Ditengah berbagai permasalahan publik yang berkembang
saat ini, sejumlah sivitas FISIP UI baik secara individu, kelompok, maupun
kelembagaan, sedang/sudah melakukan riset (serta pengabdian kepada masyarakat)
tentang sejumlah isu strategis. Untuk itu, FISIP UI mendiskusikannya dan
memberikan rekomendasi kebijakan yang strategis bagi pihak-pihak terkait.
Adapun ketiga topik atau isu strategis tersebut adalah demokrasi, masyarakat
digital dan keadilan sosial. Pada kesempatan di sesi diskusi hasil riset ini, Prof.
Paulus Wirutomo, MSc, Ph.D (Guru Besar Departemen Sosiologi FISIP UI)
menjelaskan riset yang dilakukannya, yang berjudul “Urban Youth Digital
Citizenship atau Kewarganegaraan Kaum Muda Kota”.
Indonesia telah mencanangkan
Gerakan Nasional 100 Smart City sejak
2017. Tujuannya adalah untuk memperbaiki kualitas hidup warga kota. Smart City
memiliki beberapa dimensi seperti smart economy, mobility, environment, people,
living and governance. Riset ini mengkaji potensi dan tantangan Smart City dalam membangun warga kota
menjadi warga yang cerdas (smart citizen).
Riset ini memfokuskan untuk mempelajari bagaimana anak muda kota akan mampu
meninggalkan budaya kewargaan yang diwariskan orangtuanya dalam menjalankan hak
dan kewajibannya menuju kesadaran hak dan kewajiban secara modern.
Prof. Paulus menjelaskan “konsep
kewarganegaraan merupakan topik yang sngat penting pada masa kini dan masa
depan bernegara dan berbangsa. Konsep ini menekankan pada perkembangan konsepi
dan persepsi warga negara maupun pemerintah dalam hal hak dan kewajiban, konsep
citizenship bisa bersifat horizontal yaitu hubungan antara sesama anggota civil
society. Contohnya sejauh mana suatu golongan memiliki sikap toleransi atau
intoleransi pada golongan lainnya atau bolehkah pemerintah mendiskriminasi
minoritas dan seterusnya”.
Konsep kewarganegaraan berbeda
antar masyarakat, terutama yang memiliki latar belakang sejarah yang berbeda.
Di kebudayaan Indonesia masa lalu, konsep kewarganegaran mempersepso pemerintah
sebagai pihak yang memegang hak untuk memerintah, mengatur warganegara dengan
kebijakan mereka. Saat ini budaya itu telah berangsur berubah, rakyat mulai
punya pengetahuan dan kesadaran akan haknya, namun masih terdapat kesenjangan
kekuasaan, misalnya hak rakyat atas tanah masih sangat ditentukan oleh hasil
negosiasi antara pemerintah dan golongan elit atau pemilik perusahaan besar.
Di jaman digital sekarang ini
diperlukan suatu literasi digital bagi warga negara baik keterampilan untuk
mencari informasi maupun menolak disinformasi dalam rangka menuju demokrasi
yang berkualitas, seperti halnya yang sudah diterapkan di negara-negara Barat
(Belanda, Swedia dan Filandia) yang sudah melakukan kurikulum pelatihan untuk
mengetahui mana informasi yang tidak berguna dan merugikan. Pembangunan
sturktur masyarakat ditentukan oleh instrumen struktural seperti undang-undang,
kebijakan dan peraturan pemerintah. Kekuatan dunia bisnis juga dapat menambah
kekuatan struktural “ekstra-legal” atas kehidupan sehari-hari warga negara.
Jadi konsep smart city harus
mampu menghasilkan pengembangan struktural dengan meningkatkan keseimbangan hubungan
kekuasaan yang menguntungkan mayoritas dengan menciptakan keadilan tanpa
diskriminasi dan masyarakat yang inklusif.
Pemilu mensyaratkan adanya para penyelenggara pemilu yang
berintegritas tinggi unutuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan bagi semua
pihak. Apabila ada para penyelenggara pemilu lemah yang ditunjukkan dengan
keberpihakan dan ke-tidak netral-an dalam penyelenggaraan tersebut, maka besar
potensi untuk menghambat terwujudnya pemilu yang berkualitas.
