Direktorat Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata
(KIPS) Direktorat Jendral Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri bersama
Departemen Hubungan Internasional FISIP UI mengadakan kegiatan yang mengangkat
tema “Jaringan Masukan Peran dan Capaian Keanggotaan Tidak Tetap Indonesia di
Dewan Keamanan PBB Periode 2019-2020: Peluang dan Tantangan” pada Kamis (10/10)
di Balai Sidang UI Depok.
Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian (PMPP) Indonesia
membekali para pasukan perdamaian wanita dengan kemampuan gender-responsive dan kemampuan untuk membangun komunitas (community building). Kontribusi dan
peran personil perempuan Indonesia di MPP PBB menjadi dokter, perawat,
administrasi, promosi tentang PBB dan Indonesia. Kenaikan personil perempuan
dari Indonesia dari 77 personel per Januari 2019 menjadi 125 personel per
Agustus 2019, jumlah personel tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara
terbesar diantara negara ASEAN. Sejalan dengan komitmen Indonesia pada
implementasi Action for Peacekeeping
Initiative, Indonesia akan terus menambah personil perempuan.
“Kasus kekerasan seksual yang terjadi di wilayah konflik,
kebanyakan korbannya adalah perempuan. Mengapa kesopanan atau norma hukum tidak
ada di wilayah konflik? Karena tidak ada lagi yang menjalankan hukum. Pasukan
perdamaian hadir di wilayah konflik misi PBB adalah sebagai penjaga perdamaian,
penjaga kesepakatan penghentian kekerasan bersenjata” jelas Fitriani.
Salah satu tugas
pasukan PBB adalah mengawasi
pihak-pihak yang bertikai untuk tidak menjalankan kekerasan kepada warga
sipil yang seharusnya bisa kembali menjalankan kehidupannya sehari-hari.
Fitriani menjelaskan, tapi yang terjadi karena tidak
adanya keamanan, warga sipil yang paling lemah kebanyakannya adalah perempuan
mengalami kekerasan seksual, bahkan Sekjen PBB mengakui kekerasan seksual
adalah ancaman bagi hak individu untuk hidup bermartabat maka dari itu, agar
misi perdamaian PBB juga memperhatikan
adanya kasus-kasus kekerasan seksual dan bagaimana misi perdamaian PBB bisa
membantu untuk menghapuskan konflik tersebut.
PBB sendiri memberikan laporan seberapa besar kasus
kekerasan seksual terkait konflik yang terjadi dan kekerasan seksual dilakukan
oleh aktor bersenjata selama konflik. Pihak-pihak yang berkonflik menggunakan
kekerasan seksual sebagai taktik untuk penguasaan suatu daerah, khususnya dalam
konflik etnis. Oleh karena itu sering kali terjadi penggunaan taktik militer
menggunakan kekerasan seksual merupakan pernikahan paksa dan kehamilan paksa.
Hampir 50% perempuan mengalami tindak kekerasan seksual
dalam perang saudara di Liberia, banyak korban perkosaan berusia 5 dan 12
tahun. PBB telah mencatat lebih dari 2.000 tuduhan pelecehan dan eksploitasi
seksual oleh penjaga perdamaian PBB. Dampaknya adalah trauma fisik, psikologis,
kehamilan yang tidak diinginkan, PMS dan penolakan komunitas.
Pasukan perdamaian Indonesia untuk misi perdamaian PBB
tidak pernah melakukan kekerasan seksual, karena pasukan perdamaian Indonesia
sudah menekankan untuk menjaga harakat dan tidak merusak nama baik Indonesia.
Sebelum berangkat pasukan Indonesia juga harus mentandatangani bahwa mereka
menghargai hak asasi manusia, selain itu para pasukan sudah mendapatkan
pelatihan tentang gender.
“Awalnya pasukan perdamaian tidak peduli tentang
kekerasan seksual, dengan adanya sensitifitas dan tekanan dari media. Force Commander meminta agar anak
buahnya tidak melakukan tindakan kekerasan seksual, mereka sudah berkonflik dan
bersedih seharusnya para personil penjaga perdamaian melindungi. Kadang kala
diakui bahwa lebih berbahaya menjadi perempuan dari pada jadi pasukan disana.
Karena pasukan mempunyai persenjataan kalau perempuan disana tidak punya
apa-apa untuk melindungi dirinya sendiri” tambah Fitriani.
