Pilih Laman
Pameran Visual Etnografi: Cerita Ketangguhan Masyarakat Tentang Keberhasilan dan Kegagalan Konservasi

Pameran Visual Etnografi: Cerita Ketangguhan Masyarakat Tentang Keberhasilan dan Kegagalan Konservasi

Peneliti dari Departemen Antropologi FISIP Universitas Indonesia dan Departemen Biologi Universitas Cenderawasih bersama Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) Institut Teknologi Bandung (ITB), bekerjasama melakukan studi berjudul “Cerita Ketangguhan Masyarakat: Keberhasilan dan Kegagalan Konservasi Berbasis Masyarakat di Indonesia”, melalui pendanaan dari Alliance for Conservation Evidence and Sustainability (ACES).

Tujuan penelitian ini adalah memahami faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan masyarakat mendorong konservasi yang sejalan dengan strategi penghidupan masyarakat. Tim peneliti telah melakukan pengumpulan dan analisis data sekunder dari berbagai sumber terkait studi ini, selain itu, untuk memperkuat dan mengklarifikasi data, tim lapangan juga telah melakukan pengambilan data melalui pendekatan etnografi dan etnografi visual pada bulan Juli-Agustus 2022 di tiga desa di dua provinsi yaitu Provinsi Jambi dan Provinsi Papua.

Sejalan dengan hal tersebut di atas, kegiatan Pameran Visual juga dilaksanakan untuk menyampaikan ke khalayak umum, khususnya komunitas akademik (dosen dan mahasiswa) di Gedung Mochtar Riady FISIP UI pada 27 Februari sampai dengan 3 Maret 2023, hal untuk mengkampanyekan nilai penting konservasi berbasis masyarakat.

Dekan FISIP UI, Prof. Semiarto Aji Purwanto sangat mengapresiasi kegiatan ini, ia mengatakan bahwa Pameran Visual ini  diharapkan dapat menarik aspirasi masyarakat umum terkait implementasi konservasi dan membangun kesadaran tentang strategi penghidupan masyarakat di kawasan konservasi.

Kegiatan Pameran Visual ini menampilkan sebuah rangkaian cerita tentang bagaimana masyarakat di sekitar kawasan konservasi (Provinsi Papua dan Provinsi Jambi) membangun resiliensi sosial-ekologis menggunakan potensi sumber daya alam dan modal sosial yang mereka miliki. Mengambil lokasi studi di tiga desa di Papua yaitu Aruswar, Soaib dan Sawesuma serta Jambi yaitu Tamiai, Durian Rambun dan Sungai Keradak.

 

Tren Conscious Consumerism Semakin Meningkat Saat Ini Khususnya Anak Muda

Tren Conscious Consumerism Semakin Meningkat Saat Ini Khususnya Anak Muda

Danone-AQUA dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI, menggelar sesi diskusi terbuka Voice of Youth dengan tema “Conscious Consumption: Let’s Start The Journey”. Diskusi terbuka ini membahas tentang pentingnya membangun kebiasaan conscious consumption dalam mendukung target pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals) pada isu lingkungan, sosial, ekonomi, dan juga kesehatan.

Acara dilaksanakan di Balai Purnomo Prawiro (24/2). Dalam acara tersebut juga dilakukan penandatanganan nota kesepahaman bersama antara Danone-AQUA dengan UI untuk memperkuat upaya pelestarian lingkungan, edukasi, dan kesehatan.

Alumni Departemen Ilmu Hubungan Internasional tahun 2009 dan juga pendiri lembaga Think Policy, Andhyta Firselly Utami (Afutami) mengatakan, tren conscious consumerism semakin meningkat saat ini di antara masyarakat, seiring dengan meluasnya kesadaran tentang dampak konsumsi mereka terhadap lingkungan dan kesehatan. Khususnya di antara orang muda, sebagai generasi yang melek digital dan terpapar terhadap lebih banyak informasi melalui media sosial.

Ia menambahkan, “mereka adalah populasi terbesar dalam menerapkan kesadaran konsumsi di kehidupan sehari-hari, dan ternyata terbukti salah satunya lewat hasil voting yang dipaparkan tadi. Tentunya ini perlu didorong agar terus berkelanjutan, demi membawa manfaat positif dalam jangka panjang.”

Sepakat dengan Afutami, Corporate Communication Director Danone Indonesia, Arif Mujahidin menjelaskan bahwa kesadaran untuk memilih produk yang berkontribusi positif pada berbagai aspek kehidupan, mulai dari lingkungan hingga sosial, menjadi faktor yang penting bagi masyarakat dan generasi muda saat ini dalam mengambil keputusan, yang sekaligus menjadi salah satu penggerak utama tren conscious consumption.