Penyelenggaran
pemilu yang dimaksud adalah terdiri atas anggota KPU, anggota Bawaslu dan
segenap jajaran dibawahnya. Sejak reformasi 1998, pemilu di Indonesia mengalami
banyak perubahaan kelembagaan yang signifikan. Salah satunya adalah pembentukan
penyelenggaraan pemilu yang mandiri dan bebas dari intervensi kepentingan
politik.
Pada
kenyataannya, fakta pada lapangan pemilu banyak kecurangan dan banyak hal-hal
pelanggaran yang dilakukan oleh oknum panitia pemilu maupun oleh pemilih. Isu
seperti ini memang menjadi sangat sensitif terlebih lagi pada saat pemilu 2019.
Isu tentang manipulasi dan malpraktik pemilu masih banyak dilakukan.
Dr. Aditya
Perdana selaku Dosen Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI menjelaskan, “begitu banyak
persoalan terjadi, banyak pelanggaran etika dalam pemilu yang terjadi dalam
periode 2013-2017. Saya akan memaparkan beberapa kasus yang terjadi di empat
daerah di Indonesia maupun diluar Indonesia yakni Aceh Barat Daya, Nias Selatan,
Jayapura, Karawang dan Malaysia”.
Aceh Barat Daya
Ketua KIP (Komite Independen Pemilu) Aceh Barat Daya, M. Ja’far di berhentikan secara tetap oleh DKPP karena terbukti melanggar etika kemandirian yakni pernah menjabat sebagai salah satu pengurus Partai Aceh dalam proses seleksi penyelenggara pemilu. Disamping itu Ja’far pernah menjadi tim sukses salah satu kandidat di Aceh Barat Daya.
Aditya
menambahkan, “setelah itu Ja’far dipecat oleh DKPP pada tahun 2016. Dalam temuan
kami, Ja’far memang tidak menyatakan sebagai titipan dari Partai Aceh yang
memang sengaja dilakukan untuk persiapan pemilu karena sepenuhnya keinginan
pribadi. Namun kami beranggapan berbeda karena proses seleksi yang juga
sepenuhnya melibatkan anggota DPRA tentu sulit dibantah adanya keterlibatan
partai dalam penentuan komisioner terpilih tersebut”.
Nias Selatan
Panwaslu Kabupaten Nias Selatan merekomendasikan Pemungutan Suara Ulang di puluhan TPS dalam pemilu 2014 lalu. Bawaslu RI juga melakukan monitoring secara langsung terhadap Kabupaten Nias Selatan dan sempat merekomendasikan untuk PSU di Kabupaten Nias Selatan secara keseluruhan.
Akhirnya
masalah pemilu di Kabupaten Nias Selatan diputuskan dengan penghitungan suara
ulang. Pelaksanaan penghitungan suara ulang juga masih bermasalah karena tidak
dilakukan sebagaimana rekomendasi panwaslu. Rapat pleno rekapitulasi suara
tingkat kabupaten juga dianggap tidak transparan.
Jayapura
Ada pertarungan dan kompetisi elite sebelum Pilkada Kabupaten Jayapura diadakan pada tahun 2017. Bupati petahanan yang mencalonkan kembali diduga oleh lawan politiknya yaitu Ketua DPD Gerindra Jayapura melakukan mobilisasi dukungan di hari pemilu dan sebelumnya yakni melakukan pergantian petugas PPD (distrik) dan juga KPPS secara mendadak yang tanpa diketahui oleh KPUD.
Sementara itu
Bupati juga menduga bahwa lawan politiknya melakukan intervensi kepada para
penyelenggara (KPUD dan Panwas) dengan melakukan pendekatan personal yang sudah
dipersiapkan secara matang. Berdasarkan hasil pertemuan dengan kedua belah
pihak, memang terlihat adanya kepentingan untuk saling menjatuhkan
masing-masing dalam proses Pilkada yang memang diakhiri dengan pelaksanaan
pemungutan suara ulang.