Dewan Keamanan PBB mengartikulasikan hubungan antara
kekerasan seksual dan pemulihan perdamaian dan keamanan, mengamanatkan pasukan
perdamaian untuk memastikan para pelaku dituntut, bahwa korban selamat
dilindungi, menerima keadilan dan kompensasi.
Peran khusus penjaga perdamaian perempuan adalah pemberi
pertolongan, tempat bercerita/pengumpul informasi, panutan dan mendekatkan
masyarakat khususnya dalam budaya. Tantangan meningkatkan jumlah perempuan
pasukan perdamaian untuk misi penjaga perdamaian, idealnya harus memenuhi
jumlah massa kritis yang seimbang untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat
setempat. Tantangan mengirim perempuan ke misi PBB juga datang dari persepsi
keluarga dan masyarakat, pelecehan seksual, diskriminasi gender dan bias
terhadap kandidat.
Indonesia telah menjadi anggota tidak tetap Dewan
Keamanan (DK) PBB untuk periode 2019-2022 selama lebih dari tujuh bulan, maka
dari itu dipandang perlu untuk secara aktif melakukan outreach ke berbagai kalangan masyarakat termasuk kalangan civitas
akademika, utamanya mahasiswa mengenai peran dan capaian Indonesia di DK PBB.
Outreach sangat penting untuk menyampaikan informasi faktual
mengenai manfaat dan peran aktif Indonesia dalam menjadi anggota tidak tetap DK
PBB serta untuk meningkatkan rasa kepemilikan dan menggalang dukungan publik
atas pelaksanaan keanggotaan DK PBB Indonesia.
Direktorat Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata
(KIPS) Direktorat Jendral Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri bersama
Departemen Hubungan Internasional FISIP UI mengadakan kegiatan yang mengangkat
tema “Jaringan Masukan Peran dan Capaian Keanggotaan Tidak Tetap Indonesia di
Dewan Keamanan PBB Periode 2019-2020: Peluang dan Tantangan” pada Kamis (10/10)
di Balai Sidang UI Depok.
Kegiatan ini bertujuan untuk menggalang dukungan publik
atas pelaksanaan keangotaan DK PBB Indonesia, diseminasi informasi mengenai
kontribusi, pencapaian, peran dan fungsi DK PBB Indonesia.
Mendatangkan empat pembicara yaitu, Grata E.
Werdaningtyas, M.Si sebagai Direktur KIPS Direktorat Jendral Kerja Sama
Multilateral Kementerian Luar Negeri. IGN. Kristanyo Hardojo sebagai Diplomat
Madya KIPS Direktorat Jendral Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri.
Fitriani, Ph.D sebagai peneliti Departemen Hubungan Internasional dan Dr. phil.
Yandry Kurniawan sebagai Dosen Hubungan Internasional FISIP UI.
Grata E. Werdaningtyas menjelaskan, prioritas keanggotaan
Indonesia pada Dewan Keamanan PBB ada empat, yaitu yang pertama adalah dialog
dalam penyelesaian konflik, harus menjaga international
peace and security harus menciptakan suatu mekanisme untuk mencegah
terjadinya perang. Kedua adalah sinergi antar organisasi kawasan dan DK PBB.
“Ketiga, mendukung global comprehensive approach untuk
perangi terorisme, radikalisme dan ekstrimisme. Isu ini tidak hanya menjadi isu
internasional tetapi juga menjadi isu dalam negeri kita sendiri. Keempat,
mendorong kemitraan global agar tercapai sinergi antara perdamaian dan
pembangunan berkelanjutan, seperti di negara konflik timur tengah sudah
dilakukan perjanjian damai tetapi tidak didukung oleh pilar-pilar untuk
menormalisasikan kehidupan akibatnya adalah terjadi perang lagi. Untuk
menormalisasikan suasana damai itu harus investasi di pembangunan dan di
demokratisasi. Selain keempat fokus itu, Palestina menjadi perhatian Indonesia sebagaimana
yang dimandatkan oleh Presiden RI Joko Widodo” tambah Greta.
Peran Kepemimpinan Indonesia pada Dewan Keamanan PBB
yaitu menjadi badan subsider, Indonesia menjadi ketua sejumlah Komite DK PBB
mengenai penanggulangan terorisme dan non-proliferasi. Menjadi penholdership, Indonesia merupakan co-penholdership untuk resolusi terkait
Afghanistan bersama Jerman. Indonesia juga memegang co-penholdership mengenai isu Palestina bersama Kuwait.
