Pilih Laman
KASI Menjadi Inti Kebijakan Luar Negeri Republik Korea

KASI Menjadi Inti Kebijakan Luar Negeri Republik Korea

ASEAN Study Center, LPPSP (Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sosial dan Politik) FISIP UI dengan dukungan dari Mission of The Republic Korea untuk ASEAN mengadakan kuliah umum dengan mengangkat tema “The Republic of Korea’s Foreign Policy and ROK – ASEAN Relations”. Sebagai pembicara H.E. Kwon Hee Seog (Duta Besar Mission of The Republic Korea untuk ASEAN) dan di moderatori oleh Broto Wardoyo, Ph.D. (Dosen Jurusan Hubungan Internasional). Kegiatan ini dilaksanakan pada Rabu (7/12) di Ruang Sidang, lantai 9, Pusat Administrasi (Rektorat) Universitas Indonesia.

Kwon Hee menjabarkan beberapa poin besar yang dibahas dalam kuliah umum ini, diantaranya yaitu kerangka kebijakan luar negeri Republic Of Korea (ROK), tiga dimensi kebijakan luar negeri ROK, hubungan ROK-ASEAN dan inisiatif solidaritas KOREA-ASEAN atau Korea-ASEAN Solidarity Initiative (KASI).

Dalam kerangka kebijakan luar negeri ROK mempunyai misi nasional yaitu “Korea Leaping Again: A Nation of People Living Well Together” yang mencakupi pemerintah bekerja dengan baik, pertumbuhan yang dinamis dan inovatif, kesejahteraan yang produktif. Menurutnya Kwon Hee, ROK juga mempunyai tujuan nasional untuk mencapai visi tersebut, sesuatu yang harus dicari dan dilindungi.

Tiga dimensi kebijakan luar negeri ROK yang dikatakan oleh Kwon Hee adalah diplomasi dengan negara tetangga seperti Jepang, China dan lainnya, lalu diplomasi regional serta diplomasi global/multilateral yang membahas masalah-masalah yang sedang terjadi maupun masalah jangka panjang.

Kwon Hee mengatakan dalam hubungan antara ROK dengan ASEAN, ROK memandang penting ASEAN. Konsep utama dalam hubungan ini yaitu setralitas ASEAN dan persatuan yang tujuannya untuk ASEAN yang lebih terintegrasi.

Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa KASI menjadi inti dari kebijakan luar negeri untuk mempromosikan Indo-Pasifik yang bebas, damai, dan sejahtera di tengah persaingan Amerika Serikat dan Republik Rakyat China.

Selain itu, kerja sama dan peningkatan perjanjian perdagangan bebas antara Korea Selatan dan ASEAN, serta penanganan perubahan iklim dan lingkungan. Peningkatan hubungan antara Korea Selatan dan ASEAN ke hubungan kemitraan strategis dan komprehensif dalam rangka menyambut 35 tahun jalinan hubungan diplomatik antara keduanya pada tahun 2024 mendatang.

Prioritas dari KASI ini ialah (1) mempromosikan tatanan internasional berbasis aturan dan kerja sama strategis dalam diplomasi dan pertahanan negara; (2) kemakmuran dan pengembangan bersama rantai pasokan global, keamanan energi, transformasi digital dan kendaraan elektronik; (3) kolaborasi dalam merespon bersama tantangan regional dan global seperti netralitas karbon dan pertumbuhan hijau, kerja sama pertanian dan perikanan, kesehatan masyarakat; (4) menggandakan kontribusi finansial.

Kuliah umum ini dilaksanakan secara hybrid dan diikuti oleh mahasiswa Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI, diakhir acara dilakukan sesi tanya jawab antar mahasiswa kepada H.E. Kwon Hee Seog dan sebaliknya.

