Papua Center sendiri merupakan pusat kajian di FISIP UI yang merupakan bagian dari LPPSP, yang mempunyai komitmen penting menjadi katalisator dari pembangunan di wilayah Papua. Dalam webinar kali ini menyoroti tentang bidang pendidikan yang perlu mempertimbangkan kearifan lokal. pembangunan di satu wilayah baik fisik maupun sosial perlu mempertimbangkan identitas yang dimiliki oleh wilayah tersebut, identitas adalah kekuatan yang bila di gali dan dipahami sesuai dengan perspektif dan perkembangan jaman.
Papua center didirikan dengan visi menjadi jembatan akademik dan budaya bagi kemajuan masyarakat Papua. Ketika berdirinya Papua Center ini sangat didukung oleh Universitas Cendrawasih yang bekerjasama dengan FISIP UI. Dalam sebuah pembangunan bangsa aspek Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi hal yang utama dan berharap memiliki SDM yang unggul. Tentunya SDM yang unggul ini didukung oleh sistem pendidikan. Dalam konteks Papua, adanya kebutuhan yang khusus tidak bisa disama ratakan dalam hal pendidikan.
Sampai saat ini, Indonesia masih terus mencari bentuk sistem untuk terus maju di bidang pendidikan. Dengan kekuatan keberagamannya itulah Indonesia terbentuk dan menjadi ciri khas mayarakat Indonesia. Maka, perspektif indigenous menjadi hal yang perlu ditegaskan kembali. Mengingat bahwa, budaya menjadi kekuatan masyarakat Indonesia yang sebaiknya dapat dipadukan dengan sistem pendidikan nasional. Ini menjadi bahan refleksi kembali dalam rangka Perayaan Hari Pendidikan dan Memperingati 10 Tahun Beridirinya Papua Center (PACE).
Papua Center (PACE) LPSP FISIP Ul mengadakan talkshow bertemakan “Menegaskan Kembali Perspektif Indigenous dalam Sistem Pendidikan Nasional” yang dilaksanakan pada Selasa (24/05). Sebagai pembicara, Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto (Dekan FISIP UI dan peneliti Papua Center LPPSP FISIP UI), Dr. Heri Yogaswara (Badan Riset dan Inovasi Nasional), DR. Gerdha K. I. Numbery, S.Sos., M.Hum (Ketua Program Studi Antropologi FISIP Universitas Cendrawasih) dan Albert Rumbekwan, S.Pd. M.Hum (Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah, FKIP Universitas Cendrawasih).
Beberapa tahun terakhir, pemerintah dengan berbagai kebijakannya dalam mengadopsi unsur-unsur atau nilai-nilai lokal yang beberapa tahun terakhir dimasukan kedalam kurikulum pendidikan yang berbasis kearifan lokal.
“Terkait dengan keberagaman etnis menjadi kondisi yang nyata dengan kehidupan masyarakat Papua. Keberagaman etnis yang banyak ini juga menjadi salah satu kendala, tetapi beberapa sekolah ada di beberapa sub-sub suku dan biasanya diantara sub-sub suku itu ingin kebudayaannya menjadi mata pelajaran, muatan lokal maupun bahan ajar. Di sisi lain ada beberapa pihak yang tidak menerima karena mereka lebih ingin untuk budaya mereka yang di prioritaskan dalam kurikulum,” ujar Gerdha.
Lebih lanjut Gerdha menambahkan, “tetapi beberapa sekolah ada di beberapa sub-sub suku dan biasanya diantara sub-sub suku itu ingin kebudayaannya menjadi mata pelajaran, muatan lokal maupun bahan ajar. Di sisi lain ada beberapa pihak yang tidak menerima karena mereka lebih ingin untuk budaya mereka yang di prioritaskan dalam kurikulum.”
Albert juga menambahkan bahwa ada banyak kendala dalam pendidikan di Papua, ada beberapa aspek dilihat dari segi fisik ada ketimpangan terkait dengan fasilitas yang ada di kota maupun di kampung yang ada di daerah-daerah. Ada aspek lainnya seperti ekonomi, situasi politik dan pemikiran-pemikiran kebijakan yang ada di Papua hari ini, sepertinya itu menjadi aspek utama dalam pembangunan manusia di Papua tetapi tidak menjadi prioritas.
