Pilih Laman
European Union Strengthens Collaboration with University of Indonesia

European Union Strengthens Collaboration with University of Indonesia

The European Union (EU), in collaboration with the Faculty of Social and Political Sciences of the University of Indonesia (FISIP UI), held a public lecture today (26/2). Titled “The EU Strategy in Coping with Multidimensional Impacts and Challenges of the COVID-19 Pandemic”, the public lecture was delivered by the EU Ambassador to Indonesia, H.E. Mr Vincent Piket. The virtual talk gathered lecturers and hundreds of students, and was attended by University of Indonesia Rector Prof. Ari Kuncoro, S.E., M.A., Ph.D, as well as the Dean of FISIP UI Dr Arie Setiabudi Soesilo, M.Sc.

The Dean of FISIP UI give the opening remark, “The EU Strategy in Coping with Multidimensional Impacts and Challenges of the COVID-19 Pandemic is a very relevant topic these days as we have been experienced the pandemic Covid-19, changing our our lives in more than one year. The intensity of the impact and the magnitude of the intensity of pandemic is beyond our imagination. In this context of faculty of social and political sciences, in this public lecture Indonesian people can learn and take important lessons from the experience of the European union in copying with the impact and challenges of this pandemic to build stronger social relations and also more effective and stronger governance. I hope this public lecture can be a good beginning for future productive coorperation between University of Indonesia and the European Union Delegated.”

“Ensuring quality education and investing in youth have been strong factors which connect Indonesia and the EU. For decades, the EU has supported Indonesian scholars, students and universities through scholarships and university collaboration under the Erasmus plus programme,” said EU Ambassador to Indonesia Vincent Piket. “Therefore, capacity development through various forms of cooperation must be continuously enhanced,” Ambassador Piket added.  

The EU is also highly emphasising cooperation in research. “Research and innovation are increasingly global initiatives that require cooperation between multiple partners to offer solutions to global challenges that do not recognise national borders, including the COVID-19 pandemic. Since the onset of the COVID-19 pandemic, the EU has been active in support of collaboration in research and innovation within the EU and worldwide, including with researchers in ASEAN. Until January 2021, the EU has invested over EUR 780 million through Horizon 2020, for research and innovation programmes specifically targeting the pandemic,” said Ambassador Piket.

The EU is also a strong supporter of the COVAX Facility, the global initiative that engages 90% of the world’s population and aims to ensure fair and equitable access to COVID-19 vaccines for all.  “Through Team Europe, the EU and its Member States are providing approximately half of the funding of the COVAX Facility with EUR 2.2 billion. This funding will bring us closer to achieving COVAX’s target to deliver 1.3 billion doses of vaccines to 92 low- and middle-income countries by the end of 2021, including Indonesia. For the first batch of the vaccines which will be distributed by the COVAX facility in Q1 and Q2 of 2021, Indonesia is expected to receive more than 13 million vaccines,” added Ambassador Piket.

This public lecture is part of the EU Ambassadorial Talk series, aimed to address topical issues and increase understanding of EU views, policies and priorities. The series of lectures will continue throughout the year, involving various universities across Indonesia.

Kuliah Umum Duta Besar Jerman

Departemen Ilmu Politik FISIP UI menggelar kuliah umum di Auditorium Komunikasi FISIP UI (27/11). Duta Besar Jerman untuk Indonesia, Dr. Peter Schoof memberikan kuliah umum tentang kebijakan dalam dan luar negeri Jerman serta bagaimana implikasinya di Indonesia.

Dalam kesempatan ini Peter Schoof menerangkan sejarah yang melatarbelakangi kebijakan dalam dan luar negeri Jerman dengan fokus pada hubungan bilateral Indonesia-Jerman dan ekonomi Jerman. Kedatangan Duta Besar disambut oleh Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) UI, Dr. Arie Setiabudi Soesilo, M.Sc.

Schoof mengatakan “banyak orang yang tidak memahami Jerman sekarang tanpa mengetahui sejarah Jerman di masa lalu. Dua perang dunia, pertama dan kedua dipicu oleh negara saya, Jerman. Perang dunia menyebabkan lima puluh juta orang eropa dan yahudi meninggal dunia. Tetapi hal yang penting dari perang dunia adalah kita mendapatkan kebebasan”.