Kerjasama LPPSP dengan Pemerintah Kota Palangka Raya Guna Mendukung Percepatan Pembangunan Daerah

Kerjasama LPPSP dengan Pemerintah Kota Palangka Raya Guna Mendukung Percepatan Pembangunan Daerah

Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sosial dan Politik Universitas Indonesia dilibatkan oleh Pemerintah Kota Palangka Raya, Provinsi Kalimantan Tengah dalam rangka meningkatkan penelitian potensi daerah. Nantinya, hasil penelitian yang dilakukan tim LPPSP di Kota Palangka Raya pada sektor tertentu akan dijadikan bahan rekomendasi dan masukan perumusan kebijakan pemerintah. Dengan begitu, akan berimbas pada peningkatan pembangunan, peningkatan kualitas sumber daya manusia yang muaranya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kerjasama dengan berbagai pihak sangat diperlukan guna mendukung percepatan pembangunan daerah. Pandangan dari luar yang didasarkan kajian mendalam akan lebih objektif dalam melihat dan menyimpulkan kondisi suatu daerah. “Keadaan itu juga meminimalkan potensi intervensi dan biasnya proses hingga hasil penelitian yang dilakukan,” kata Wali Kota Palangka Raya, Fairid Naparin.

Fairid mengatakan, selain bidang penelitian, kerja sama Palangka Raya dengan UI juga untuk meningkatkan dan memperluas sesuai perkembangan kondisi dan kebutuhan di lapangan.

“‘Kesepakatan ini juga mendukung implementasi visi dan misi pembangunan Kota Palangka Raya yang berkelanjutan dan menyeluruh dalam berbagai bidang”

Sementara itu, Dekan FISIP Ul, Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto mengapresiasi kerjasama antara kedua belah pihak, “kami semaksimal mungkin akan memanfaatkan keilmuan untuk membantu Pemerintah Kota Palangka Raya dalam menganalisa permasalahan yang terjadi serta merumuskan solusi dalam percepatan pembangunan, salah satunya seperti program pemetaan sosial dan kebutuhan warga terdampak bencana, misalnya terkait masyarakat terdampak banjir ” katanya.

Turut hadir pada acara penandatangan kerja sama itu seperti Kepala Bappeda, Kepala Bagian Protokol dan Komunikasi Pimpinan, Kepala Bagian Pemerintahan, Ketua Research Cluster Urban Social Development Toward inclusive Society, Ketua Laboratorium Sosio FISIP UI dan Ketua Departemen Sosioloqi FISIP UI dan Ketua LPPSP Ul. Penandatangan kerjasama tersebut dilaksanakan di Auditorium Departemen Komunikasi FISIP UI pada Senin (13/06).

Disunting dari: https://kalteng.antaranews.com/berita/568945/pemkot-palangka-raya-libatkan-ui-tingkatkan-penelitian-potensi-daerah

Memberikan Ruang Pada Tradisi, Budaya dan Peranan Masyarakat Adat Dalam Kurikulum Pembelajaran

Memberikan Ruang Pada Tradisi, Budaya dan Peranan Masyarakat Adat Dalam Kurikulum Pembelajaran

Papua Center sendiri merupakan pusat kajian di FISIP UI yang merupakan bagian dari LPPSP, yang mempunyai komitmen penting menjadi katalisator dari pembangunan di wilayah Papua. Dalam webinar kali ini menyoroti tentang bidang pendidikan yang perlu mempertimbangkan kearifan lokal. pembangunan di satu wilayah baik fisik maupun sosial perlu mempertimbangkan identitas yang dimiliki oleh wilayah tersebut, identitas adalah kekuatan yang bila di gali dan dipahami sesuai dengan perspektif dan perkembangan jaman.

Papua center didirikan dengan visi menjadi jembatan akademik dan budaya bagi kemajuan masyarakat Papua. Ketika berdirinya Papua Center ini sangat didukung oleh Universitas Cendrawasih yang bekerjasama dengan FISIP UI. Dalam sebuah pembangunan bangsa aspek Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi hal yang utama dan berharap memiliki SDM yang unggul. Tentunya SDM yang unggul ini didukung oleh sistem pendidikan. Dalam konteks Papua, adanya kebutuhan yang khusus tidak bisa disama ratakan dalam hal pendidikan.