“Ada perbedaan pendidikan dari masa ke masa. Menurut saya, kami berhadapan dengan produk yang belum jadi secara literasi pengetahuan, sehingga kami dosen-dosen maupun guru-guru berusaha keras untuk bisa masuk keruang budaya dan ruang pikir untuk bisa membangun, memberi semangat dan memotivasi anak-anak untuk mencapai tujuan pendidikan yang unggul dan bagus,” imbuh Albert.
Selain itu, Heri melihat perspektif indigenous, memberikan fokus pada penghargaan keragaman masyarakat dan budaya yang berkembang pada suatu negara, memberikan pengakuan, penghargaan dan upaya pemajuan terhadap keberadaan masyarakat adat serta memberikan ruang untuk berkembangnya berbagai sistem pendidikan melalui regulasi maupun kebijakan. Perspektif indigenous dalam pendidikan yaitu sistem pendidikan yang memberikan ruang pada tradisi, budaya dan peranan masyarakat adat dalam penyusunan kurikulum maupun teknik pembelajaran.
Sudah ada celah regulasi untuk sistem pendidikan Indonesia, dilihat dari Undang-Undang Republik Indonesia Pasal 4 yaitu pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Kemudian Undang-Undang Republik Indonesia Pasal 32 No 2 mengenai pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus, yaitu pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.
“Di Indonesia sudah ada beberapa sekolah adat, dari data yang saya dapat terdapat 105 sekolah adat yang tersebar di seluruh Indonesia, salah satunya Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rimbawan Muda Indonesia (RMI) dan Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Indonesia,” ujar Heri.
Dalam pemaparannya Dekan FISIP UI, Prof. Semiarto mengatakan bahwa masyarakat dan kebudayaan Papua mempunyai diversitas tinggi dan perbedaan struktur sosial, sistem politik dan orientasi nilai. Pendidikan di Papua juga mempunyai kesenjangan fasilitas dan kesenjangan output.
“Salah satunya dengan alternatif pendidikan berbasis komunitas. Literasi dan transliterasi, indigenisation of western education bisa menggunakan bahasa setempat, memberikan konteks lokal untuk materi sains, mencarikan relevansi teori barat pada konteks lokal, menggunakan etnosains untuk mentransform local knowledge menjadi bagian science,” ujar Prof. Semiarto.
Pendidikan adalah upaya mentransformasi masyarakat. Perlu adanya lembaga pendidikan tinggi khusus, inisiatif mendirikan indigenous university yang mempunyai kurikulum sains dan lokal, seperti First Nation University of Canada dan Australian Institute of Aboriginal and Torres Strait Islander Studies. Papua adalah entitas sosial budaya yang beragam jadi strategi pendidikan nya harus inklusif, afirmatif dan berbasis pengetahuan lokal.
Setiap peneliti dalam sebuah riset harus melalui proses pengumpulan data untuk kemudian diolah dan dianalisa. Prosedur tata cara dan langkah-langkah yang digunakan untuk memperoleh data dilakukan secara sistematis dengan menggunakan metode penelitian yang dipilih oleh peneliti namun dalam prosesnya peneliti seringkali mengalami berbagai kendala seperti keterbatasan akses terhadap narasumber, perbedaan waktu dan jarak dengan lokasi penelitian, keterbatasan dalam mendapatkan data skunder dan kendala lainnya.
Peneliti yang melakukan riset terkait kejahatan, kekerasan dan penyimpangan ataupun isu-isu sensitif memiliki tantangan tersendiri yaitu akses terhadap data sensitif yang cenderung rahasia sehingga informasi sulit digali lebih dalam. Sejalan dengan hal tersebut maka Departemen Kriminologi FISIP UI bekerjasama dengan Intitut Français Indonesia dan France Alumni Indonesia mengadakan webinar dengan topik Metode Etnografi dan Etnohistori dalam Penelitian Kejahatan di Indonesia pada Jumat (13/04).
