development goal dengan tema ‘Transforming Our World: The 2030 Agenda For Sustainable Development’, kemudian the new urban agenda diadopsi pada Konferensi PBB tentang Perumahan dan Pembangunan Perkotaan Berkelanjutan (Habitat III) di Quito, Ekuador. Hal ini mewakili visi bersama untuk masa depan yang lebih baik dan lebih berkelanjutan. Jika direncanakan dengan baik dan dikelola dengan baik, urbanisasi dapat menjadi alat yang kuat untuk pembangunan berkelanjutan bagi negara berkembang dan maju.

Peradilan Online dan Isu Fair Trial

Peradilan Online dan Isu Fair Trial

Departemen Kriminologi FISIP UI mengadakan diskusi daring “Kriminolog Bicara – Seri 9” dengan tajuk “Peradilan Online dan  Isu Fair Trial” yang dilaksanakan pada Jumat (26/6). Sebagai pembicara dalam diskusi kali ini, Dr. Iqrak Sulhin, M.Si (Dosen dan Ketua Departemen Kriminologi FISIP UI), Dr. Kasmanto Rinaldi, S.H, M.Si (Alumni S3 Kriminologi Universitas Islam Riau), Narendra Jatna, S.H, LLM (Dosen Fakultas Hukum UI dan Jaksa Penuntut Umum di Kejaksaan Agung RI).

Wabah Covid-19 telah melumpuhkan kegiatan masyarakat di berbagai sektor, termasuk di segi hukum. Aktivitas persidangan terdampak permasalahannya akibat pandemi Covid-19, yaitu pada persidangan perkara pidana dengan alasan masa tahanan yang terbatas menjadi dasar bagi Mahkamah Agung (MA) untuk menetapkan persidangan online dengan berdasarkan pada peraturan MA Nomor 1 Tahun 2019 tentang tata cara persidangan elektronik.

“Hakikat pembuktian dalam persidangan dapat dibuktikan sah dan menyakinkan seseorang melakukan tindak pidana atau kemudian dapat pula dibebaskan dari dakwaan apabila tidak terbukti melakukan tindak pidana. Permasalahan terkait pembuktian di muka persidangan saat ini dalam persidangan perkara pidana dilaksanakan secara online dengan alasan pandemi Covid-19. Hal tersebut pada dasarnya telah memantik sejumlah isu terkait keabsahan pembuktian yang dilakukan penuntut hukum untuk membuktikan kesalahan terdakwa serta keyakinan hakim akan pembuktianyang dilakukan oleh penuntut umum,” jelas Kasmanto.

Persidangan online juga rentan potensi terjadinya manipulasi persidangan atau potensi permainan perkara yang dapat mengaburkan ataupun mengubah fakta persidangan selain itu pelaksanaan persidangan online dari sisi non teknis juga rentan timbulnya permasalahan seperti gangguan jaringan internet yang dapat mengakibatkan tidak didengar dan dilihatnya secara baik atau salah menangkap maksud keterangan para pihak baik itu jaksa, hakim, pengacara, saksi maupun terdakwa yang dapat mengaburkan fakta sebenarnya sehingga tidak dapat dicapainya kebenaran materil dari hasil persidangan perkara pidana.

“Pandemi Covid-19 telah menimbulkan berbagai permasalahan pada berbagai bidang kehidupan, tak terkecuali pada sektor penegakan hukum. Pada satu sisi Penuntut Umum berkewajiban menuntaskan penanganan perkara, namun di sisi yang lain ada kekhawatiran mengingat sidang yang mengumpulkan banyak orang akan menimbulkan kerawanan penyebaran Covid-19. Surat Edaran Mahkamah Agung  No. 1 Tahun 2020 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Selama Masa Pencegahan Penyebaran Covid-19 di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya. Pada intinya persidangan perkara pidana, pidana militer dan jinayat tetap dilaksanakan,” ujar Narendra.

Lebih lanjut Narendra menjelaskan, Jaksa Agung RI akhirnya mengeluarkan Instruksi Jaksa Agung Nomor 5 Tahun 2020 tanggal 23 Maret 2020 tentang Kebijakan Pelaksanaan Tugas dan Penanganan Perkara Selama Masa Pencegahan Penyebaran Covid-19 di Lingkungan Kejaksaan RI dan Surat Jaksa Agung, Fungsi dan Kewenangan Ditengah Upaya Mencegah Penyebaran Covid-19, di mana dalam dua kebijakan tersebut menyebutkan dan memerintahkan kepada para Jaksa di seluruh Indonesia untuk melakukan sidang melalui teleconference.

Sedangkan Iqrak menjelaskan, prinsip fair trail merupakan manifestasi perlindungan hak asasi manusia yang mendasari beroperasinya sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system). Equality before the law yang termanifestasi melalui konsep fair trial dalam penegakan hukum yang harus ada pada semua tahapan sistem peradilan pidana yang meliputi proses penyidikan, penuntutan, persidangan dan pemasyarakatan.

“Dokumen laporan penilaian penerapan prinsip fair trial di Indonesia tahun 2018 adalah yang pertama hak atas komunikasi secara bebas telah tersedia tetapi tidak diberikan dalam keadaan bebas. Pihak Rumah Tahanan Negara (RUTAN) masih mendengarkan pembicaraan antara tersangka/terdakwa dengan penasehat hukumnya. Kedua kondisi yang lebih parah terjadi di kepolisian dimana pembicaraan tersangka dengan penasehat hukumnya diikuti dengan kehadiran pihak kepolisian, bahkan dalam beberapa kasus masih ditemukan pihak kepolisian tidak memberikan akses komunikasi kepada tersangka dan penasehat hukumnya,”ujar Iqrak.

Segala kendala yang dihadapi dalam persidangan online dan isu fair trial yang dihadapi dapat menimbulkan miscarriage of justice yang merupakan keadaan gagal tercapainya dari tujuan hukum yakni keadilan dan kepastian hukum. Apabila hal ini terjadi dapat menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap penegakkan hukum.

Berdasarkan rekap tanggal 26 Juni 2020, Kejaksaan telah berhasil menuntaskan persidangan online di seluruh Indonesia sebanyak 95.683 perkara dengan perincian pelaksanaan persidangan tindak pidana umum sebanyak 95.058 perkara dan pelaksanaan persidangan tindak pidana khusus sebanyak 625 perkara di seluruh Indonesia.