Departemen Kriminologi FISIP UI bersama dengan Unit Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI dan Himpunan Mahasiswa Kriminologi, mengadakan webinar “Mengawal Pasca Pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual” pada Rabu (13/04).
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengatakan, segera menyusun peraturan pelaksana pascapengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi undang-undang.
“Mengingat undang-undang ini sangat komprehensif, maka prioritas yang akan kami lakukan ialah menyusun peraturan pelaksana. Setelah menyusun draf peraturan pelaksana, akan secepatnya melakukan sosialisasi kepada masyarakat, dengan berkoordinasi bersama kementerian dan lembaga pemerintah non-kementerian terkait serta pemerintah daerah,” kata I Gusti Ayu.
Lebih lanjut ia menjelaskan “tujuannya, agar aspek pencegahan dan penyelenggaraan pelayanan terpadu dapat terlaksana dengan baik dan memastikan akan berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan terkait ketentuan pemberian dana bantuan korban dalam RUU tersebut.” Terkait dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), ia mengatakan pihaknya akan membahas soal pendidikan dan pelatihan bagi aparat penegak hukum serta tenaga pendamping.
Dengan DPR mengesahkan RUU TPKS menjadi UU, Menteri PPPA itu berharap dapat memberikan perlindungan komprehensif terhadap korban, serta mencegah segala bentuk kekerasan seksual, menangani, melindungi dan memulihkan korban. Selain itu juga dapat melaksanakan penegakan hukum, merehabilitasi pelaku, mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual, serta menjamin tidak berulangnya kejadian yang sama, tambahnya.
Pada 2021 Kementerian PPPA mendata kekerasan seksual terhadap perempuan berada di angka 5,2 persen atau satu dari 19 perempuan. Data tersebut menunjukkan permasalahan yang terjadi sebenarnya lebih kompleks dari yang terlihat di permukaan. Kekerasan seksual merupakan tindakan serius dan membutuhkan solusi komprehensif salah satunya melalui UU TPKS.
“Diakui RUU TPKS telah memuat berbagai terobosan hukum yg penting, yaitu memuat tindak pidana Kekerasan Seksual (KS), dari aspek bentuk KS, berhasil menghapus Aborsi sebagai Tindak Pidana KS, menambahkan Pemaksaan Perkawinan dan Perbudakan Seksual serta mempertahankan Eksploitasi Seksual dan Pelecehan Seksual Elektronik yang semula diusulkan pemerintah untuk dihapus,” ujar Ratna Batara Munti (Jaringan Pembela Hak Korban Kekerasan Seksual).
Sehingga total ada sembilan bentuk KS yang diatur, yakni: pelecehan seksual fisik, pelecehan seksual non fisik, pelecehan seksual berbasis elektronik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual dan pemaksaan perkawinan.
Lebih lanjut Ratna menjelaskan, “dari aspek hukum acara, telah menghasilkan beberapa terobosan hukum seperti terkait alat bukti, diakuinya Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat sebagai penyelenggara layanan terpadu. Selain itu, diakomodasi usulan terkait integrasi antar layanan sehingga kepentingan pemulihan bisa berjalan beriringan dengan penegakan hukum.” Dalam pasal 54 disebutkan koordinasi antara penyidik dan pendamping menjadi dasar penyidikan dan saat korban alami trauma berat, penyidik dapat menyampaikan pertanyaan melalui pendamping.
UU TPKS juga mengatur tentang hukum acara yang lebih modern dan terbaru. Hal itu dirancang untuk memberikan jaminan perlindungan bagi korban. Jaminan itu di antaranya UU TPKS yang mengatur atau mengakomodir visum serta pendampingan bagi korban seluas-luasnya. Tidak hanya itu, termasuk juga memberikan panduan bagi aparat penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual, agar tidak memeriksa berulang-ulang, dan mengajukan pertanyaan sensitif.
“Sebab, hal tersebut bisa menimbulkan trauma kembali pada korban. Dalam UU TPKS juga terdapat hal baru atau dapat dikatakan sebagai upaya progresif penanganan tindak pidana kekerasan seksual,” ujar Taufiq Basari (Fraksi Partai Nasdem).
Hal tersebut yakni mengenai hak-hak korban di antaranya pembayaran restitusi oleh pelaku kepada korban dan hak atas kompensasi yang dibayarkan negara. Apabila pelaku tidak mampu membayar restitusi kepada korban, maka negara harus hadir dan memberikan kompensasi bagi korban.
Selanjutnya Taufiq menjelaskan mekanisme kompensasi tersebut disebut juga victim trust fund atau dana talangan bagi korban, “untuk sumber pendanaan bisa berasal dari negara, filantropi, dana tanggung jawab sosial perusahaan dan sumber-sumber resmi lainnya. Dengan adanya UU TPKS, maka hak korban tidak lagi bergantung pada apa pun. Artinya, jika restitusi tidak mampu dipenuhi pelaku, maka negara akan hadir.”
UU TPKS ini akan menjadi payung hukum yang sangat berguna untuk melindungi korban dari tindak kekerasan seksual yang sebetulnya banyak terjadi pada perempuan dan anak-anak disabilitas yang bisa terjadi dimana saja termasuk dikampus. “Universitas Indonesia membentuk satuan tugas (satgas) kekerasan seksual, sebagai upaya terobosan bagaimana mencegah dan menangani kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di area kampus. Selama ini payung hukum untuk adanya satgas, terkendala karena tidak adanya UU, hanya mengacu pada peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan No 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi,” ujar Dr. Ani Soetjipto (Dosen gender dan international relationship)
Harapannya di lihat dari undang-undang ini, belajar dari advokasi untuk bisa membangun jejaring lintas sektor untuk memperjuangkan kebijakan yang benefit untuk melindungi mereka yang marjinal. Perlu adanya sinergi yang melampaui sekat-sekat ideologi.