Menghadirkan narasumber Eduardo Erlangga Drestanta (Peneliti Laboratoire Médiations Université Paris-Sorbonne) dan Gloria Truly Estrelita (Kandidat Doktor Centre Asie du Sud-Est EHESS/Co-Founder AlterSEA) yang akan berbagai pengalaman tentang penelitian etnografi dan etnohistori dalam penelitian kejahatan di indonesia.
Eduardo Erlangga Drestanta, yang saat ini sedang melakukan penelitian terkait etnik yang ada di Maluku yaitu etnis Alifuru yang berjudul Kebangkitan Adat – Konflik Etnis Pulau Seram Maluku, dalam penelitiannya Eduardo menggunakan metode etnografi untuk menjelaskan pemetaan. “Kebangitan adat menjadi fenomena pasca reformasi, kurang lebih tahun 2015 undang-undang desa adat di sahkan namun di Indonesia Timur tepatnya di Maluku malah terjadi banyak gesekan padahal permintaan kebangkitan adat menjadi salah satu yang dibutuhkan,” ujar Eduardo.
Lebih lanjut Eduardo mengatakan bahwa etnografi intinya adalah suatu deskripsi yang menggambarkan dan menjelaskan bagaimana kebudayaan suatu suku bangsa. Kualitatif bersifat subjektif, peneliti melakukan interaksi secara langsung terhadap onjek yang ditelitinya menggunakan kata-kata personal, prosesnya induktif dan desainnya dapat berkembang dan dinamis. Etnografi juga mempunyai beberapa bentuk dan jenis seperti etnografi klasik, etnografi sistematis, etnografi interpretive dan critical ethnography
“Ada Sembilan unsur wajib kerangka laporan penelitian etnografi seperti lokasi, lingkungan alam, demografi, asal mula sejarah subjek penelitian, Bahasa, sistem teknologi, sistem matapencarian atau ekonomi, sistem pengetahuan, organisasi sosial, kesenian, sistem kepercayaan atau religi. Dalam penelitian yang menggunakan etnografi yang pertama adalah identifikasi masalah dan sampel/fokus area penelitian, kedua pembuatan timeline, lalu pengumpulan data di lapangan, terakhir analisis dan laporan akhir,” jelas Eduardo.
Selain itu tentunya ada kelemahan dan keunggulan penelitian yang menggunakan metode etnografi ini seperti proses waktu lama, kurang berperan dalam penyelesaian masalah sosial secara cepat dan cenderung memotret dalam satu kurun waktu tertentu. Keunggulannya lebih dalam, tidak membosankan, holistic, fleksibilitas analisis.
Berbeda dengan Eduardo, Gloria Truly menggunakan metode etnografi dalam kajian pemenjaraan di Indonesia, “kita bisa paham debat agama dan politik di Indonesia melalui kehidupan di penjara. Metode etnografi ini sebagai metode lintas ilmu dan bukan hanya mengumpukan data tetapi juga terjun langsung kedalam sebuah komunitas tertentu unutk melakukan observasi. Ada hal yang menarik ketika melakukan penelitian dengan menggunakan metode etnografi yaitu ketika terjun langsung kedalam komunitas tertentu kita menanggalkan semua penghakiman agar tidak ada asumsi apapun”.
“Sumber untuk penelitian juga menggunakan kulitatif dengan wawancara secara langsung agar dapat mengeksplorasi hal-hal tersembunyi yang tidak ada di arsip, dokumen maupun tertulis. Dari pengalaman saya ada beberapa kesalahan yang saya lakukan seperti berusaha menjadi bagian dari komunitas padahal ternyata itu tidak diwajibkan, lalu saya sudah mengeneralisasi duluan padahal setiap orang mempunyai ceritanya masing-masing walaupun dikomunitas yang sama,” ungkap Gloria.
Selain itu, ia menambahkan bahwa metode penelitian etnografi ini mempunyai keterbatasan seperti sulit membedakan mana yang benar dan mana yang salah, terkadang juga tidak akurat, bias, tidak lengkap. Dilebih-lebihkan bahkan imajiner.
Meskipun mengalami penurunan aktivitas selama terjadinya pandemi Covid-19 pada 2020-2022, proyek Belt and Road Initiative (BRI) terus dikembangkan oleh China untuk meningkatkan konektivitas di Kawasan Indo-Pasifik yang di masa lalu pernah menjadi jalur sutra perdagangan China dengan negara-negara di kawasan tersebut.