“Dasar pertimbangan partisipasi Indonesia dalam Misi
Pemeliharaan Perdamaian (MPP) PBB melalui proses yang panjang, berdasarkan
pasal 6 Perpres No. 86 Tahun 2015 tentang pengiriman misi pemeliharaan
perdamaian yaitu, kepentingan nasional, pertimbangan politis, keamanan dan
keselamatan personel, ketersediaan dukungan personel, materil, peralatan dan
pendanaan. Prinsip dasar misi pemeliharaan perdamaian PBB, consent of the parties, impartiality not neutrality itu harus adil
memang tidak mudah menjadi pasukan perdamaian, lalu non-use of force except in self defense and defense of the mandate”
Jelas IGN. Kristanyo Hardojo.
Peran pasukan perdamaian Indonesia di misi pemeliharaan
perdamaian PBB, yaitu pemeliharaan keamanan dan perlindungan warga sipil,
monitoring gencatan senjata, pelanggaran keamanan, patroli kemanan, pemeliharaan
laut, melayani kesehatan masyarakat, layanan pendidikan, sosial budaya
mepromosikan tentang PBB dan Indonesia. Sebaran personil Indonesia pada misi
permeliharaan perdamaian PBB berada di Afrika seperti Sudan, Yemen, Lebanon,
Congo, Mali dan Western Sahara. Indonesia berada di ranking 8, totalnya ada
2.909 personil termasuk 125 personil perempuan.
Capaian Peacekeepers
Indonesia di misi pertama
Berhasil
membantu mengungkap peredaran narkotika di Haiti
Turunkan
status keamanan salah satu ruas jalan dari “red” (dangerous) ke “yellow” (tidak
perlu UN security escort)
Damaikan
konflik suku Bantu dan suku Twa di Fatuma
Capaian Peacekeepers
Indonesia di misi kedua
Persuasi
ex-combatan untuk menyerahkan senjata secara sukarela dalam rangka Demobilizetion, Disarmament, Reintegration
(DDR), tercatat 45 senjata berbagai jenis bahan peledak, ratusan busur, ribuan
anak panah berhasil diterima oleh satgas Rapid
Deployment Battalion (RDB).
Capaian Peacekeepers
Indonesia di misi ketiga
Perlancar local peace process via security escort bagi Komite Mediasi
Baraza ke pedalaman untuk mediasi konflik suku
Persuasi
reintegrasi 422 personil kombatan dan keluarganya ke masyarakat secara aman
tanpa khawatir pembalasan atau penangkapan oleh FARDC/militer Congo, tercatat
lebih dari 1000 kombatan berhasil di reintegrasi
Beberapa isu krusial yang dihadapi oleh Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo antara lain ketegangan di Laut Cina Selatan dan peningkatan kapabilitas Cina yang berpotensi menimbulkan kekuatan (power shift). Perdebatan akademik di seputar kebijakan luar negeri dan diplomasi Indonesia sendiri lebih banyak terpusat pada konsep Poros Maritim Global dan Indo-Pasifik. Departemen Hubungan Internasional UI melaksanaan seminar nasional tentang kebijakan luar negeri Indonesia era Presiden Joko Widodo Jilid 2, dilaksanakan di Auditorium Juwono Sudarsono FISIP UI.
Laksamana Madya (Purn.) Freddy Numberi mengatakan, ”bagaimana Indonesia menyikapi politik luar negeri dalam rangka merangkul negara-negara di kawasan Laut Cina supaya melihat masalah di kawasan Laut Cina, secara bersama-sama supaya zona peace bisa tercapai dengan baik. Situasi ketegangan di Laut Cina Selatan akhir-akhir ini cukup membuat kita khawatir. Ada 3 faktor yang mendorong sebuah negara melakukan invasi untuk merebut suatu wilayah/daerah tertentu, yang pertama melidungin kepentingan ekonomi, kedua niat untuk meningkatkan kemampuan militer dalam rangka kepentingan proyeksi kekuatan jangka pendek, sedang dan panjang, ketiga melindungi kepentingan vital strategis. Hal-hal tersebut sudah Cina lakukan, mereka tidak ingin di intervesi oleh orang lain. Cina sudah melakukan peningkatan kemapuan militer sejak tahun 2002, kemampuan militernya hebat. Kepentingan vital strategis, Cina berhasil dari minyak saja tiap hari Cina me-drive 283 dollar perhari.”
“Diplomasi di kawasan Laut Cina Selatan jelas melibatkan banyak aktor, negosiasi dan masalah yang dirundingkan lebih luas mencakup ekonomi, budaya, lingkungan, pendidikan dan militer. Diplomasi kawasan Laut Cina Selatan ini bersifat global, diplomasi mencakup bilateral regional multilateral” Tambahnya.