“Kami menyadari bahwa kebutuhan serta gaya hidup masyarakat terus berubah dan hal tersebut tentu memiliki dampak terhadap lingkungan maupun sosial. Oleh karena itu, kami yakin bahwa dengan mengadopsi gaya hidup conscious consumption terutama dimulai dari kalangan muda, kita dapat memberikan dampak yang lebih positif bagi berbagai pihak,” ujar alumni yang juga berasal dari Departemen Ilmu Hubungan Internasional tahun 1985.

Seluruh produk AQUA yang beredar di pasaran diproduksi dengan standar kualitas yang tinggi. Setiap produk berasal dari sumber air terpilih yang 100% murni dan terjaga ekosistemnya serta telah melalui proses kontrol, evaluasi dan dijamin baik dari sisi fasilitas produksi, kebersihan, dan keamanan produk serta berbagai aspek mutu lainnya.

“Mayoritas bisnis kami juga sudah mendukung keberlanjutan lingkungan dengan kemasan galon guna ulang AQUA yang telah hadir sejak 1983 dan telah membentuk budaya reusable sehingga mengurangi dampak terhadap lingkungan. Kami terus mengembangkan berbagai pilihan produk yang lebih ramah lingkungan baik secara kemasan maupun operasional”, jelas Arif.

Kajian LabSosiso Menemukan Hasil Bahwa Tingkat Literasi Masih Terkendala Sejumlah Keterbatasan

Kajian LabSosiso Menemukan Hasil Bahwa Tingkat Literasi Masih Terkendala Sejumlah Keterbatasan

Upaya mendongkrak tingkat literasi di Tanah Air terkendala beragam keterbatasan, mulai dari infrastruktur, kegiatan berliterasi, hingga dukungan pendanaan. Selain itu, siswa dan guru kurang memanfaatkan sumber literasi di sekolah dan masyarakat. Upaya mendongkrak tingkat literasi masih terkendala sejumlah keterbatasan.

Tahun 2021, Kementrian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan(PMK) telah Menyusun Naskah Akademik Peta Jalan Pembudayaan Literasi 2021-2045. Maka dari itu dibutuhkan uji publik naskah akademik untuk melihat kesesuaian antara rencana kebijakan yang dirumuskan dengan kebutuhan masyarakat.

Sebagai bagian dari uji publik tidak langsung, pada bulan Agustus – September 2022, Kajian LabSosio Departemen Sosiologi Universitas Indonesia menemukan sejumlah persoalan kegiatan literasi di sekolah, keluarga dan masyarakat. Kajian ini diperoleh melalui diskusi fokus terarah atau FGD secara tatap muka di Kupang, Bali dan Medan serta di ikuti oleh Pegiat Literasi Nasional, siswa, guru, pengelola perpustakaan daerah.

Peneliti kluster riset pendidikan dan transformasi sosial LabSosio UI yaitu, Dr. Indera Ratna Irawati Pattinasarany, M.A., Dr. Lucia Ratih Kusumadewi, S.Sos., DEA., dan Prof. Dr. Paulus Wirutomo, M.Sc menyampaikan hasil penelitian secara hybrid pada Senin (21/2).

Hasil temuan yang didapatkan dari literasi sekolah, keluarga dan lingkungan yaitu (1) literasi masih dikenal dan dimaknai secara terbatas oleh siswa dan guru, (2) pada umumnya orang tua tidak terbiasa berkegiatan literasi di rumah dan di komunitas, (3) kurangnya keterlibatan masyarakat dalam kegiatan literasi.

Hal tersebut disebabkan oleh perpustakaan belum menjadi tempat yang menarik untuk dikunjungi dan kurang dapat diakses, serta masyarakat lebih tertarik menyibukan diri dengan gadget.

Menurut Indera, sejumlah siswa beralasan perpustakaan sudah tutup saat jam pulang sekolah sehingga mereka tidak dapat masuk dan mengakses bahan bacaan. Kebanyakan siswa hanya terpaku belajar di kelas dan cuma membaca buku pelajaran.

Padahal, penting bagi siswa mencari informasi di luar di kelas, ”yang tidak hanya tertulis, tetapi juga secara lisan. Hal ini yang masih terbatas. Di lingkungan keluarga, orangtua tidak terbiasa berkegiatan literasi di rumah. Tingkat literasi digital orangtua pun masih rendah,” ucapnya.

Kajian dari LabSosio merekomendasikan beberapa hal, salah satunya pembentukan kelompok kerja atau pokja ini untuk mendorong kegiatan literasi di sekolah. Lucia mengatakan, pokja itu dapat melibatkan guru, siswa, orangtua, dan pegiat literasi di luar sekolah.