Di inisiasi oleh presiden Xi Jinping pada tahun 2013, BRI melibatkan 70 negara di kawasan Asia, Eropa dan Afrika. Di Indonesia sendiri terdapat puluhan kerjasama yang ditandatangani oleh para pengusaha dari China dan Indonesia dalam rangka pembangunan konektivitas di dalam kerangka BRI.
Persoalannya adalah bahwa BRI memiliki beberapa implikasi geopolitik yang penting terhadap tatanan politik dan ekonomi regional maupun global. Inisiatif China mengembangkan jejaring kerjasama di dalam kerangka BRI ini.
Departemen Ilmu Politik FISIP UI mengadakan seminar tentang geopolitik yang berjudul “China Belt and Road, Connectivity for Shared Future”. Menghadirkan Malik Ayub Sumbal, Analis Geopolitik Senior sekaligus pendiri Caucasus Centre for Strategic and International Studies sebagai pembicara untuk menjelaskan mengenai Belt and Road Initiative pada Selasa (10/05) secara hybird di Auditorium Juwono Sudarsono.
Seminar geopolitik kali ini mendiskusikan tentang inisiatif tersebut dan implikasinya terhadap tata ekonomi dan politik global di tengah perubahan ekonomi dan politik yang sedang terjadi. Topik Ini sangat penting untuk dipahami, terutama bagi indonesia yang memiliki visi untuk meningkatkan peran internasionalnya di dalam menyongsong posisi baru Indonesia di masa depan sebagai salah satu negara dengan ekonomi terbesar di dunia.
Malik memiliki pandangan yang begitu positif terkait BRI yang diupayakan oleh Tiongkok. Menurutnya, BRI merupakan program yang mendorong pembangunan seluruh dunia. Utamanya, BRI mewadahi pembangunan infrastruktur dan memberdayakan masyarakat.
“Skema win-win yang ditawarkan dapat menjadi jawaban dari masalah yang dihasilkan dari hegemoni bangsa barat. Prinsip shared future atau masa depan bersama menunjukkan bahwa Tiongkok memiliki niatan untuk membangung masyarakat di seluruh dunia. Program tersebut juga dimaksudkan untuk melibatkan masyarakat dan membawa mereka ke arah yang lebih baik. Dalam hal ini, Tiongkok menjadi panutan karena berhasil membawa masyarakatnya dari negara miskin menjadi rising power,” jelas Malik.
Terkait hubungan antara bangsa timur dan barat, Malik berpendapat bahwa pendekatan yang digunakan oleh Tiongkok, yaitu shared future sama sekali berbeda dengan pendekatan okupasi yang digunakan dalam kolonialisme bangsa barat, “kolonialisme pada dasarnya berusaha mengambil milik orang lain untuk kepentingan sendiri, mengabaikan kepentingan orang lain. Ketegangan dunia masa kini menunjukkan bahwa bangsa barat khawatir akan apa yang dapat dicapai oleh Tiongkok,” ujar Malik.
Dalam penjelasannya, Malik berargumen bahwa upaya bangsa barat untuk menghentikan upaya Tiongkok bukan untuk mencegah Tiongkok mengambil keuntungan dari negara lain, melainkan untuk menghentikan pembangunan ekonomi dunia secara menyeluruh.
Bangsa barat tidak ingin negara-negara lain dapat mencapai tingkat kemakmuran yang sama dengan mereka. Hal tersebut juga berkaitan dengan standar ganda dan hipokrisi bangsa barat, mengenai bagaimana mereka mengecam penyerangan yang dilakukan oleh bangsa lain tetapi mengabaikan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh bangsa sendiri.
“Kini, bangsa barat sendiri semakin terpecah karena masing-masing memiliki kepentingannya sendiri. Hal tersebut, diiringi dengan hadirnya Tiongkok sebagai kekuatan baru, membentuk tatanan dunia multipolar,” tambah Malik.
Malik melihat hal tersebut sebagai hal yang positif, karena dunia multipolar berpotensi menghasilkan perdamaian dunia melalui hadirnya berbagai power corridors. Tatanan dunia yang harus dihindari adalah unipolar karena unipolar berarti bahwa satu negara memonopoli tatanan dunia.
