Departemen Kriminologi FISIP UI mengadakan diskusi daring “Kriminolog Bicara – Seri 8” dengan tajuk “Kejahatan Pencucian Uang: Nafas Panjang Upaya Pemberatasan di Indonesia” yang dilaksanakan pada Jumat (12/6). Sebagai pembicara dalam diskusi kali ini, Dr. Priyono B. Sumbogo, M.Si (Dosen tidak tetap Departemen Krimonologi FISIP UI dan Pemimpin Redaksi Majalah Forum Keadilan), IJP R.Z. Panca Putra Simanjuntak, S.I.K, M.Si (Mahasiswa Doktoral Departemen Kriminologi FISIP UI dan mantan Direktur Penindakan KPK), Dr. Davy Hendri, S.E, M.Si (Dosen FEBI UIN Imam Bonjol Padang).
Pencucian uang merupakan upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan sumber awal atau asal usul uang yang diperoleh dari berbagai bentuk kejahatan, misalnya dari hasil korupsi, penyuapan, penyelundupan, penipuan, penggelapan uang dan lain sebagainya. Pentingnya penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Latar belakangnya karena tingginya tingkat korupsi di masa Orde Baru dan di masa transisi demokrasi. Contoh kasus yang belum lama terjadi E-KTP pada tahun 2011-2012 dari nilai pekerjaan sebesar RP 5.841 triliun, dikorupsi mencapai RP 2.314 triliun. Selain itu faktor-faktor yang memungkinkan orang menerima uang hasil kejahatan sebagai hal biasa atau keterpaksaan.
Menurut Priyono, “kekuatan UU TPPU ( Tindak Pidana Pencucian Uang) adalah memberi sanksi pidana penjara dan denda tertinggi, hal ini sesuai dengan Pasal 2 Ayat 1 dengan pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak RP 10 miliar. Selanjutnya adalah penyitaan aset dan pembuktian terbalik, dalam pengusutan kasus TPPU penyidik dapat melakukan penyitaan aset walaupun belum terbukti sebagai tempat pencucian uang, pembuktian terbalik adalah terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana, sesuai dengan Pasal 78 Ayat 1 dan Ayat 2, jika terdakwa tidak bisa membuktikan hartanya legal, maka secara definitive akan disita negara. Kemudian pemblokiran transaksi mencurigakan melalui PPATK (Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan).”
“Contoh kasus yang terjadi di Indonesia, yaitu PT Asuransi Jiwa Saraya, pengelolaan dana investasi telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar RP 16.807.283.375.000. Modus operandi nya adalah pengaturan dan pengendalian pengelolaan investasi saham dan reksa dana yang seharusnya dilakukan melalui komite investasi namun tidak di fungsikan, saham-saham yang dibeli dan dijual tidak melalui mekanisme kajian dan analisa yang mendalam serta tidak dilakukan analisa kulitas dan kompetensi oleh manajer investasi yang dipilih, menyetujui pembeli saham walaupun telah melampaui ketentuan yang diatur dalam pedoman investasi yaitu maksimal 2,5% dari saham beredar, melakukan perubahan kebijakan investasi kerjasama dengan tujuan memudahkan proses pengelolaan dana PT Asuransi Jiwa Saraya,” jelas Prapanca.
Davy menjelaskan, ”laundered money lebih disukai para kriminal jika tidak di laundry maka akan mudah tertangkap sehingga tidak bisa menikmati hasil kriminalitas. Money laundering pada dasarnya adalah segala cara untuk menikmati (secara legal) uang hasil tindak kriminal. Menurut PBB, secara global setiap tahun, nominal uang yang di laundering setara dengan 2-5% GDP dunia atau sekitar US $1,6-4 triliun. Pemisahan atau pelapisan (layering) adalah tahap berikutnya dimana uang hasil tindak pidana itu dipindahkan, disebarkan dan disamarkan dengan tujuan untuk menyembunyikan asal-usulnya, layering dapat dilakukan dengan mentransfer uang hasil pidana ke manapun secara berkali-kali sehingga sulit dilacak”.
Tindak pidana pencucian uang atau korupsi yang dilakukan mereka yang memiliki kedudukan sosial dan pengetahuan yang tinggi dengan memanfaatkan kemajuan teknologi untuk mendapatkan keuntungan, dilakukan dengan cara rumit. Sehingga penerapan TPPU menjadi strategi utama dalam proses penegakan hukum yang perlu untuk terus disempurnakan dalam rangka menjaga perekonomian Indonesia.