Sampai saat ini, Indonesia masih terus mencari bentuk sistem untuk terus maju di bidang pendidikan. Dengan kekuatan keberagamannya itulah Indonesia terbentuk dan menjadi ciri khas mayarakat Indonesia. Maka, perspektif indigenous menjadi hal yang perlu ditegaskan kembali. Mengingat bahwa, budaya menjadi kekuatan masyarakat Indonesia yang sebaiknya dapat dipadukan dengan sistem pendidikan nasional. Ini menjadi bahan refleksi kembali dalam rangka Perayaan Hari Pendidikan dan Memperingati 10 Tahun Beridirinya Papua Center (PACE).

Papua Center (PACE) LPSP FISIP Ul mengadakan talkshow bertemakan “Menegaskan Kembali Perspektif Indigenous dalam Sistem Pendidikan Nasional” yang dilaksanakan pada Selasa (24/05). Sebagai pembicara, Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto (Dekan FISIP UI dan peneliti Papua Center LPPSP FISIP UI), Dr. Heri Yogaswara (Badan Riset dan Inovasi Nasional), DR. Gerdha K. I. Numbery, S.Sos., M.Hum (Ketua Program Studi Antropologi FISIP Universitas Cendrawasih) dan Albert Rumbekwan, S.Pd. M.Hum (Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah, FKIP Universitas Cendrawasih).

Beberapa tahun terakhir, pemerintah dengan berbagai kebijakannya dalam mengadopsi unsur-unsur atau nilai-nilai lokal yang beberapa tahun terakhir dimasukan kedalam kurikulum pendidikan yang berbasis kearifan lokal.

“Terkait dengan keberagaman etnis menjadi kondisi yang nyata dengan kehidupan masyarakat Papua. Keberagaman etnis yang banyak ini juga menjadi salah satu kendala, tetapi beberapa sekolah ada di beberapa sub-sub suku dan biasanya diantara sub-sub suku itu ingin kebudayaannya menjadi mata pelajaran, muatan lokal maupun bahan ajar. Di sisi lain ada beberapa pihak yang tidak menerima karena mereka lebih ingin untuk budaya mereka yang di prioritaskan dalam kurikulum,” ujar Gerdha.

Lebih lanjut Gerdha menambahkan, “tetapi beberapa sekolah ada di beberapa sub-sub suku dan biasanya diantara sub-sub suku itu ingin kebudayaannya menjadi mata pelajaran, muatan lokal maupun bahan ajar. Di sisi lain ada beberapa pihak yang tidak menerima karena mereka lebih ingin untuk budaya mereka yang di prioritaskan dalam kurikulum.”

Albert juga menambahkan bahwa ada banyak kendala dalam pendidikan di Papua, ada beberapa aspek dilihat dari segi fisik ada ketimpangan terkait dengan fasilitas yang ada di kota maupun di kampung yang ada di daerah-daerah. Ada aspek lainnya seperti ekonomi, situasi politik dan pemikiran-pemikiran kebijakan yang ada di Papua hari ini, sepertinya itu menjadi aspek utama dalam pembangunan manusia di Papua tetapi tidak menjadi prioritas.

“Ada perbedaan pendidikan dari masa ke masa. Menurut saya, kami berhadapan dengan produk yang belum jadi secara literasi pengetahuan, sehingga kami dosen-dosen maupun guru-guru berusaha keras untuk bisa masuk keruang budaya dan ruang pikir untuk bisa membangun, memberi semangat dan memotivasi anak-anak untuk mencapai tujuan pendidikan yang unggul dan bagus,” imbuh Albert.