Dalam sesi tanya jawab, Malik juga menjelaskan bahwa ‘debt trap’ atau ‘jebakan hutang’ yang seringkali dikaitkan dengan BRI merupakan wacana oleh bangsa barat untuk mencegah pembangunan dalam kerangka BRI. Tiongkok sendiri memiliki kebijakan non-intervensi, yang artinya Tiongkok tidak akan mencampuri urusan domestik negara lain.
Departemen Kriminologi FISIP UI menyelenggarakan Kuliah Umum mengenai Pemanfaatan Statistik bagi Kebijakan Sosial Politik yang akan disampaikan oleh Dr. Margo Yuwono, Kepala Badan Pusat Statistik pada Rabu (20/04).
Pemilihan tema, Pemanfaatan Statistik bagi Kebijakan Sosial Politik ini berangkat dari pemahaman bahwa suatu kebijakan yang berorientasi pada penganganan persoalan sosial dan politik tidak lagi berdasarkan pada ide dan intuisi semata dari pembuat dan pelaksana kebijakan, melainkan harus didukung dengan kerangka pikir yang dilandasi oleh teori keilmuan dan tentunya berdasarkan dengan data. Ketika membicarakan data maka data yang dapat diandalkan adalah yang didapatkan melalui proses dan prosedur pengumpulan data yang dapat di pertanggung jawabkan, beretika, dianalisis serta mumpuni.
Dalam konteks kebijakan publik yang berdimensi kebijakan sosial politik, data yang valid adalah syarat mutlak bagi satu kebijakan. Teori-teori dalam keilmuan sosial politik, akan semakin memiliki makna ketika ditopang oleh statistik yang solid, serta sebaliknya sata statistik akan bermakna dan berkontribusi pada peramalan masa depan apabila di analisis dengan teori yang tepat.
“Pada kesempatan ini perkenankan Departemen Kriminologi menyampaikan informasi, bahwa sejak satu tahun terakhir, Departemen Kriminologi secara aktif turut mendukung Direktorat Statistik Ketahanan Sosial Badan Pusat Statistik dalam menginisiasi lahirnya Satu Data Statistik Kriminal Indonesia atau yang disingkat SDSKI,” ujar Ni Made Martini (Ketua Departemen Kriminologi FISIP UI).
Lebih lanjut ia mengatakan, “gagasan SDSKI adalah contoh riil bagaimana kita dapat memaksimalkan statistik dalam upava mengatasi permasalahan dan tantangan kemasyarakatan, yang dalam hal ini adalah permasalahan kejahatan. Semoga dalam waktu segera, SDSKI dapat terealisasi sehingga stakeholder salam bidang penanggulangan kriminalisasi di Indonesia dapat merespon persoalan kejahatan secara strategis dan berdasarkan pada data. Disamping itu SDSKI juga dapat menjadi rujukan bagi civitas akademika di UI sebagai sumber data yang handal dari berbagai riset sosial politik yang akan dilakukan.”
Dalam sambutannya, Dekan FISIP UI, Dekan FISIP UI Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto, “saya sangat senang dengan inisiatif yang diambil oleh Departemen Kriminologi dalam menjalin kerjasama dengan BPS. Kerjasama ini merupakan jalinan yang strategis. Tentu saja sebagai lembaga keilmuan dan pendidikan, FISIP sangat membutuhkan data statistik dan dapat membaca data statistik yang baik dan mempergunakannya. Departemen Kriminologi FISIP UI sejak tahun 2021 sudah menjalin kerjasama dengan Direktorat Statistik Ketahanan Sosial, untuk mempersiapakan data statistik kriminal terintergrasi.”
Perguruan tinggi memiliki peran dan tanggung jawab yang vital dalam proses kebijakan namun saat ini terdapat jarak yang begitu jauh antara proses kebijakan dan politik dengan pengembangan keilmuan yang ada pada perguruan tinggi untuk itulah perguruan tinggi harus terus melakukan evaluasi untuk mengukur sejauh mana dampak kegiatan akademik yang dilakukan terhadap kualitas kebijakan publik. Suatu kebijakan yang berorientasi pada penanganan persoalan sosial dan politik tidak hanya harus berdasarkan suatu teori keilmuan yang valid namun juga harus ditopang oleh statistik yang reliabel.
