

Perilaku mengumpat seringkali diartikan sebagai sebuah perilaku bawaan setiap manusia, walaupun berbagai temuan penelitian menjelaskan bahwa perilaku mengumpat dibentuk oleh keluarga dan juga lingkungan sosial.
Sehingga, baik umpatan yang berasal dari individu maupun dalam bentuk kolektif pada akhirnya merupakan bentuk ciptaan yang direkayasa untuk memiliki tujuan dan makna tersendiri sebagai sebuah pergerakan kelompok.
Chant atau nyanyiandan umpatan yang disajikan didalam tribun oleh suporter tidak lahir begitu saja secara alami dan spontan. Memang, jika mengacu pada beberapa tangkapan pengamatan diatas lapangan, jika banyak individu suporter yang dengan spontan akan mengumpat kata ‘Anjing’, maupun kata lainnya dengan objek binatang.
Menariknya, perilaku mengumpat di stadion ketika ada pertandingan telah menjelma sebagai sebuah ritual tersendiri dikalangan suporter. Rasanya tidak lengkap jika tidak mengumpat berjamaah, terasa akan lebih ‘pas’ jika mengumpat bersama-sama dengan suporter lain lewat chant maupun teriakan bersama meneriaki suporter lawan, pemain lawan, hingga wasit yang dianggap berat sebelah.
Doktor Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), Faridhian Anshari berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul “Menganjingkan Manusia: Kajian Tentang Sumpah Serapah Suporter Sepakbola di Indonesia”. Faridhian resmi mendapatkan gelar Doktor Antropologi ke-117 pada Jumat (20/06) di hadapan para dewan penguji, dengan predikat Cumlaude.
Faridhian mengatakan bahwa tulisan ini bertujuan untuk memahami praktik umpatan dalam komunitas suporter sepak bola Indonesia sebagai ekspresi budaya yang kompleks. Umpatan tidak hanya berfungsi sebagai luapan emosi, tetapi juga sebagai simbol identitas, solidaritas, dan bagian dari ritual kelompok.
Menurutnya, melalui pendekatan antropologi budaya, bahasa, dan olahraga, studi ini berfokus pada empat hal utama mengenai proses dan peran umpatan digunakan dalam konteks emosional dan sosial, serta peran umpatan dalam memperkuat ikatan kelompok dan prosesnya ketika dilembagakan sebagai ritual kolektif, serta pemahaman makna spesifik dari kata ‘Anjing’ yang dimaknai, digunakan, dan dipolitisasi dalam rivalitas antar suporter.

“Selama tiga tahun (2022–2024), saya mengamati 52 pertandingan di 10 stadion wilayah Jabodetabek, menggunakan observasi lapangan, wawancara, eksperimen sosial, dan keterlibatan langsung dalam kehidupan komunitas suporter. Hasil tulisan menunjukkan bahwa umpatan tidak semata merupakan ekspresi marah atau agresif, melainkan juga saluran emosi kompleks seperti frustasi, kecewa, sedih, dan euforia,” ujarnya.
Lebih lanjut Faridhian menjelaskan bahwa umpatan berfungsi sebagai ritus emosional yang kolektif, membangun atmosfer, serta memperkuat solidaritas kelompok. Penggunaan umpatan dalam komunitas suporter, juga menjadi kode budaya yang diwariskan dan dipelajari, serta penanda identitas dan loyalitas kelompok.
Selain itu, Chant yang mengandung umpatan tampil dalam bentuk lisan dan visual, dikoordinasi oleh capo (sosok yang memimpin sekelompok ultras) menciptakan struktur emosional yang teratur dan menyatukan massa. Praktik ini menjadi bagian dari ritual suporter sebelum, saat, dan sesudah pertandingan.
“Selain fungsi afektif dan sosial, umpatan juga memuat dimensi simbolik, terutama melalui penggunaan metafora binatang seperti ‘Anjing’ untuk mendehumanisasi lawan. Adapun dalam konteks ini, umpatan dapat bersifat terencana, menjadi strategi simbolik untuk membangun dominasi terhadap kelompok lain. Umpatan ‘Anjing’ juga terbukti situasional dan temporer, bermakna karena dirasakan secara kolektif, bukan sekadar dimengerti secara literal,” jelas Faridhian.
Faridhian juga menguraikan temuan lain yang menjelaskan umpatan ‘Anjing’ di stadion adalah praktik situasional yang arbitrer dan temporer, berfungsi sebagai ritus emosional yang bermakna karena dirasakan, bukan dimaksudkan untuk dimengerti pihak lain.
Faridhian merekomendasikan pendekatan edukatif dan kontekstual dalam memahami ekspresi verbal suporter, melalui konsep “Umpatan Kolektif sebagai Strategi Atmosferik”, yang meengaskan bahwa umpatan dalam konteks stadion bukan sekadar ujaran verbal yang bersifat individu dan spontan, tetapi sebuah bentuk komunikasi performatif yang dirancang untuk membentuk atmosfer emosional yang khas.
Sebagai ketua sidang, Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto. Promotor, Irwan Martua Hidayana, Ph.D dan Kopromotor, Dave Lumenta, Ph.D. Serta sebagai dewan penguji, Aulia Hadi, Ph.D., Endah Triastuti, M.Si, Ph.D., Dr. phil. Imam Ardhianto, Aryo Danusiri, Ph.D, dan Dr. phil. Geger Riyanto.