Selain itu, Heri melihat perspektif indigenous, memberikan fokus pada penghargaan keragaman masyarakat dan budaya yang berkembang pada suatu negara, memberikan pengakuan, penghargaan dan upaya pemajuan terhadap keberadaan masyarakat adat serta memberikan ruang untuk berkembangnya berbagai sistem pendidikan melalui regulasi maupun kebijakan. Perspektif indigenous dalam pendidikan yaitu sistem pendidikan yang memberikan ruang pada tradisi, budaya dan peranan masyarakat adat dalam penyusunan kurikulum maupun teknik pembelajaran.

Sudah ada celah regulasi untuk sistem pendidikan Indonesia, dilihat dari Undang-Undang Republik Indonesia Pasal 4 yaitu pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Kemudian Undang-Undang Republik Indonesia Pasal 32 No 2 mengenai pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus, yaitu pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.

“Di Indonesia sudah ada beberapa sekolah adat, dari data yang saya dapat terdapat 105 sekolah adat yang tersebar di seluruh Indonesia, salah satunya Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rimbawan Muda Indonesia (RMI) dan Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Indonesia,” ujar Heri.

Dalam pemaparannya Dekan FISIP UI, Prof. Semiarto mengatakan bahwa masyarakat dan kebudayaan Papua mempunyai diversitas tinggi dan perbedaan struktur sosial, sistem politik dan orientasi nilai. Pendidikan di Papua juga mempunyai kesenjangan fasilitas dan kesenjangan output.

“Salah satunya dengan alternatif pendidikan berbasis komunitas. Literasi dan transliterasi, indigenisation of western education bisa menggunakan bahasa setempat, memberikan konteks lokal untuk materi sains, mencarikan relevansi teori barat pada konteks lokal, menggunakan etnosains untuk mentransform local knowledge menjadi bagian science,” ujar Prof. Semiarto.

Pendidikan adalah upaya mentransformasi masyarakat. Perlu adanya lembaga pendidikan tinggi khusus, inisiatif mendirikan indigenous university yang mempunyai kurikulum sains dan lokal, seperti  First Nation University of Canada dan Australian Institute of Aboriginal and Torres Strait Islander Studies. Papua adalah entitas sosial budaya yang beragam jadi strategi pendidikan nya harus inklusif, afirmatif dan berbasis pengetahuan lokal.

Dr. Irwan Hidayana: Problematika Gender dan Seksualitas di Indonesia Semakin Kompleks dan Menantang

Dr. Irwan Hidayana: Problematika Gender dan Seksualitas di Indonesia Semakin Kompleks dan Menantang

Unit Kajian Gender dan Seksualitas Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sosial Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (LPPSP FISIP UI) mengadakan acara peluncuran buku yang berjudul “Dinamika Gender dan Seksualitas Kontemporer: Sebuah Antologi” pada Kamis (31/03). Buku yang berisikan hasil penelitian dengan tema gender dan seksualitas khususnya yang menangkap keragaman identitas dan ekspresi gender, relasi kuasa antara teknologi informasi dengan praktik-praktik seksualitas di Indonesia belum banyak dipublikasikan secara luas.

“Buku ini berangkat dari isu gender dan seksualitas di Indonesia. Problematika gender dan seksualitas yang terjadi di Indonesia semakin kompleks dan menantang. Di satu sisi seksualitas masih dipandang tabu untuk dibicarakan secara terbuka, di sisi lain sejumlah isu seksualitas hangat diperdebatkan di ranah public,” ujar Irwan

Lebih lanjut ketua Departemen Antropologi FISIP UI menjelaskan, dinamika gender dan seksualitas yang sedang hangat dan menjadi pertarungan wacana adalah isu kekerasan seksual. Sejak beberapa tahun terakhir, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang diajukan oleh pemerintah ke DPR pada tahun 2016 mengalami pasang surut dalam proses pembahasannya. “Lagi-lagi, perdebatan atas substansi RUU ini menunjukkan polarisasi antara kelompok yang mengusung moralitas dan agama dengan kelompok yang berperspektif HAM dan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual. Urgensi dari penghapusan kekerasan seksual juga dirasakan dunia pendidikan karena maraknya kasus-kasus yang diangkat oleh media sosial.”