Selain itu, ia mengatakan “perlu adanya metode kegiatan berliterasi yang dikembangkan berbasis kolaborasi dan terkait dengan tradisi-tradisi lisan di Indonesia, perlu adanya dukungan dana dan fasilitas kerjasama, lalu literasi digital terus digalakkan di sekolah.”

Lucia menambahkan, untuk membudayakan literasi di keluarga, pihaknya mengusulkan pelibatan orangtua dalam proyek literasi anak di sekolah. Berdasarkan temuan dalam FGD, banyak orangtua tidak lagi rutin membaca buku setelah menyelesaikan pendidikan formal.

”Kegiatan literasi dalam konteks lain, seperti berdiskusi dan mendongeng, juga kurang sekali. Kalau orangtua bisa terlibat, mungkin dapat menumbuhkan literasi di keluarga,” katanya.

Prof. Paulus menekankan ada tiga kekuatan atau tiga elemen yang penting, yaitu elemen struktural (pemerintah) yang harus memberikan panduan dan dorongan kepada masyarakat, elemen kultural masyarakat Indonesia, harusnya tradisi lama dibangkitkan kembali seperti mendongeng, selanjutnya elemen proses sosial untuk bersama-sama kolaborasi seperti perpustakaan sebagai learing-hub bahwa perpustakaan tidak hanya untuk menyimpan buku saja.

Menurut Prof. Paulus, “transformasi perpustakaan saat ini dahsyat betul, tetapi memang di lapangan transformasi tersebut belum terasa oleh masyarakat maka dari itu saya kecewa mengapa pembudayaan literasi hanya sampai tahun 2045 seharusnya masih bisa terus berlanjut.”

Sosiolog UI Menilai Memprediksi Bahwa Dukungan yang Diberikan Kepada Eliezer Justru Bakal Bertambah

Sosiolog UI Menilai Memprediksi Bahwa Dukungan yang Diberikan Kepada Eliezer Justru Bakal Bertambah

Sosiolog sekaligus Guru Besar FISIP Universitas Indonesia Prof. Paulus Wirutomo memprediksi, pendukung Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E tidak akan membubarkan diri dalam waktu dekat. Paulus menilai, pendukung Richard yang dikenal dengan nama Eliezer Angels, bakal mengawal Bharada E sampai pria berusia 24 tahun itu kembali ke masyarakat.

Alhasil selama Bharada E menjalani hukuman di balik jeruji besi, Paulus meyakini bahwa Eliezer Angels akan tetap setia. “Kalau menurut perkiraan saya, kalau isu itu sudah hilang, sudah terjawab. Eliezer sudah diterima lagi jadi polisi misal, mungkin akan berakhir (bubar) dukungannya,” ujar Paulus saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (19/2/2023). “Sebaliknya, kalau Eliezer masih dipenjara, mungkin mereka masih melanjutkan. Karena di penjara kan mereka bisa meninjau dan membesuk,” tambahnya. Lebih lanjut, Paulus memprediksi bahwa dukungan yang diberikan kepada Eliezer justru bakal bertambah. Apalagi empat terdakwa kasus pembunuhan Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J), yakni Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Kuat Ma’ruf, dan Ricky Rizal mengajukan banding atas vonis yang diterima. “Saya pikir pendukung Eliezer bisa bertambah. Kasus ini juga belum berakhir. Para pendukung Eliezer pasti mengawal proses hukum terdakwa lainnya. Terutama Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi yang notabene memiliki kekuasaan,” ujar Paulus.

Sebagai informasi, Bharada E yang dituntut 12 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan hanya divonis 1 tahun 6 bulan penjara oleh hakim. Bharada E merupakan terdakwa pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J. Selain Bharada E, terdapat terdakwa lain yaitu Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Kuat Ma’ruf dan Ricky Rizal.

Source: https://megapolitan.kompas.com/read/2023/02/19/13535271/pendukung-bharada-e-diprediksi-awet-tak-akan-bubar-dalam-waktu-dekat?page=2

Perubahan Iklim: ‘Ibu Para Petani’, Melahirkan Generasi Petani-Ilmuwan yang Luwes Menghadapi Pergeseran Musim di Indonesia

Perubahan Iklim: ‘Ibu Para Petani’, Melahirkan Generasi Petani-Ilmuwan yang Luwes Menghadapi Pergeseran Musim di Indonesia

Nasi di piring Anda mungkin berasal dari perjuangan petani di Indramayu, Jawa Barat – yang saat ini menjadi daerah penghasil beras terbesar di Indonesia.