Dengan data yang ada, 290 barrel perhari atau setara dengan 174 juta dollar perhari atau 234 milliar rupiah perhari penghasilan dari minyak di kawasan Laut Cina Selatan belum yang lain-lain. Ini berarti suatu hari nanti negara di sekitar kawasan Laut Cina akan menderita, maka harus ada kebijakan untuk negara Indonesia yang merangkul negara di sekitar kawasan Laut Cina untuk kita bersama-sama menghadapi Cina ini, Indonesia juga harus merangkul Cina dalam konteks ekonomi itu sangat penting karena tidak bisa terlepas dari itu.
Kawasan Laut Cina Selatan merupakan wilayah strategis yang berbatasan dengan Vietnam, Cina, Filipina, Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura. Di beberapa bagian terjadi tumpang tindih yuridiksi yang menjadikan potensi konflik di wilayah ini cukup tinggi. Dengan kekayaan yang terkandung di kawasan tersebut. Laut China Selatan menyimpan perikanan yang menggiurkan, cadangan minyak dan gas. Kawasan perikanan Laut Natuna yang berbatasan dengan Laut China Selatan juga menyimpan cadangan gas alam penting bagi Indonesia.
Departemen Hubungan Internasional FISIP UI melaksanaan seminar nasional tentang kebijakan luar negeri Indonesia era Presiden Joko Widodo Jilid 2, dilaksanakan di Auditorium Juwono Sudarsono FISIP UI. Seminar nasional ini di latar belakangi oleh pemilihan umum 2019 yang menghasilkan Presiden petahana Joko Widodo dan KH Ma’aruf Amin (Wakil Presiden) Republik Indonesia periode 2019-2024. Kemenangan ini membawa tugas besar memimpin 250 juta rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Seminar nasional ini dibuka dengan sambutan dari Dekan FISIP UI Dr. Arie Setiabudi Soesilo, M.Sc dan mendatangkan beberapa narasumber yaitu, Dr. Siswo Pramono sebagai Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BBPK) Kementrian Luar Negeri RI. Laksamana Madya (Purn.) Freddy Numberi sebagai Tokoh Senior Papua dan Menteri Perhubungan 2009. Dr. Ani W. Soetjipto sebagai dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI. Serta sebagai moderator adalah Hariyadi Wirawan, Ph.D.
Tantangan tidak bisa lepas dalam masa kepimpinan satu periode ke depan, dalam konteks global dimana kondisi dunia yang dipenuhi ketidakpastian dan isu perang dagang menjadi sekelumit gambaran dunia hari ini yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo sebelum keberangkatannya ke Osaka, Jepang dalam forum G20.
Dr. Siswo Pramono mengatakan “kalau kita melihat politik luar negeri lima tahun kedepan kita harus menunggu pak Jokowi. Saya berbicara disini versi dan dugaan-dugaan saya yang terlihat dari kondisi dunia saat ini, dunia yang kan kita hadapi lima tahun kedepan yang nampak lebih banyak merek dagang dan ditandai dengan perang dagang 1 dan perang dagang 2.”
”Media mengekritisi kenapa pak Jokowi tidak ke United Nation tapi bolak-balik ke APEC dan ke G20, karena multilateral beliau itu lebih ke ekonomi dan perdagangan, makanya beliau lebih banyak datang ke G20 dan APEC. Tantangan luar negeri Indonesia yaitu perang dagang, citizenship, millennials dan revolusi industri. ” Tambahnya.
G20 ini dibentuk tahun 1999 sebagai forum yang secara sistematis menghimpun kekuatan-kekuatan ekonomi maju dan berkembang untuk membahas isu-isu penting perekonomian dunia. Sedangkan APEC adalah forum ekonomi 21 negara di Lingkar Pasifik yang bertujuan untuk mengukuhkan pertumbuhan ekonomi, mempererat komunitas dan mendorong perdagangan bebas di seluruh kawasan Asia-Pasifik.
Dalam periode pertama kepimpinan Presiden Joko Widodo (2014-2019), diplomasi Indonesia memiliki beberapa capaian. Catatan Kompas dan Katadata menunjukan bahwa performa Indonesia dalam hal kepemimpinan dalam diplomasi internasional, diplomasi ekonomi maupun perlindungan WNI diluar negeri masuk dalam kategori baik.