Buku ini merupakan publikasi yang berupaya merangkum tulisan-tulisan para peneliti di bidang gender dan seksualitas di Indonesia, yaitu Irwan Martua Hidayana, Gabriella Devi Benedicta, Diana Teresa Pakasi, Restasya Bonita, Supozwa Begawan Asmara Lanank, Putri Rahmadhani, Reni Kartikawati, Sabina Puspita dan Ni Nyoman Sri Natih Sudhiastiningsih. Perubahan nilai, pemaknaan dan praktik seksualitas yang sangat cepat terjadi di Indonesia membutuhkan pembaruan teoretisasi dan konseptualisasi serta metodologi penelitian gender dan seksualitas di Indonesia.

Bagian pertama pada buku ini mengenai Seksualitas dan Media Digital, tulisan pertama oleh Retasya Bonita mengungkapkan bahwa konsumsi pornografi di internet pada dasarnya merupakan arena dominasi seksual laki-laki dan kekerasan seksual terhadap perempuan. Selanjutanya pada bagian pertama, Supozwa Begawan Asmara Lanank mengeksplorasi platform digital yang khusus untuk komunitas homoseksual yaitu Grindr. Aplikasi Grindr memberikan kemudahan bagi laki-laki gay untuk mencari pasangan seksual sesuai dengan keinginan dan hasratnya. Penulis memfokuskan pada pemaknaan posisi seks top, vers, dan bot dan bagaimana pemaknaan tersebut membentuk relasi di antara laki-laki homoseksual.

Bagian kedua buku ini adalah Hasrat dan Kenikmatan Seksual yang masih sedikit dibahas dalam kajian seksualitas di Indonesia. Tulisan Gabriella Devi Benedicta memfokuskan pada bagaimana hasrat dan keintiman seksual terbentuk pada kehidupan biarawati yang selibat. Selanjutnya dari Irwan Martua Hidayana membahas tentang makna seksual dan kenikmatan seksual pada pasangan heteroseksual di Jepara, Jawa Tengah. Terdapat perbedaan dalam pengalaman kenikmatan seksual antara laki-laki dan perempuan. Kenikmatan dan kepuasan seksual lebih sering dialami oleh laki-laki dibandingkan dengan pasangan perempuannya. Konstruksi budaya Jawa sering membuat perempuan sulit mengekspresikan keinginan mereka secara seksual. Sementara, laki-laki memaknai seks sebagai kebutuhan biologis dan kenikmatan yang dicapai melalui orgasme. Kemudian tulisan Diana Teresa Pakasi mengulas konstruksi maskulinitas melalui praktik pembesaran penis pada kelompok pemuda di Jayapura, Papua.

Sub tema pada bagian ketiga adalah Marjinalisasi Perempuan yang dibahas dalam dua tulisan. Tulisan Putri Rahmadhani memperlihatkan tentang pesepak bola putri yang berjuang untuk diakui keberadaannya dalam organisasi sepak bola yang dominan maskulin dan hierarkis. Kemudian tulisan Reni Kartikawati menyoroti isu global perkawinan anak dengan kasus adat merariq di Lombok, Nusa Tenggara Barat dari perspektif kriminologi. Merariq merupakan tradisi perkawinan usia anak, khususnya anak perempuan, yang sedang mengalami perubahan makna dan praktik karena terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat Sasak dalam beberapa dasawarsa terakhir.

Berikutnya, bagian keempat dari buku ini adalah Negara dan Seksualitas bagian ini menyajikan sebuah tulisan dari Sabina Puspita yang mendiskusikan tentang politik pengaturan seksualitas di Indonesia, bagaimana negara melalui kebijakan-kebijakannya mengatur seksualitas perempuan dan menunjukkan ideologi gendernya. Tulisan ini mengungkapkan bahwa orientasi negara terhadap seksualitas yang prokreasi-sentris menunjukkan keajegan dari rezim ke rezim dan dilegalisasi pada masa peralihan dari rezim otoriter ke rezim demokratis pada tahun 2000.