Namun, perubahan iklim yang mempengaruhi cuaca telah mengancam produksi padi mereka.

Di tengah persoalan yang mendunia ini, sekelompok petani “menjelma” menjadi ilmuwan yang meneliti pola curah hujan sebagai langkah antisipasi gagal tanam dan panen.

Seorang profesor bernama Yunita T Winarto dengan tekun mendampingi mereka lebih dari satu dekade.

Awan kelabu masih tersapu di langit Desa Balongan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Embun pagi bergulir ke tanah, menggetarkan daun padi. Seekor kepik yang malas, tersentak, lalu terbang.

Kepik itu menghilang di antara kumpulan burung yang melintas di atas Profesor Yunita T Winarto, yang sedang berjalan di pematang sawah, mengikuti jejak kaki Yusup, petani setempat.

Pemandangan ini tak seperti umumnya petani yang membawa cangkul di pundak, Yusup justru menenteng buku hijau besar yang disatukan dengan lidi dan penggaris.

Mereka kemudian berhenti di persimpangan pematang sawah, menghampiri batang kayu setinggi 1,5 meter yang di tengahnya terdapat semacam kaleng susu yang disebut omplong.

Kaleng ini merupakan kreasi petani yang berfungsi sebagai obrometer [alat pengukur curah hujan]. Omplong menampung air hujan selama 24 jam terakhir.

Yusup mengeluarkan kayu kecil dan mengukur air hujan di dalamnya. Setelah diukur, jumlahnya ia catat dalam buku.

“Tadi kita ukur hujannya, 57 mm,” kata Yusup.

“Dampak di tanaman seperti apa?” tanya Profesor Yunita yang tahun ini berusia 73 tahun.

“Kemarin [curah hujan] 33 mm, ada dampaknya di ketinggian air. Kalau kemarin macak-macak [tanah hanya becek], sekarang agak genang,” jawab Yusup, petani yang mengelola lahan keluarganya seluas 1,5 hektar.

Sebenarnya, kata Yusup, genangan ini tidak baik untuk umur padi yang belum genap sebulan. Tapi ia memutuskan membiarkannya tergenang sementara waktu, karena pria 46 tahun ini sudah mencium kemunculan rumput pengganggu.

“Kalau airnya digenangin itu, menahan rumput untuk tumbuh,” kata Yusup yang mengaku sudah 10 tahun terakhir tidak menggunakan pupuk kimia dan pestisida untuk lahan taninya.

Petani-ilmuwan

Curah hujan adalah kunci dalam pertanian. Curah hujan menentukan keberhasilan panen, termasuk menentukan perkembangbiakan hama dan gulma.

Dengan mencatat curah hujan setiap pagi, Yusup bisa memetakan pola curah hujan—Yusup melakukannya selama 10 tahun yang menjadi bagian praktik agrometeorologi. Tujuannya, agar ia bisa mengantisipasi gagal tanam dan panen.

Ditambah dengan laporan skenario musiman terkait apa itu La Nina atau El Nino, Yusup bisa mengambil keputusan kapan waktu yang tepat untuk menanam, di mana, dan jenis tanaman apa yang cocok.

“Kalau El Nino [periode hujan pendek], kita jangan tanam padi. Nggak cocok tanam padi. Kita tanam jagung, kedelai atau palawija. Walaupun penghasilan sedikit, yang penting ada penghasilan. Dari pada mengejar padi, tapi gagal panen,” kata Yusup, tamatan sekolah dasar.

Jika skenario musimannya La Nina [periode hujan panjang], lanjut Yusup, maka carilah lokasi tanam padi yang tidak ada genangan airnya.

“Kalau kita semainya di tempat yang tergenang, nanti gagal. Sama saja buang biaya,” jelas Yusup sambil menambahkan gagal tanam bisa merugikan petani hingga Rp10 juta per hektar.

Tapi, keputusan-keputusan ini semua juga dipengaruhi pola curah hujan yang sudah dicatat Yusup selama satu dekade.

Dengan membandingkan pola curah hujan pada periode yang lalu-lalu, ia bisa membayangkan curah hujan yang akan terjadi tiga bulan ke depan, dan mengantisipasi agar tidak kehilangan uang karena gagal tanam.

Petani peka perubahan iklim

Yusup adalah satu dari sekitar 30 petani di Indramayu yang tergabung dalam Perkumpulan Petani Tanggap Perubahan Iklim (P2TPI).

Organisasi ini dirintis 2009 silam, di mana saat itu petani belajar mengukur curah hujan, mengamati agroekosistem, mengumpulkan data, dan membahasnya dalam rapat evaluasi setiap bulan.