Karawang
Seorang Caleg Perindo untuk DPR RI Dapil Karawang menyatakan bahwa ia telah memberikan uang sebesar enam ratus juta kepada 10 dari 12 Kecamatan yang dibantu salah seorang Komisioner KPUD Kabupaten Karawang. Pernyataan caleg ini kemudian dilaporkan kepada DKPP untuk kemudian diproses lebih lanjut.
“Setelah
kami temui, indikasi yang ada menunjukan sosok sebagai broker politik yang
ditampilkan oleh Komisioner KPUD tersebut untuk membantu pemenangan caleg
tersebut. Namun ternyata hasil perhitungan suara berkata lain dan tidak
memenangkan caleg tersebut. Caleg ini menyatakan kecewa dan membuka semua
transaksi yang terjadi. Temuan kami memperkuat apa yang terjadi dalam pelaporan
media bahwa memang terjadi transaksi dan tidak semua pihak terlibat dalam
persekongkolan didalam tubuh KPUD Karawang” ungkap Aditya.
Kuala Lumpur, Malaysia
Menjadi tempat terjadinya pelanggaran etika pemilu di luar Indonesia, kasus ini bermuncul adanya penyebaran informasi terkait temuan sejumlah kantong surat suara yang telah dicoblos di beberapa lokasi di Kuala Lumpur dua hari sebelum pelaksanaan pencoblosan Pemilu 2019 dilaksanakan. Setelah ditelusuri oleh pengawas pemilu, dugaan tersebut secara resmi dilaporkan kepada pusar dan menyatakan bahwa pencoblosan itu benar adanya.
Hasil riset ini
disampaikan oleh Dr. phil. Panji Anugrah Permana dosen Ilmu Politik, di
Auditorium Juwono Sudarsono FISIP UI pada Rabu (12/02) hasil riset ini berjudul
Dinamika Politik Lokal Pasca Orde Baru: Elit, Patronase dan Dinasti Politik.
Diskusi Hasil Riset diadakan dalam rangka acara Dies Natalis FISIP UI ke-52.
Pada
dasarnya keberhasilan demokrasi adalah sejauh mana kebijakan dan praktek
politik yang ada mampu menyumbang pada terciptanya keadilan dan kemakmuran bagi
seluruh atau sebanyak mungkin rakyat. Penilaian atas keberhasilan tersebut, sorotan
dapat diarahkan pada peran kekuatan-kekuatan strategis, yang seringkali disebut
pilar-pilar demokrasi.
Panji
Anugrah menjelaskan, pertanyaan mendasar pada hasil riset ini adalah bagaimana
kecenderungan dinamika politik lokal terjadi, apakah mengarah pada struktur
politik yang lebih kompetitif atau oligarkis. Ternyata kondisi pasca orde baru
itu adalah mengharah ke stuktural continuity, tidak ada yang berubah.
“Pada
kalangan oligarki melihat posisi elit itu bertahan, dalam pandangan kalangan
oligarki melihat posisi elit ini adalah pemilik modal. Sedangkan pada kalangan
liberalis melihat terhadinya fragmentasi elit” tambah Panji.
Riset
dibagi dalam 3 bagian yang pertama soal pilkada calon tunggal, yang kedua soal
kompetensi elit dan yang ketiga adalah soal brokerage.
Pertama soal calon tunggal, kecenderungannya terus menanjak dan mengalami
peningkatan dari tahun 2015.
Penyebabnya
ada beberapa point, yaitu terlalu kuatnya petahanan dan atau partai politik
berkuasa, buruknya kaderisasi di tubuh partai, sentralisme dan oportunisme
partai politik, semakin mahalnya biaya politik bagi kandidat kepala daerah,
serta pertimbangan biaya politik yang lebih murah bagi kandidat partai melalui
penyelenggaraan pilkada calon tunggal.
Pada riset
ini menunjukan kecenderungan pada tahun 2018 kartel dan oligarki partai (sistem
borongan) di kasus Kabupaten Tanggerang, jadi bupati petahanan sudah
mengkondisikan agar didukung oleh partai-partai yang ada. Masih di tahun 2018
terjadi kompetisi elit di Kota Makassar.
