Webinar “FIRTUAL (Forum Literasi Hukum dan HAM Digital): ASEAN, HAM dan Kebebasan Berekspresi” yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Ditjen IKP Kominfo RI) bekerjasama dengan Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI pada Rabu (23/03). Webinar ini diselenggarakan dalam secara hybrid dan disiarkan secara langsung melalui Zoom dan channel Youtube Ditjen IKP Kominfo.
Kebebasan berekspresi telah menjadi hak fundamental di Indonesia sebagai negara hukum demokratis yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Perkembangan informasi membuat masyarakat lebih mempunyai banyak media untuk berkomunikasi, salah satunya adalah internet yang merupakan kebutuhan saat ini tentu ada efek positif dan negatif.
Kini dengan perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat, dunia maya menjadi semakin ramai. Hal ini menjadi tantangan baik di Indonesia maupun di seluruh negara anggota ASEAN. Webinar ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman peserta tentang hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat.
“Kegiatan ini menjadi sangat penting karena saat ini kita dalam proses transformasi digital yang menjadi isu besar saat ini yang diangkat dalam G20 yang dimana Indonesia menjadi presidensi. Transformasi digital ini membawa aspek dan implikasi di berbagai aspek kehidupan, baik aspek sosial, ekonomi, politik maupun hubungan antar negara,” ungkap Asra Virgianita, Ph.D (Ketua Departemen Ilmu Hubungan Internasional).
Asra menjelaskan dalam konteks hubungan antar negara, “adanya digital diplomasi yang tentunya membawa perubahan dan pembahasan baru dalam studi hubungan internasional tentang pemanfaatan digital dplomasi didalam konteks bernegara dan juga gerakan digital activism dengan penggunaan media sosial untuk menggerakan masyarakat dalam melakukan kampanye, sosialisasi dan advokasi melalu media sosial.”
Ia mengungkapkan bahwa dengan adanya transformasi digital ini, tentunya menghindari aspek-aspek negatif terutama terkait dengan konten negatif seperti ponografi, bullying, kekerasan seksual di ruang digital dan berbagai isu yang hadir diruang digital.
Standar internasional tentang kebebasan dan berekspresi didasarkan pada Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Pasal 29 UDHR. Di antara negara-negara ASEAN, Indonesia juga merupakan salah satu yang pertama atau pelopor dalam merumuskan undang-undang tentang kebebasan berekspresi dan khususnya dalam mengatur keamanan dunia maya atau cybercrime.
Kebebasan berekspresi berkaitan erat dengan ujaran kebencian, meskipun keduanya sangat berbeda. Ujaran kebencian adalah segala bentuk komunikasi verbal, tertulis atau perilaku yang menyerang seseorang atau kelompok atau menggunakan bahasa yang merendahkan atau diskriminatif ketika mengacu pada seseorang atau suatu kelompok berdasarkan agama, suku atau kebangsaan, asal usul, ras, warna kulit, keturunan, jenis kelamin atau faktor identitas lainnya.
Sedangkan ruang lingkup hak atas kebebasan berekspresi mencakup perlindungan terhadap ekspresi pendapat dan transmisi ide yang mungkin dianggap sangat menyinggung orang lain dan ini mungkin termasuk ekspresi yang bersifat diskriminatif dan cara penyebarannya.
Dwi Ardhanariswari, Ph.D atau yang disapa dengan Riris, Dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI, menjelaskan “ketika kita gelisah dalam penyelenggarakan freedom of expression, pasti dasarnya adalah karena kekecewaan karena ketidakpuasan atau ketidakpahaman. Freedom of expression di ASEAN sangat dipengaruhi oleh dinamika global, dinamika regional, dinamika nasional dan dinamika transnasional yang ditinjau sebagai norma global, norma yang datang dari luar ASEAN.”
Hak atas kebebasan berekspresi bukanlah hak mutlak dan negara dapat membatasi hak berdasarkan hukum hak asasi manusia internasional dalam keadaan luar biasa tertentu, “ada hal lain yang bisa dijadikan acuan standar kebebasan berekspresi, yaitu Part of Civil Liberties yang terdiri dari hak berserikat, hak berkumpul secara damai dan hak kebebasan berekspresi. Dengan ini dinyatakan bahwa kebebasan berekspresi adalah hak dasar kita,” jelas Riris.
Lebih lanjut Riris menjelaskan, “bahwa norma masyarakat pada konteks ASEAN salah satunya mengacu pada Asian values, yang diyakini oleh Asian values dalam freedom of expression adalah social culture dan economic rights. Tidak mengutamakan civil rights, sementara freedom of expression bagian dari civil rights.”
“Konteks negara adalah hal yang paling mempengaruhi dinamika penyelenggaraan freedom of expression di kawasan ASEAN. Freedom of expression bisa berbeda setiap negaranya tergantung tingkat demokrasinya. Pada akhirnya fasilitas dan hak-hak berekspresi di setiap kawasan ASEAN berbeda-beda, seperti contohnya di Myanmar kebebasan berbicara sangat dibatasi. Dinamika inilah yang menjadi representasi kebijakan negara terkait kebebasan berekspresi,” ungkap Riris.
“Karena itu kita harus bisa melihat kebebasan berekspresi tidak hanya sebagai hak tetapi juga sebagai tanggung jawab bagaimana kita menggunakan kebebasan berekspresi dengan keistimewaan yang kita miliki sebagai manusia, memiliki akses ke sumber informasi untuk memberdayakan orang-orang di sekitar kita dan meningkatkan kualitas hidup tidak hanya untuk kita tetapi juga untuk orang-orang di sekitar kita,” tutup Riris dalam sesi presentasinya.