Bagian kelima yaitu Refleksi Praktik Penelitian, Bagian terakhir buku ini mengangkat refleksi dari pengalaman beberapa penelitian mengenai isu gender dan seksualitas. Dengan menganalisis dan menginterogasi pengalaman penelitian akan membantu memahami tentang metodologi yang digunakan. Riset kualitatif sering kali membuat peneliti berhadapan dengan kompleksitas realitas sosial dan proses penelitian itu sendiri. Persoalan membangun relasi dengan partisipan penelitian, positionality, kekawatiran, dan keraguan diri adalah beberapa hal yang muncul dalam penelitian.

Tulisan terakhir dari Ni Nyoman Sri Natih Sudhiastiningsih membahas tentang salah satu teknik dalam pendekatan etnografi dengan visual photovoice sebagai elemen penting dalam menganalisis, memahami dan mengkritisi makna dari sebuah fenomena yang terjadi. Photovoice sering digunakan dalam penelitian partisipatif, khususnya berbasis komunitas. Teknik photovoice membantu analisis kebutuhan komunitas atau kelompok masyarakat dalam perancangan program pemberdayaan secara lebih kontekstual.

“Melalui bab-bab dalam buku ini, tampak nyata keragaman dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam pemaknaan dan praktik seksualitas di Indonesia. Realitas ragam nilai dan praktik seksualitas tidaklah setara dalam masyarakat kita. Seksualitas senantiasa menjadi arena pertarungan identitas dan moralitas bangsa, masyarakat memberikan label terhadap praktik dan identitas seksual yang baik, sehat, bermoral dan sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa dengan seksualitas yang dianggap menyimpang, amoral dan membahayakan budaya dan generasi penerus bangsa,” ujar Diana Pakasi.

Menurut Diana, “Hal lain yang menjadi refleksi dari buku ini adalah realitas bahwa seksualitas meskipun sangat kontekstual, namun sangat terhubung, terutama dengan kemajuan teknologi informasi. Kekuatan sosial yang bekerja, yang mengontrol tetapi juga memampukan individu, tidak hanya proses modernisasi di tingkat lokal, tetapi juga globalisasi yang dibawa terutama oleh internet. Keterhubungan ini misalnya termanifestasi melalui beragam platform media sosial, aplikasi untuk kencan, forum di internet yang membentuk sosialitas (sociality) di mana seksualitas secara spesifik diekspresikan dan dipraktikkan.”

Penelitian mengenai gender dan seksualitas dalam buku ini diharapkan membuka mata mengenai keragaman gender dan seksualitas serta kerentanan, marginalisasi dan eksklusi yang khususnya dihadapi oleh minoritas gender dan seksual di Indonesia. Buku ini juga diharapkan dapat berkontribusi dalam upaya transformasi masyarakat kita yang lebih setara dan adil gender.

Perlunya Riset Mendalam Terkait Penerapan Kewarganegaraan Ganda

Perlunya Riset Mendalam Terkait Penerapan Kewarganegaraan Ganda

Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sosial dan Politik (LPPSP) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik  Universitas Indonesia bersama dengan Aliansi Pelangi Antar Bangsa (APAB) mengadakan Webinar Series Kewarganegaraan Ganda Sesi 1 dengan judul “Kewarganegaraan Ganda dan Hak Asasi Keluarga Perkawinan Campuran, dan Urgensi Perubahan UU No.12/2006 Tentang Kewarganegaraan” yang akan diselenggarakan pada Sabtu (15/01) via Zoom.

Sebagai pembicara pada Webinar ini adalah Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., M.H (Guru Besar FHUI), Drs. Ahmad Taufan Damanik, M.A, (Ketua Komnas HAM), Diah Pitaloka, S.Sos., M.Si(Ketua Kaukus Perempuan Parlemen RI). Harapan dan visi dari webinar ini adalah pengakuan atas keluarga perkawinan campuran sebagai subjek hukum yang dilindungi oleh semua peraturan perundang-undangan sehingga tercipta keadilan.