Dari pada
itu terdapat kecenderungan semakin sempitnya ruang kompetisi elit yang mengarah
pada orientasi oligarkis struktur politik lokal serta terdapat kecenderungan
semakin pragmatisnya elit dan partai.
Di daerah lain
juga terdapat rivalitas elit yang terjadi di Sulawesi Selatan. Ada beberapa
faktor penyebab yaitu kuatnya dinasti politik yang dipengaruhi oleh sumber daya
yang beragam dari wrisan jejaring keluarga dan kekayaan material. Kekalahan dinasti
politik dipengaruhi gagalnya konsolidasi internal di kalangan keluarga politik
dan kompetisi yang kuat dengan elit lain yang melibatkan elit nasional.
Selanjutnya
faktor penyebab revalitas elit adalah kegagalan boundary strengtheing petahanan yang dipengaruhi kegagalan
penguasaan teritorial dan kegagalan akses partai politik. Selanjutnya keberhasilan
boundary opening oposisi yang
dipengaruhi dengan munculnya figur yang kuat, penguasaan teritorial dan akes
partai politik. Konklusi tentatif pada riset ini yaitu:
Pertama, arena
politik lokal tidak sepenuhnya bersifat oligarkis. Di beberapah daerah kompetisi
antar elit masih sangat kuat terjadi. Hal ini merupakan berkah yang tidak bisa
dibandingkan dengan era otoritarian.
Kedua, arena
politik lokal cenderung semakin mengarah pada orientasi politik yang semakin
oligarkis. Hal ini ditandai dengan munculnya dan meningkatnya calon tunggal
yang semakin mempersempit ruang kompetisi elit. Kecenderungan oligarkis
ditopang oleh watak elit lokal dan partai politik yang sangat pragmatis dalam
memberikan dukungan politik.
Ketiga,
sebagai konsekuensi dari lemahnya keterhubungan partai dan massa, struktur
arena politik lokal semakin memberi ruang besar bagi berkembangnya institusi
informal klientelis yang digunakan sebagai peraup suara pemilu.
Diskusi hasil
riset ini di latarbelakangi untu membangun kultur demokrasi di Indonesia,
beberapa tahun terakhir ini, dihadapkan pada berbagai tantangan. Sikap
demokratis, yakni watak yang mengapresiasi perbedaan atau lebih mengedepankan
prinsip inklusivitas, seolah semakin menguap. Perbedaan masih juga seringkali memicu,
bahkan dijadikan pemicu terjadinya gesekan sosial, bahkan konflik.
Perkembangan
menuju masyarakat digital (salah satunya ditandai dengan penggunaan media sosial)
berkecenderungan semakin mengondisikan terjadinya polarisasi atau pembelahan di
masyarakat. Hal ini terefleksi bukan hanya pada level mikro (pola relasi antar
warga), tetapi juga meso (level komunitas), dan makro (level institusional/struktural).
Kondisi ini
tentu memprihatinkan karena pada konteks masyarakat Indonesia yang plural bahkan
multicultural, kemampuan mengelola perbedaan merupakan salah satu indikator
masyarakat demokratis.
Indikator ini
juga dapat berpengaruh pada indikator keberhasilan demokrasi lainnya yakni tingginya
partisipasi warga (termasuk dalam perancangan kebijakan publik). Artinya
partisipasi warga/publik terhalangi oleh adanya sikap-sikap non-demokratis dari
pihak-pihak/kelompok-kelompok tertentu yang berkecenderungan menunjukkan
kekuasaan ‘absolut’nya.
Berbagai kasus
gesekan/konflik pada pilkada dan pemilu serentak (khususnya pilpres tahun 2019),
terjadinya sejumlah kekerasan komunal di sejumlah wilayah, tingginya kasus bullying
di sekolah, munculnya kasus-kasus persekusi berbasis sikap intoleransi,
maraknya hoax di media sosial, dll, dapat menjadi cermin sejauh mana
keberhasilan demokrasi di Indonesia. Dalam bahasa lain, Rakhmani dkk (2018)
menyebutkan adanya pemiskinan keberagaman, bahkan didukung oleh kelas menengah.