Departemen Kriminologi FISIP UI mengadakan diskusi online “Kriminolog Bicara – Seri 7” dengan tajuk “Kasus George Floyd dan Kepolisian: Jangan Sampai Terjadi di Indonesia” yang dilaksanakan Jumat (12/6). Sebagai pembicara dalam diskusi ini, Andrea H. Poeloengan, S.H., M.Hum., MTCP. (Komisioner Komisi Kepolisian Nasional), Komjen Pol (P) Drs. Ahwil Luthan, M.Si. (Mantan Irwasum POLRI), Dr. Mohammad Kemal Darmawan, M.Si. (Dosen Departemen Kriminologi FISIP UI).
Pada 25 Mei 2020, George Floyd seorang pria Afria-Amerika, meninggal ketika ditangkap oleh polisi. Rekaman video pengamat kejadian menunjukan bahwa seorang polisi kulit putih menjepit Floyd ke tanah saat dia diborgol. Lutut petugas polisi menekan bagian belakang leger Floyd selama lebih dari delapan menit, bahkan setelah Floyd kehilangan kesadaran. Dalam video tersebut Floyd terdengar berkata “tolong saya tidak bisa bernapas”.
Dampak dari kejadian tersebut, dem berujung penjarahan dan pembakaran, gelombang protes dan huru-hara, diberlakukan jam malam, ribuan polisi, tentara dan pasukan garda nasional diterjunkan. Aksi masyarakat Amerika mengadakan petisi Justice for George Floyd, tagar Blackout Tuesday serta solidaritas artis dan atlet dunia.
Ada beberapa isu penting terkait pentingnya kasus George Floyd, dalam diskusi online yang diadakan Departemen Kriminologi dibahas isu penggunaan kekuatan yang berlebihan dari polisi. Tindakan dan penggunaan kekuatan kepolisian adalah upaya paksa atau tindakan lain yang dilakukan secara bertanggung jawab menurut hokum yang berlaku untuk mencegah, menghambat atau menghentikan tindakan pelaku kejahatan yang mengancam keselamatan atau membahayakan jiwa, harta benda atau kehormatan kesusilaan guna mewujudkan tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya ketentraman masyarakat.
“Kekuatan polisi digunakan untuk melindungi keselamatan diri sendiri atau orang lain dari bahaya, untuk mencegah pelaku melarikan diri, untuk mencegah perusakan properti negara, mencegah atau memadamkan gangguan. Kekuatan apapun yang membawa risiko besar yang mungkin akan mengakibatkan kematian seseorang. Ada beberapa mekanisme pengendalian bagi petugas POLRI untuk tidak melakukan kekuatan polisi yang berlebihan dengan pengendalian internal petugas polisi, seperti rekrutmen, peltihan, nilai-nilai kepolisian serta lembaga pengawasan POLRI,” jelas Kemal.
Ahwil menjelaskan sistem kepolisian di Amerika adalah sistem kepolisian terpisah atau berdiri sendiri, kelemahan dari sistem tersebut adalah pengawasan yang sifatnya lokal, tidak ada standar profesionlisme masing-masing daerah, penegakan hokum terpisah atau berdiri sendiri dalam arti tidak bisa memasuki wilayah hukum daerah lain. Sedangkan sistem kepolisian Indonesia adalah sistem terpusat, adanya standarisasi, pengawasan berjenjang dan berlapis mulai dari Polse, Polres, Polda sampai ke Mabes POLRI serta pengambilan keputusan yang sangat cepat karena satu komando.
Menurut Andrea “kasus George Floyd jangan sampai terjadi di Indonesia karena berdasarkan pasal 30 ayat 4 UUD 1945, kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga kemanan dan ketertiban masyarakat, betugas melindungi, mengayomi, melayanin masyarakat serta menegakan hukum.”
Departemen Kriminologi FISIP UI mengadakann diskusi daring “Kriminolog Bicara – Seri 6” dengan tajuk “New Normal: Apakah Juga New Crime, New Criminal, New Victim?” yang akan dilaksanakan pada Jumat (5/6). Sebagai pembicara dalam diskusi kali ini, antara lain: Dr. Anggi Aulina Harahap, Dipl. Soz., M.Si. (Dosen Departemen Kriminologi FISIP UI), Dr. Supardi Hamid, M.Si. (Dosen Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian dan Alumnus S1-S3 Kriminologi FISIP UI), dan Dr. Bagus Takwin, S.Psi., M.Hum (Dosen Fakultas Psikologi UI) Diskusi ini akan dilakukan secara daring melalui aplikasi Zoom.