Yusup awalnya bertanya-tanya untuk apa ia mengukur curah hujan setiap hari – ini bukan sesuatu yang lazim bagi petani.

“Karena kita belum tahu penjabarannya manfaatnya apa, belum tahu. Cuma mengukur penguapan, dan segala macam, untuk apa gitu?” katanya sambil terkekeh mengingat masa itu.

Ia mengaku baru menyadari dan mendapat manfaatnya, lima tahun sejak pengukuran curah hujan pertama. “Karena ada catatannya. Kapan tanam, kapan semai itu kan dicatat. Begitu mau tanam, saya lihat catatannya,” kata Yusup.

‘Ibu yang momong petani’

Ini semua berkat pendampingan dan “kesabaran” Yunita T. Winarto, seorang profesor emeritus antropologi di Universitas Indonesia, kata Yusup.

“Kalau di Indramayu istilahnya Bu Yunita ‘momong’ terus, [petani] digiring supaya jadi rutin [mencatat]… Bedanya, kalau profesor lain datang, kemudian hilang.

Kalau Bu Yunita kan rutin. Kayak ibunya para petani, padahal Ibu Yunita bukan petani,” kata Yusup sambil tersenyum memperlihatkan barisan giginya.

Terjun langsung ke sawah dan mendampingi petani adalah bagian hidup perempuan yang menyelesaikan pendidikan S3 di Universitas Nasional Australia ini. Profesor Yunita mengaku sudah sejak 1980-an meneliti sosial-budaya di sektor pertanian.

Namun, dalam satu dekade terakhir, ibu tiga anak ini makin mencemaskan dampak perubahan iklim terhadap produksi pertanian, termasuk petaninya itu sendiri yang tak paham atas konsekuensinya.

Pola tanam petani umumnya masih tradisional: memperoleh petunjuk dari tanda-tanda alam di sekitar atau mengikuti petuah orang tua untuk mulai menanam, dan cenderung mengejar produksi padi.

Mereka juga mengandalkan ingatan untuk membandingkan musim tanam tahun ini dengan tahun-tahun sebelumnya.

“Kalau sekarang terjadi perubahan iklim, tiba-tiba ada hujan besar. Apa penyebab hujan, yang tiba-tiba besar? Pada saat musim kemarau kok, tiba-tiba hujan? Mereka [petani] tahu tidak itu konsekuensi dari perubahan iklim? Siapa yang memberi tahu?” katanya bertanya-tanya.

Dari refleksi ini, ia kemudian merangkul Profesor Kees Stigter (meninggal 2016), ahli agrometeorologi dari University of Free State di Afrika Selatan. Profesor Kees yang juga mantan presiden Organisasi Meteorologikal Dunia (WMO) ini mengenalkan alat pengukur hujan, menggunakannya, mencatat dan menganalisanya.

Proyek ini kemudian mendapat dukungan dari Akademi Kesenian dan Ilmu Pengetahuan Kerajaan Belanda. Pendampingan petani untuk belajar agrometeorologi berada di bawah program Warung Ilmiah Lapangan yang pada 2018 didukung penuh Universitas Indonesia sebagai salah satu bentuk inovasi di bidang Sosial Humaniora.

“Jadi, memang saya dan Pak Kees menyadari, bahwa perlu ada dimensi ilmiahnya. Dimensi kebiasaan petani sebagai peneliti, ilmuwan, jadi mencatat itu merupakan tradisi baru. Kebiasaan baru, yang memang saya tahu tidak mudah [untuk petani],” kata Profesor Yunita.

Tidak mudah, karena perempuan berdarah Tionghoa ini juga mendapat penolakan sejumlah petani saat awal-awal memberi pendampingan.

“Permintaan tim kita untuk belajar, yang dilakukan dengan cara ilmuwan—mencatat—itu dianggap sebagai hal pemaksaan. Itu semacam syok. Kaget saya,” katanya.

Selain itu, upaya mencari dukungan dari pemerintah juga menghadapi persoalan karena gonta-ganti pejabat, sehingga, “Setiap kali harus menceritakan lagi.”

Ia juga menghadapi ketiadaan dukungan dana pada periode tertentu. “Tapi tetap saya usahakan mendampingi mereka. Jadi bisa dibilang saya sukarela datang ke sini dengan dana saya,” kata perempuan kelahiran Malang, Jawa Timur.

Bagaimana pun, “Saya merasa, saya bisa juga langsung berkarya membantu mereka… saya anggap ini sebagai suatu pengalaman hidup saya sebagai antropolog, yang amat kaya.”

Baca lebih lanjut: https://www.bbc.com/indonesia/majalah-64493806