Kondisi ini
tentu semakin memprihatinkan, karena kelas menengah justru diharapkan bukan hanya
mampu menjadi agen pendorong kultur demokrasi, tetapi bagi sebagian kalangan
juga diharapkan mampu menjadi penggerak demokrasi sosial.
Pada konteks
inilah relevan mempertanyakan kondisi social well-being warga/masyarakat, bahwa
pembangunan tidak semata mensejahterakan secara ekonomi, tetapi juga secara
sosial. Artinya demokrasi sejatinya juga mendorong keadilan sosial, termasuk
penghargaan dan pemenuhan hak asasi manusia (HAM), termasuk perlindungan pada kelompok-kelompok
rentan dan marjinal, termasuk: perempuan, anak, kelompok difabel, masyarakat adat,
dan lainnya.
Pada dasarnya keberhasilan
demokrasi adalah sejauh mana kebijakan dan praktek politik yang ada mampu menyumbang
pada terciptanya keadilan dan kemakmuran bagi seluruh atau sebanyak mungkin
rakyat.
Penilaian atas keberhasilan
tersebut, sorotan dapat diarahkan pada peran kekuatan- kekuatan strategis, yang
seringkali disebut pilar-pilar demokrasi, termasuk media/pers. Hal ini
mengingat intervensi struktural melalui berbagai perangkat kebijakan publik dan
perundangan, tampaknya belum menstimuli atau mendorong perubahan kultural.
Bahkan tidak sedikit kalangan
yang mempertanyakan transparansi dan akuntabilitas dari perancangannya. Artinya
prosesnya dinilai belum demokratis, bahkan ditengarai belum berpihak pada rakyat.
Pada kondisi tertentu, negara pun cenderung lemah mengontrol kekuatan ekonomi
dan politik. Dinamika relasi negara, masyarakat, dan pasar pun semakin kompleks
di era digital ini. Pada dasarnya berbagai panel diskusi ahli ini merupakan wujud
kontribusi sivitas FISIP UI, khususnya yang terkait dengan kebijakan publik.
Kegiatan ini berupa
diskusi “Paparan dan Diskusi Pakar tentang Hasil-hasil Riset FISIP UI Terpilih
dan Aktual” yang merupakan forum pemaparan dan mendiskusikannya secara mendalam
beberapa hasil riset FISIP UI. Diskusi dilakukan antara para Dosen dan Peneliti
FISIP UI dengan Penanggap Ahli dari beberapa latar belakang dan dibuka langsung
oleh Dekan FISIP UI Dr. Arie Setiabudi Soesilo, M.Sc.
Riset-riset Terpilih FISIP UI yang ditampilkan adalah yang
terkait dengan dinamika perkembangan permasalahan masyarakat dan bangsa
Indonesia beberapa waktu belakangan ini. Tema besar permasalahan masyarakat dan
bangsa Indonesia yang hendak didiskusikan dalam forum ini adalah “Demokrasi, Masyarakat
Digital, dan Keadilan Sosial”.
Forum ini berupa Paparan dari Dosen dan Peneliti FISIP UI
dilanjutkan dengan Diskusi bersama Penanggap Ahli yang berlatar belakang sebagai
Jurnalis Ahli, Pembuat dan Pengambil Keputusan Kebijakan (decision makers), dan
Pegiat Civil Society.
Forum Diskusi terbagi atas tiga bidang, yaitu “Demokrasi”
(Forum Diskusi 1), “Masyarakat Digital” (Forum Diskusi 2), dan “Keadilan
Sosial” (Forum Diskusi 3). Setiap Forum Diskusi akan mempresentasikan hasil
riset terpilih. Setiap Forum Diskusi mengundang sejumlah Dosen, Peneliti dan
Mahasiswa FISIP UI yang memiliki fokus kajian/keahlian sesuai tema forum
sebagai peserta diskusi.
Hubungi Kami
Kampus UI Depok Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Jl. Prof. Dr. Selo Soemardjan, Depok, Jawa Barat 16424 Indonesia
E-mail: fisip@ui.ac.id
Tel.: (+62-21) 7270 006
Fax.: (+62-21) 7872 820
Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 6, Universitas Indonesia
Jl. Salemba Raya 4, Jakarta 10430 Indonesia