Bagus menjelaskan, “Ada tiga pengertian normal, yang pertama normal statistik yang di lakukan/ditampilkan kebanyakan orang yang umumnya terjadi, penyimpangan sangat kecil dari rata-rata. Yang kedua, normal ideal/aspirasional apa yang dianggap baik, ideal dan diharapkan terjadi. Yang ketiga normal fungsional yang adaptif, berfungsi dan menyelesaikan masalah.”
Normal baru sebagai cara adaptasi baru masyarakat mengembangkan dan menghasilkan fungsi-fungsi baru agar tetap berjalan adaptif. Normal baru bisa berupa peraturan, teknik, prosedur dan protokol baru. Bisa efektif atau tidak efektif dan bisa dipersepsi berbeda oleh pihak-pihak yang berbeda.
Perubahan pola tingkah laku dan dampak Normal baru menghasilkan tingkah laku baru seiring perubahan norma. Dampak positifnya, penemuan cara dan solusi baru, perbaikan dan peningkatan kualitas. Dampak negatifnya, kerugian karena biaya besar penyesuaian, penyimpangan dan potensi kejahatan. Kejahatan adalah masalah sosial yang normal karena merupakan bagian dari semua masyarakat. Kejahatan memberikan kontribusi penting bagi pengoperasian sistem sosial: memunculkan norma.
Kejahatan baru merupakan bentuk dari cara adaptasi orang atau kelompok tertentu yang menilai situasi normal baru tidak berfungsi dalam pencapaian tujuan mereka. Kejahatan baru makin besar kemungkinan terjadi jika ada perubahan sosial, termasuk perubahan norma. Di masa-masa yang tidak pasti ada celah yang lebih besar untuk kejahatan baru.
“Berkurangnya intensitas di ruang publik dan adanya social distancing akan membalik hiperrealitas sebagai pengaruh dunia virtual. Realitas justru akan dibawa pada dunia virtual sebagai ajang pengganti dunia sosial nyata, sehingga real virtuality menguat. Hal ini berlaku juga pada realitas kejahatan di dunia nyata yang akan banyak bergerak dan berpindah ke dunia maya sebagai bagian dari real virtuality. Fenomena belanja online merupakan salah satu realitas di dunia virtual yang sarat dengan potensi kejahatan,” jelas Supardi.
Di tengah pandemic Covid-19 promosi doktor tetap dilaksanakan walaupun secara daring/online. Promosi doktor secara dari ini dilakukan pertama kali oleh mahasiswa S3 Kriminologi FISIP UI, Mas Ahmad Yani. Mengangkat judul disertasi “Kejahatan Oleh Negara dalam Kasus Pengambilan Kebijakan Pemberian Bailout dengan Penamaan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) Pada Bank Century (Suatu Tinjauan Kriminologi)”.
Kebijakan pemberian bailout atau dana talangan dengan penamaan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) kepada Bank Century, sejak digulirkan tahun 2008, hingga saat ini telah menimbulkan kontroversi di tengah-tengah masyarakat. Kontroversi itu karena adanya pandangan bahwa kebijakan tersebut di nilai sebagai tidak layak dan menimbulkan kerugian bagi keuangan negara karena dipandang hanya menguntungkan salah satu pihak tertentu saja.
Dalam tinjauan kriminologi, kontroversi tersebut dapat dipandang atau diasumsikan sebagai kejahatanyang berada dalam ruang lingkup White Collar Crime (WCC), dilakukan oleh korporasi birokrasi negara. Dengan pendekatan metode kualitatif, sifat kejahatan dari kebijakan FPJP Bank Century, ternyata tidak bisa hanya di lihat dari aspek pengambilan kebijakan saja. Tapi perlu dilihat dari seluruh rangkaian kegiatan yang menunjukan terjadinya kejahatan baik di Unit Operasional Bank Century.
Hasil penelitian menunjukan bahwa peristiwa atau bentuk kejahatan di Unit Operasional Bank Century dan LPS selaku pelaksana kebijakan FPJP Bank Century, merupakan peristiwa atau bentuk kejahatan yang menghimpit atau bersinggungan satu sama lain. Menyebabkan pengambilan kebijakan FPJP Bank Century oleh otoritas berwenang, memiliki kandungan/sifat-sifat jahat (kriminogenik), sebagai kejahatan yang dilakukan oleh negara/kejahatan negara. Serta memisahkan satu sama lain dari peristiwa yang terjadi pada masing-masing Unit Operasional tersebut diatas mengakibatkan bentuk dan sifat kejahatan negara dalam pengambilan kebijakan FPJP Bank Century tidak terlihat secara sempurna/tidak kasat mata/tersamar karena peristiwa menyebar sesuai tugas pokok, fungsi dan kewenangan masing-masing.