Tata Kelola Badan Pusat Statistik (BPS) dalam menghasilkan statistik yang diatur juga dalam undang-undang statistik, salah satunya adalah Forum Masyarakat Statistik (FMS) bertugas untuk memberikan saran dan pertimbangan dibidang statistik kepada BPS.
Margo menjelaskan, “Satu Data Statistik Kriminal Indonesia (SDSKI) merupakan implementasi dari satu data Indonesia. SDSKI adalah jawaban dari kebutuhan data statistik criminal secara komperhensif dan berkesinambungan. Berbicara SDSKI ada dua isu, yaitu tata kelola data statistik kriminal yang perlu dibangun untuk mengatur penyelengaraan data yang dihasilkan oleh instansi pusat dan instansi daerah, lalu adanya cakupan yang komperhensif untuk memastikan cakupan data statistik kriminal sesuai dengan manual International Classification of Crime for Statistical Purpose (ICCS).”
Lebih lanjut ia mengatakan, bahwa kondisi saat ini pencatatan statistik kriminal di Indonesia, data yang ada belum mampu memenuhi kebutuhan nasional dan internasional, masih perlu dikembangkan untuk memenuhi indikator global, “Kemudian data yang dikumpulkan oleh produsen data statistik kriminal tidak saling terhubung berpotensi tumpeng tindih data dan berbedanya standar data dan kode referensi yang berbeda menjadi masalah konsistensi data. Itu terjadi karena Indonesia belum mengadopsi klasifikasi baku internasional terkait statistik criminal, yaitu International Classification of Crime for Statistical Purpose (ICCS) dan United Nations Statistical Commission (UNSC) sehingga konsep dan disagregasinya berbeda-beda.”
“Peran akademis atau universitas dalam SDSKI adalah 1) sebagai advisory group yang berperan dalam membantu identifikasi, diskusi kebutuhan data statistik kriminal, memberikan bantuan teknis (literatur dan dasar teoritis) terkait dengan statistik kriminal 2) sebagai pengguna SDSKI untuk bahan analisis dan intepretasi 3) penelitian ilmiah serta menjadi bagian dari forum data statistik kriminal sebagai controller dalam proses pembangunan SDSKI,” jelas Margo.
Webinar “FIRTUAL (Forum Literasi Hukum dan HAM Digital): ASEAN, HAM dan Kebebasan Berekspresi” yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Ditjen IKP Kominfo RI) bekerjasama dengan Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI pada Rabu (23/03). Webinar ini diselenggarakan dalam secara hybrid dan disiarkan secara langsung melalui Zoom dan channel Youtube Ditjen IKP Kominfo.
Kebebasan berekspresi telah menjadi hak fundamental di Indonesia sebagai negara hukum demokratis yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Perkembangan informasi membuat masyarakat lebih mempunyai banyak media untuk berkomunikasi, salah satunya adalah internet yang merupakan kebutuhan saat ini tentu ada efek positif dan negatif.
Kini dengan perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat, dunia maya menjadi semakin ramai. Hal ini menjadi tantangan baik di Indonesia maupun di seluruh negara anggota ASEAN. Webinar ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman peserta tentang hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat.
“Kegiatan ini menjadi sangat penting karena saat ini kita dalam proses transformasi digital yang menjadi isu besar saat ini yang diangkat dalam G20 yang dimana Indonesia menjadi presidensi. Transformasi digital ini membawa aspek dan implikasi di berbagai aspek kehidupan, baik aspek sosial, ekonomi, politik maupun hubungan antar negara,” ungkap Asra Virgianita, Ph.D (Ketua Departemen Ilmu Hubungan Internasional).
Asra menjelaskan dalam konteks hubungan antar negara, “adanya digital diplomasi yang tentunya membawa perubahan dan pembahasan baru dalam studi hubungan internasional tentang pemanfaatan digital dplomasi didalam konteks bernegara dan juga gerakan digital activism dengan penggunaan media sosial untuk menggerakan masyarakat dalam melakukan kampanye, sosialisasi dan advokasi melalu media sosial.”
