


Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, FISIP UI kembali menggelar promosi doktor pada Rabu (02/06) di Auditorium Juwono Sudarsono, FISIP UI, Depok. Evvy Silalahi resmi mendapatkan gelar Doktor Ilmu Komunikasi setelah melaksanakan promosi doktor, disertasi nya berjudul “Konstruksi Tindakan Konektif di Media Sosial Dalam Penanganan Masalah Kekerasan Seksual di Pondok Pesantren Madani Bandung”.
Studi ini menganalisis konstruksi tindakan konektif dalam advokasi isu kekerasan seksual yang menyasar kelompok termarginalisasi, khususnya perempuan dalam institusi keagamaan yang menghadapi impunitas struktural di ranah luring. Dalam konteks tersebut, media sosial menjadi arena bagi artikulasi penderitaan dan mobilisasi afeksi.
Evvy mengatakan, “ketika jalur hukum dan kelembagaan formal mengalami kebuntuan dan kelompok marginal diabaikan, individu dengan privilese digital memediasi pengalaman korban ke ruang daring, mentransformasi narasi personal menjadi isu politis yang bertujuan menggalang solidaritas dan tekanan publik.”
Menurutnya, dalam konteks ini, korban dari kalangan santriwati dilumpuhkan oleh berlapis-lapis subordinasi yang berkelindan: gender, kelas sosial, usia, dan relasi kuasa dalam otorita keagamaan.
“Ketergantungan mereka pada eksistensi aktor-mediator menyingkapkan bahwa tindakan konektif yang terjadi bukanlah mobilisasi horizontal yang egaliter, melainkan sebuah proses yang termediasi secara hierarkis,” ujar Evvy.
Kasus yang diteliti adalah tindakan konektif yang berawal dari posting akun Facebook @Mary Silvita. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menggambarkan secara mendalam proses konstruksi tindakan konektif (connective action) melalui media sosial dalam penanganan kasus kekerasan seksual di pondok pesantren Madani Bandung.
“Studi ini menyimpulkan bahwa konstruksi tindakan konektif dalam advokasi kekerasan seksual bukanlah sebuah proses mobilisasi digital yang spontan dan egaliter. Di arena daring, proses ini harus berhadapan dan bernegosiasi dengan logika platform, kontestasi kuasa, dan ketimpangan struktural yang inheren,” jelas Evvy.
Evy menjelaskan, temuan penelitian ini secara empiris mengonfirmasi bahwa kekerasan terhadap perempuan dari kelompok termarginalisasi tidak dapat dipahami sebagai insiden tunggal, melainkan sebagai manifestasi dari matriks dominasi yang saling mengunci dan memperkuat.
Evvy menekankan dalam kasus ini, konvergensi antara subordinasi gender, kerentanan/prekariat ekonomi, usia muda, dan isolasi geografis yang berpadu dengan otoritas sakral institusi keagamaan dan disfungsi negara menciptakan sebuah arsitektur impunitas bagi pelaku sekaligus membungkam korban secara total.
Kondisi keterisolasian tersebut diperburuk oleh kesenjangan digital yang membatasi akses korban terhadap informasi dan jaringan dukungan yang berfungsi sebagai perpanjangan tangan dari ketidakadilan struktural ke ranah daring.
“Namun, justru dalam kondisi kelumpuhan struktural total inilah jaringan personal luring muncul sebagai satu-satunya infrastruktur solidaritas dan agensi yang fungsional. Jaringan personal ini berfungsi sebagai jembatan krusial yang menghubungkan dunia privat korban yang terisolasi dengan sumber daya eksternal, yaitu aktor politik dan aktivis. Di sini, modal afektif berupa empati dan kepercayaan menjadi fondasi esensial yang memungkinkan jaringan ini terbentuk dan berfungsi sebagai kanal advokasi awal yang aman,” jelas Evvy.
Evvy memaparkan hasil penelitiannya yang menunjukkan bahwa tindakan konektif bukanlah fenomena digital otonom, melainkan praktik keadilan hibrida. Perjuangan berakar pada aktivasi jaringan personal luring berbasis kepercayaan untuk menerobos matriks dominasi interseksional yang dialami korban.
Ia mengatakan, “implikasi teoretis ini bergema kuat dalam ranah praktis. Bagi para aktivis dan organisasi masyarakat sipil, temuan ini menegaskan urgensi strategi advokasi hibrida yang tidak naif dan tidak semata-mata bergantung pada viralitas.”
Pada akhirnya, secara sosial dan kebijakan, penelitian ini menyerukan urgensi untuk mendefinisikan kesenjangan digital sebagai isu fundamental keadilan sosial. Upaya untuk menciptakan ruang digital yang aman dan inklusif, terutama yang bebas dari kekerasan berbasis gender dan manipulasi algoritma, harus menjadi prioritas.
Lebih dari itu, temuan ini mengonfirmasi kembali kebutuhan mendesak akan perlindungan hukum yang kuat bagi korban kekerasan seksual dan penegakan akuntabilitas institusi, baik negara maupun agama, sebagai akar masalah yang harus diselesaikan.