Proses demokratisasi terjadi setelah masa Kekaisaran Jerman, hingga keruntuhan Rezim Jerman Nazi pasca perang dunia kedua yang mendorong terpecahnya Jerman menjadi dua negara, Jerman Barat dan Jerman Timur.

Proses demokratisasi di Jerman Barat menjadi salah satu langkah penting bagi pertumbuhan dan pembentukan kembali identitas politik Negara Jerman sebagai sebuah negara yang demokratis saat ini, sekaligus tantangan dalam menghadapi pengaruh komunisme yang menguasai Jerman Timur selama Perang Dingin.

Sektor ekonomi Jerman mempunyai pasar sosial dengan tenaga kerja berkemampuan serta tingkat inovasi tinggi. Jerman adalah negara dengan ekonomi terbesar dan terkuat di Eropa, PDB terbesar keempat dunia, pendapatan nasional bruto terbesar kelima dunia dan kontributor terbesar ke Uni Eropa tahun 2011. Sektor jasa berkontribusi terhadap 71% total PDB, industri 28% dan pertanian 1%.

Schoof juga mengatakan masyarakat Indonesia dan juga generasi muda Indonesia harus meneruskan warisan dari mendiang B.J Habibie yang sudah banyak dilakukannya dalam bidang teknologi dan transportasi penerbangan serta aerodinamis. Schoof juga mengharapkan nantinya banyak generasi muda Indonesia yang mau giat belajar untuk bisa memajukan bangsa Indonesia.

Özlem Sara Cekic: Secangkir Kopi untuk Empati

Özlem Sara Cekic: Secangkir Kopi untuk Empati

Kuliah tamu yang digelar oleh Hubungan Internasional FISIP UI ini menghadirkan  Özlem Sara Cekic yang merupakan anggota Parlemen Denmark periode 2007-2015. Dilahirkan di Turki dari orang tua Kurdi, Özlem Sara Cekic dan keluarganya menetap di Denmark pada 1980. Pada 2007, ia menjadi wanita pertama dengan latar belakang imigran Muslim yang terpilih menjadi anggota Parlemen Denmark.

Saat ini Özlem adalah seorang pembicara, penulis, dan aktivis sosial. Proyeknya #dialoguecoffee berupaya memicu percakapan antara orang-orang yang memiliki kepercayaan yang berbeda untuk memahami prasangka yang tidak baik.

Setelah terpilih menjadi anggota parlemen Denmark, Özlem Cekic mulai menerima surat-surat kebencian. Untuk mengatasinya, dia melakukan hal yang tidak terduga, dia bertemu dengan para pembencinya secara langsung.

Inti dari konsep ‘Dialogue Coffee’ adalah “berbicara satu sama lain sehingga kita dapat membangun pengertian antara satu sama lain. Di Denmark, ada ruang bagi semua orang dan kebebasan untuk berbicara ” tambahnya.

Idenya pertama kali pada tahun 2010, ketika dia masih anggota parlemen. Sejak itu dia bertemu dengan orang-orang yang menyerangnya dalam komentar media sosial dan pesan pribadi, seringkali dengan bahasa yang sangat agresif. Pada tahun 2017, di mana dia mengunjungi seorang pria yang mengirim surat kebencian kepadanya dan mendapat perhatian dunia setelah diliput oleh BBC.

Budaya berdialog dan percakapan antar-manusia menjadi salah satu aspek penting dari demokrasi. Namun Özlem mengatakan, “budaya itu kerap sulit untuk dilakukan. saat ini, banyak orang yang berpegang keras terhadap opini yang dipercayai dan tak memberi ruang untuk mempertimbangkan pandangan yang dianggap berseberangan. Akibatnya, tak banyak dialog yang terjadi antara opini-opini yang berbeda”.

“Kita hanya bergaul dengan orang-orang yang memiliki pemikiran yang sama dan tidak menghargai pemikiran orang lain. Kita tidak berusaha untuk berbicara dengan mereka yang memiliki pandangan berbeda. Itu dapat merusak demokrasi yang sehat” tambahnya.

Özlem percaya, percakapan adalah hal yang paling sulit dalam demokrasi dan juga yang paling penting. Percakapan dan dialog semacam itu tidak dilakukan untuk mengubah pola pikir seseorang tetapi untuk memahami dan menerima beragam sudut pandang orang lain.