Ia mengungkapkan bahwa dengan adanya transformasi digital ini, tentunya menghindari aspek-aspek negatif terutama terkait dengan konten negatif seperti ponografi, bullying, kekerasan seksual di ruang digital dan berbagai isu yang hadir diruang digital.
Standar internasional tentang kebebasan dan berekspresi didasarkan pada Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Pasal 29 UDHR. Di antara negara-negara ASEAN, Indonesia juga merupakan salah satu yang pertama atau pelopor dalam merumuskan undang-undang tentang kebebasan berekspresi dan khususnya dalam mengatur keamanan dunia maya atau cybercrime.
Kebebasan berekspresi berkaitan erat dengan ujaran kebencian, meskipun keduanya sangat berbeda. Ujaran kebencian adalah segala bentuk komunikasi verbal, tertulis atau perilaku yang menyerang seseorang atau kelompok atau menggunakan bahasa yang merendahkan atau diskriminatif ketika mengacu pada seseorang atau suatu kelompok berdasarkan agama, suku atau kebangsaan, asal usul, ras, warna kulit, keturunan, jenis kelamin atau faktor identitas lainnya.
Sedangkan ruang lingkup hak atas kebebasan berekspresi mencakup perlindungan terhadap ekspresi pendapat dan transmisi ide yang mungkin dianggap sangat menyinggung orang lain dan ini mungkin termasuk ekspresi yang bersifat diskriminatif dan cara penyebarannya.
Dwi Ardhanariswari, Ph.D atau yang disapa dengan Riris, Dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI, menjelaskan “ketika kita gelisah dalam penyelenggarakan freedom of expression, pasti dasarnya adalah karena kekecewaan karena ketidakpuasan atau ketidakpahaman. Freedom of expression di ASEAN sangat dipengaruhi oleh dinamika global, dinamika regional, dinamika nasional dan dinamika transnasional yang ditinjau sebagai norma global, norma yang datang dari luar ASEAN.”
Hak atas kebebasan berekspresi bukanlah hak mutlak dan negara dapat membatasi hak berdasarkan hukum hak asasi manusia internasional dalam keadaan luar biasa tertentu, “ada hal lain yang bisa dijadikan acuan standar kebebasan berekspresi, yaitu Part of Civil Liberties yang terdiri dari hak berserikat, hak berkumpul secara damai dan hak kebebasan berekspresi. Dengan ini dinyatakan bahwa kebebasan berekspresi adalah hak dasar kita,” jelas Riris.
Lebih lanjut Riris menjelaskan, “bahwa norma masyarakat pada konteks ASEAN salah satunya mengacu pada Asian values, yang diyakini oleh Asian values dalam freedom of expression adalah social culture dan economic rights. Tidak mengutamakan civil rights, sementara freedom of expression bagian dari civil rights.”
“Konteks negara adalah hal yang paling mempengaruhi dinamika penyelenggaraan freedom of expression di kawasan ASEAN. Freedom of expression bisa berbeda setiap negaranya tergantung tingkat demokrasinya. Pada akhirnya fasilitas dan hak-hak berekspresi di setiap kawasan ASEAN berbeda-beda, seperti contohnya di Myanmar kebebasan berbicara sangat dibatasi. Dinamika inilah yang menjadi representasi kebijakan negara terkait kebebasan berekspresi,” ungkap Riris.
“Karena itu kita harus bisa melihat kebebasan berekspresi tidak hanya sebagai hak tetapi juga sebagai tanggung jawab bagaimana kita menggunakan kebebasan berekspresi dengan keistimewaan yang kita miliki sebagai manusia, memiliki akses ke sumber informasi untuk memberdayakan orang-orang di sekitar kita dan meningkatkan kualitas hidup tidak hanya untuk kita tetapi juga untuk orang-orang di sekitar kita,” tutup Riris dalam sesi presentasinya.
Kampus UI Depok Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Jl. Prof. Dr. Selo Soemardjan, Depok, Jawa Barat 16424 Indonesia
E-mail: fisip@ui.ac.id
Tel.: (+62-21) 7270 006
Fax.: (+62-21) 7872 820
Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 6, Universitas Indonesia
Jl. Salemba Raya 4, Jakarta 10430 Indonesia