Melindungi Perempuan dengan Disabilitas dari Kekerasan (Studi Kasus Kekerasan terhadap Perempuan Tuli di Kabupaten Sleman Yogyakarta) menjadi judul Disertasi Bahrul Fuad pada Promosi Doktor Departemen Sosiologi pada Selasa (27/07).
Disertasi ini dilatarbelakangi oleh tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan dengan disabilitas di Yogyakarta. Selama 5 tahun terakhir Yayasan CIQAL (Center for Improving Qualified Activities in Life of People with Disabilities) Yogyakarta mencatat 144 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan disabilitas di Yogyakarta.
Sebagai individu, perempuan tuli mengalami perkembangan dan interaksi baik secara langsung maupun tidak langsung pada setiap ranah mulai dari keluarga, komunitas, budaya, dan sistem kebijakan. Interaksi individu pada masing – masing ranah tersebut dapat menimbulkan kerentanan terhadap kekerasan.
Hasil analisa kajian ini menunjukan bahwa kerentanan perempuan tuli terhadap kekerasan pada ranah mikrosistem dipengaruhi oleh rendahnya kapasitas perempuan tuli terkait pengetahuan seksualitas dan kekerasan berbasis gender, hambatan komunikasi antara korban dengan pasangan dan masyarakat sekitar, serta ketergantungan finansial korban terhadap suami dan keluarga. Sementara itu pada tingkatan mesosistem, para korban mengalami hambatan komunikasi dengan lingkungan sosial di sekitarnya (tetangga dan komunitas).
Bahrul Fuad menjelaskan, “Hambatan komunikasi tersebut mengakibatkan terjadinya eksklusi sosial terhadap perempuan tuli korban yang meningkatkan kerentanan mereka terhadap kekerasan. Pada tingkatan eksosistem kerentanan perempuan tuli terhadap kekerasan disebabkan oleh terbatasnya informasi terkait dengan pendidikan seksual, pendidikan kesehatan reproduksi, rendahnya tingkat pendidikan membuat korban memiliki keterbatasan akses ekonomi yang mengakibatkan ketergantungan finansial korban terhadap suaminya.”
“Sementara itu pada tingkatan makrosistem kuatnya budaya patriarkhi yang menempatkan perempuan pada posisi sub-ordinasi laki-laki dan ditambah dengan Stereotip dan Stigma negatif terhadap perempuan tuli sebagai individu yang abnormal mengakibatkan mereka rentan terhadap kekerasan. Kondisi ini diperburuk dengan sistem layanan hukum dan peradilan yang tidak ramah dengan disabilitas, khususnya perempuan tuli” ujarnya.
Ketidaksetaraan posisi gender dan kondisi disabilitas individu dalam bentuk hambatan komunikasi, keterbatasan pengetahuan, keterbatasan life skill dan lemahnya dukungan psikososial telah mengakibatkan ketidakberdayaan dan membentuk berbagai ketergantungan perempuan tuli terhadap pelaku kekerasan.
Perempuan tuli sebagaimana perempuan pada umumnya dituntut untuk dapat berperan secara ideal sebagai istri dan sekaligus sebagai ibu rumah tangga. Sehingga perempuan tuli mengalami berbagai stigma dan stereotype negatif di masyarakat seperti dianggap tidak punya hasrat seksual, melahirkan keturunan yang cacat, tidak dapat berperan sebagai isteri yang baik, dan tidak mampu merawat anak.
Fuad mengatakan, “selain itu penelitian ini juga menemukan fakta bahwa kehadiran gerakan disabilitas yang diinspirasi oleh Model Sosial Disabilitas telah mendorong terjadinya perubahan sistem menuju arah yang positif dengan terbangunnya praktik baik di lapangan untuk pemenuhan hak disabilitas.”
Penelitian ini mendorong terjadinya perubahan paradigma pada cara pandang masyarakat dan pengambil kebijakan terhadap disabilitas, dari disabilitas sebagai obyek prilaku karitatif ke arah disabilitas sebagai subyek dengan memberikan ruang seluas – luasnya bagi mereka untuk berpartisipasi dalam masyarakat dan terlibat aktif dalam proses penyusunan kebijakan terlebih kebijakan yang berkaitan dengan pemenuhan hak mereka.
Disertasi ini menyimpulkan bahwa kekerasan yang dialami oleh perempuan tuli memiliki pola; pertama pelaku kekerasan merupakan orang dekat atau orang yang dikenal oleh korban, kedua, kekerasan dilakukan di ranah domestik (di rumah pelaku dan di rumah korban), dan terakhir korban kekerasan tidak melakukan perlawanan ketika terjadi kekerasan pada dirinya.
“Secara teoritis kajian tentang disabilitas belum banyak dikupas secara mendalam termasuk di dalamnya kajian tentang komunitas tuli. Karenanya kajian sosiologi tentang disabilitas atau komunitas tuli secara khusus perlu lebih diarahkan pada kajian disabilitas sebagai hasil konstruksi sosial dengan harapan akan berdampak pada perubahan paradigma serta perlakuan terhadap penyandang disabilitas secara lebih positif” jelas Fuad.
Sementara itu Fuad menjelaskan, secara praktis rekomendasi diarahkan pada peningkatan kapasitas personal perempuan tuli terkait akses terhadap pendidikan seksual, informasi tentang pencegahan kekerasan, dan peningkatan akses sumber daya ekonomi terhadap perempuan tuli untuk mendorong kemandirian finansial mereka.
Pada tingkatan masyarakat perlu dikembangkan pendidikan publik guna melakukan rekonstruksi sosial tentang disabilitas ke arah yang lebih positif, sehingga mampu menghapus stigma negatif terhadap disabilitas dan sekaligus mengubah persepsi dan prilaku sosial masyarakat menjadi lebih positif terhadap penyandang disabilitas.
Terakhir Fuad menegaskan, pemerintah perlu secara lebih progresif dan berkomitmen tinggi dalam melaksanakan pembangunan inklusif dengan mendorong keterlibatan aktif penyandang disabilitas dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembangunan di segala sektor.