“Jika anda ingin mencegah kebencian dan kekerasan, kita harus berbicara dengan sebanyak mungkin orang dan selama mungkin, sambil bersikap terbuka. Itu hanya bisa dicapai melalui debat, percakapan kritis dan berdialog yang tidak menjelek-jelekkan orang, ”katanya.

Dalam semangat toleransi dan empati, Özlem mendesak orang-orang untuk tetap berpikiran terbuka terhadap pandangan yang berlawanan, karena itu bisa menjadi senjata melawan ucapan kebencian dan kekerasan.

Keanekaragaman Genetika dan Budaya Manusia di Nusantara

Keanekaragaman Genetika dan Budaya Manusia di Nusantara

Apa itu Indonesia? Mengapa kita merasa sebagai orang Indonesia? adalah dua pertanyaan yang selalu relevan diperbincangkan. Jawaban atas dua pertanyaan itu terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Mengangkat tema “Keanekaragaman Genetika dan Budaya Manusia di Nusantara Sebagai Suatu Keniscayaan”, kuliah umum pengantar Antropologi ini diadakan di Auditorium Gedung M FISIP UI pada Selasa (08/10).

Sebagai pembicaranya adalah Prof. dr. Herawati Sudoyo. M.S., Ph.d yang aktif diberbagai organisasi lokal dan internasional, konsorsium, panel ilmiah tentang forensik DNA, genetika manusia dan jaringan biologi molekuler. Dia mengkhususkan diri pada mitokondria DNA sebagai penanda genetik yang kuat untuk studi populasi dan memiliki minat khusus pada informasi mendasar mengenai pembentukan mitokondria fungsional untuk memahami penyakit mitokondria.

Dalam penjelasannya, Prof. Herawati memaparkan dalam merekonstruksi sejarah hunian kepulauan Nusantara menggunakan pendekatan genetika yaitu perkiraan waktu, gambaran migrasi dan sejarah pembauran hingga relasi kawin dengan menganalisa data genetik DNA serta membandingkannya dengan data non-genetik seperti linguistik, etnografi, arkeologi dan sejarah.

“Kita mencoba untuk memperkenalkan apa yang kita lakukan kepada publik memalui tulisan media massa dan justru hal-hal seperti ini yang menyebabkan orang menyadari siapa orang Indonesia? Kapan dan dari mana datangnya leluhur kita? Kenapa begitu banyak etnis? Mengapa banyak perbedaan dan mengapa banyak persamaan? Jawabannya tedapat di DNA. Genom manusia, didalam DNA manusia membawa sejarah evolusi, tertulis didalam DNA sebagai informasi genetik dan narasinya penuh dengan kebenaran” jelas Herawati.

“Indonesia adalah negara yang menjembatani Asia dan Pasifik, merupakan tempat persilangan migrasi manusia dari Asia ke Australia dan itu yang penting, karena itu yang membentuk kita sekarang apa adanya. Bahwa orang di timur Indonesia lebih dekat dengan orang-orang di kawasan Samudera Pasifik, sedangkan di barat Indonesia, lebih dekat ke kawasan Asia Tenggara dan orang Nias dan Mentawai lebih dekat dengan suku asli Taiwan. Indonesia memiliki 719 bahasa daerah yang masih aktif tetapi seiring perkembangan jaman jumlah tersebut berkurang. Bahasa kepulauan Nusantara, sebagian besar termasuk dalam keluarga bahasa Austronesia. Mulai dari Timor dan Alor ke arah timur menggunakan bahasa Non-Austronesia. Serta ada sekitar 500 etnik di Indonesia. Temuan arkeologi menunjukan Indonesia sudah didiami oleh manusia modern sejak 50 ribu tahun lalu” tambahnya.

Pada akhirnya, pemahan tentang identitas keindonesian bisa menjadi pijakan untuk menentukan masa depan bangsa. Kesimpulan dari hasil ini adalah bawah bukti-bukti gentik, kebudayaan, hingga bahasa memang menunjukkan evolusi pembauran manusia Nusantara sejak ribuan tahun lalu dan kian intensif sejak pembentukan Indonesia sebagai negara berdaulat tahun 1945.