Untuk meningkatkan kerja sama dengan negara-negara Eropa di bidang ekonomi, investasi, dan ekspor-impor, Indonesia sedang menjalani perundingan dengan negara negara European Free Trade Association (EFTA) menuju Indonesia-EFTA Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA).
Negara-negara EFTA yang terdiri dari Swiss, Norwegia, Islandia dan Lichtenstein kini menempati urutan ke-9 sebagai negara investor terbesar di dunia. Negara-negara EFTA juga menjadi negara ke empat dengan nilai investasi luar negeri terbesar setelah Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Hong Kong China.
Saat ini, pangsa pasar Indonesia di negara-negara EFTA terus berkembang. Kegiatan ekspor-impor dan investasi Indonesia di negara-negara tersebut meningkat 37% selama lima tahun terakhir. Komoditi yang sering diperdagangkan berkutat di industri manufaktur, seperti emas, bahan-bahan kimia, bahan-bahan farmasi, pupuk, dan campuran bahan baku industri.
Oleh karena itu, untuk mengoptimalkan kerja sama Indonesia dengan negara-negara EFTA, perlu dilakukan kajian khusus dan diskusi. Departemen Hubungan Internasional FISIP UI bekerjasama dengan Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (P2K) Kementerian Luar Negeri mengadakan forum kajian yang dihadiri akademisi-akademisi terkait. Forum ini diadakan di Auditroium Juwono Sudarsono pada Kamis, (1/3).
Yose Rizal Damuri, Ph.D. ; Head of Economics Department Center for Strategic and International Strategic (CSIS), Dr. Ir. Yahya Rachman Hidayat, M.Sc.; Direktur Perdagangan, Investasi, dan Kerjasama Ekonomi Internasional, Wahyuni Bahar S.H. LL.M; Pakar di bidang Hukum dan Investasi, dan Asra Virgianita, Ph.D., akademisi dan Dosen Hubungan Internasional FISIP UI dihadirkan sebagai panelis.
Forum Kajian Kebijakan Luar Negeri ini juka dibuka dengan sambutan Dekan FISIP UI, Dr. Arie Setiabudi Soesilo, M.Sc., Dr. Siswo Pramono; Kepala Bidan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Kementerian Luar Negeri, serta dimoderatori Kepala Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kawasan Amerika dan Eropa, Leonard Felix Hutabarat.
“Diplomasi ekonomi Indonesia bekerja aktif mendorong pariwisata dan meningkatkan ekonomi. Diplomasi ekonomi Indonesia diharapkan mampu meningkatkan peluang pasar di semua kawasan di Eropa, termasuk menjalin kerja sama bilateral dan multilateral, salah satunya dengan EFTA,” kata Siswo Pramono.
Salah satu tujuan kerja sama ekonomi dengan EFTA yaitu untuk membantu perusahaan-perusahaan serta UKM mendapatkan akses ekspor ke Eropa dengan tingkat tarif yang lebih rendah dan proses administrasi yang lebih mudah.
“Untuk meningkatkan hasil kerja sama dengan EFTA, Indonesia harus fokus di pembentukan rantai nilai di negara EFTA, misalnya rantai nilai farmasi, elektronik atau jasa misalnya,” kata Yose Rizal Damuri
Seperti yang diketahui, bahwa Swiss dan negara EFTA lainya merupakan salah satu produsen bahan-bahan kimia serta farmasi terbaik di dunia, selain maju di bidang teknologi seperti mesin, elektronik, dan material serta jasa. Untuk itu, fokus di pembentukan rantai nilai barang-barang tersebut perlu dilakukan.
Yahya Rachman Hidayat menambahkan bahwa untuk mengoptimalkan hasil kerja sama I-EFTA CEPA bagi Indonesia perlu juga untuk memperhatikan bidang-bidang lain selain trading di bidang goods and services.
Menurut Yahya, CEPA adalah satu kesempatan untuk mendapatkan transfer knowledge untuk meningkatkan capacity building kelembagaan mupun human capital.
“Masih banyak peluang selain capital inflow dari negara EFTA. Kita perlu meningkatkan ekonomi development, misalnya meningkatkan capacity building kita di dalam rangka meningkatkan kinerja eksport.”
Kampus UI Depok Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Jl. Prof. Dr. Selo Soemardjan, Depok, Jawa Barat 16424 Indonesia
E-mail: fisip@ui.ac.id
Tel.: (+62-21) 7270 006
Fax.: (+62-21) 7872 820
Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 6, Universitas Indonesia
Jl. Salemba Raya 4, Jakarta 10430 Indonesia