“Baiknya pemerintah mengadakan riset yang menyeluruh mengenai norma hukum yang berlaku sekarang ini supaya kita tahu solusi apa yang efektif yang harus dikerjakan. Bukan hanya diskusi saja tetapi juga dengan data, me-riset norma hukum yang ada kemudian riset perbandingan negara yang menggunakan policy dwikenegaraan dan yang tidak serta plus dan minusnya dijaman sekarang ini.” Jelas Prof. Jimly.

Selain itu Prof Jimly mengatakan, LPPSP dan APAB  untuk membuat riset tentang untung-rugi, plus-minus dari segi bilateral. Riset global perbandingan antara negara yang menerapkan dwikenegaraan dan yang tidak, lalu riset bilateral.

“Menurut saya, dwikenegaraan itu sesuatu yang tidak terhindarkan di masa depan kalau kita mau terbuka dan mau membaca dinamika hubungan antara negara. Dwikenegaraan itu ada keuntungannya dari segi ekonomi tetapi dengan catatan pendekatannya jangan multilateral tapi dengan bilateral. Jadi putuskan dulu undang-undangan bahwa status dwikenegaraan itu bisa dan boleh untuk memastikan tidak ada manusia yang tidak mempunyai kewarganegaraan tapi untuk implementasinya itu dibiarkan wilayah eksekutif diatur oleh bilateral dan ada perjanjian bilateral, misalnya Amerika dengan Indonesia.” Jelas Prof. Jimly

Menurut Taufan Damik sebagai Ketua Komnas HAM, seiring dengan perjalanan sistem hukum di dunia tentang hak asasi manusia maka secara perlahan-lahan ada perubahan, kewarganeraan merupakan hak asasi manusia, bagaimana negara menghormati dan melindungi hak seseorang

Lebih lanjut, ia mengatakan “dalam perkembangan kajian hak asasi manusia, konsepsi tentang kepemilikan kewarganegaraan berkembang dari awalnya beranjak dari prinsip kesetiaan terhadap negara dan doktrin kesetiaan abadi dan kewajiban rakyat kepada negara. Akan tetapi, adanya perkembangan zaman, sebagian besar negara, utamanya negara-negara maju mulai beranjak menganut asas kewarganegaraan ganda, dimana negara memiliki kewajiban memenuhi hak tiap-tiap orang (state obligation) serta prinsip kebebasan/kemerdekaan individu.”

“Salah satunya asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang kewarganegaraan. Seperti di Indonesia, undang-undangan UU No.12 tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan, yang mengatakan anak-anak perkawinan campur sampai usia 18 tahun masih memiliki dua kewarganegaraan, sedangkan orangtua nya harus memilih salah satu kewarganegaraan.” Jelas Taufan Damanik.

Berkenaan dengan hal tersebut, merujuk UU Kewarganegaraan yang saat ini ada di Indonesia, dikenal penerapan asas kewarganegaraan ganda terbatas. Hal in dapat terlihat pada rumusan Pasal 6 UU Kewarganegaraan.

Dalam pandangan anggota DPR, Diah Pitaloka menjelaskan, “dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional) DPR 2020-2024, UU no 26 ini menjadi salah satu agenda Prolegnas tapi belum menjadi Prolegnas prioritas yang dibahas dalam kerangka tahunan. Saya pribadi sebagai anggota DPR ingin memperdalam persoalan-persoalan atau usulan atas perubahan undang-undang kewarganegaraan.”

“Interaksi antara konsekuensi kewarganegaraan atau hak warga yang diperoleh seseorang sebagai bentuk konseksuensi, seperti hak waris menyangkut hak atas aset kepemilikan tanah yang hanya bisa dimiliki oleh warga negara Indonesia dan tidak bisa diwariskan kepada anak atau pasangan yang berbeda negara.” Tutup Diah Pitaloka.