Hal itulah yang menyebabkan pembuatan kebijakan pemberian FPJP kepada Bank Century terisolasi dari pandangan bahwa kebijakan yang salah dan merugikan adalah kejahatan. Untuk mencegah terulangnya perbuatan serupa, direkomendasikan perlu adanya mekanisme kontrol sosial yang melibatkan peran serta masyarakat yang lebih luas, misal optimalisasi peran DPR RI melalui pemberian izin prinsip sebelum kebijakan digulirkan.
Departemen Kriminologi FISIP UI mengadakan diskusi daring “Kriminolog Bicara-Seri 5” dengan tajuk “Privatisasi Lapas: Apakah Menyelesaikan Masalah?” yang dilaksanakan pada Kamis (21/05), diskusi ini akan dilakukan secara daring melalui aplikasi Zoom.
Sebagai pembicara dalam diskusi kali ini, antara lain: Dr. Leopold Sudaryono (Alumnus S3 Kriminologi FISIP UI, Konsultan pada Bappenas), Drs. Dindin Sudirman, Bc.IP, M.Si. (Mantan Sesdirjen Pemasyarakatan Kemenkumham, Alumnus S2 Kriminologi FISIP UI), Dr. Josias Simon Runturambi, M.Si. (Dosen Departemen Kriminologi FISIP UI dan Ketua Program Studi Ketahanan Nasional SKSG UI).
Menurut Josias privatisasi adalah tindakan mengurangi peran sektor public dan meningkatkan peran sektor public dan meningkatkan peran sektor swasta dalam aktivitas atau kepemilikan asset-aset organisasi. Perubahan peran pemerintah dari peran pengelola menjadi regulator, bebas dari benturan kepentingan. Manfaat privatisasi adalah pada investasi, sumber daya manusa dan bersaing. Daya Tarik privatisasi penjara berkembang pesat meski terjadi pro kontra.
“Pengertian privatisasi penjara adalah pemerintah mengkontrak perusahaan swasta untuk mengelola fasilitas pemidanaan melalui proses tender. Serta pemerintah memiliki daftar hak dasar yang wajib disediakan oleh kontraktor kepada penghuni penjara dan dari daftar hak dasar tersebut, ditentukan biaya pelayanan per-napi,” jelas Leopold.
Leopold menjelaskan “motivasi utama adalah untuk menghemat anggaran negara. Pemberian layanan oleh swasta dianggap lebih efisien dan mudah dikontrol dibandingkan pemberian layanan oleh instansi pemerintah. Misalnya penjara milik pemerintahan di West Australia, setiap harinya dihabiskan biaya $270 untuk setiap napi, sementara di penjara swasta Acacia, Perth biaya hanya abis $182 untuk setiap napi”.
“Kontrak penjara kepada operator swasta dapat menghemat uang negara. Di sisi lain adanya ke khawatiran bahwa hak dan perawatan narapidana akan dikompromikan. Artinya jaminan akan perlindungan terhadap narapidana, yang meliputi keamanan, kesejahteraan serta kesehatannya dapat di kalahkan oleh motif ekonomi. Kecenderungan inilah yang di khawatirkan akan terjadi manakala pengurusan narapidana diserahkan kepada swasta yang motivasinya adalah mencari keuntungan bagi dirinya sendiri bukan perlindungan kepada narapidana,” jelas Dindin.
Idealnya perusahaan swasta juga mempunyai kepedulian untuk ikut serta dalam memberi kesempatan agar narapidana dapat bekerja dan mendapat upah sesuai standar yang berlaku didaerah masing-masing. Contohnya hasil produksi narapidana ada yang sudah di ekspor ke berbagai negara melalui program e-commerce.
Kampus UI Depok Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Jl. Prof. Dr. Selo Soemardjan, Depok, Jawa Barat 16424 Indonesia
E-mail: fisip@ui.ac.id
Tel.: (+62-21) 7270 006
Fax.: (+62-21) 7872 820
Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 6, Universitas Indonesia
Jl. Salemba Raya 4, Jakarta 10430 Indonesia