Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia telah berhasil menambahkan Guru Besar di bidang Antropologi dengan di gelarnya Pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto pada Sabtu (13/11) secara daring dan luring.
Prof. Aji berterimakasih kepada para tamu undangan yang telah meluangkan waktu untuk mengikuti prosesi pengukuhan Guru Besar FISIP UI dan ia memaparkan Pidato Pengukuhan yang berjudul “Kebijakan budaya. Upaya mengembangkan komunitas dan budaya Nusantara”.
Konsep “negara” dan “kebudayaan” dalam masyarakat sering dipandang sebagai konsep yang bertentangan dan berlawanan. Negara dengan kebijakan publiknya cenderung menginginkan sesuatu yang cenderung umum, makro, seragam, sedangkan konsep kebudayaan cenderung bersifat terbatas berada di komunitas, dibuat oleh komunitas, dan mengedepankan kebebasan variasi berekspresi. Pada praktiknya, negara seolah-olah melakukan hegemoni kekuasaan atas masyarakat, menghilangkan banyak budaya tradisional atas nama modernisasi.
Prof. Aji menyampaikan “kebijakan budaya adalah konsep kebijakan yang dibuat dengan mempertimbangkan hubungan magi-religi-lingkungan yang biasanya berada di komunitas adat. Dengan begitu, kebijakan publik yang dihasilkan dapat mengakomodir keteraturan yang diinginkan negara, namun tetap melestarikan unsur budaya tradisional yang ada di komunitas”
Ia mencontohkan implementasi kebijakan budaya ini di negara Taiwan “di sana, pemerintah memberikan dukungan kepada pelestarian budaya komunitas lokal, karena mereka memerlukan identitas nasional yang membedakan bangsa Taiwan dengan bangsa Cina”
“Komunitas-komunitas adat didorong mereinvensi tarian dan lagu rakyat yang telah terlupakan, menggunakan bahasa daerah yang lama ditinggalkan, merancang bentuk rumah bergaya lama, dan berbagai kegiatan invensi tradisi lain. Dari kasus Taiwan, kita belajar bagaimana identitas budaya dipakai dalam proses diplomasi untuk menegakkan identitas bangsa,” ujarnya.
Hal ini juga terjadi di Korea Selatan, ketika pemerintah memfasilitasi bidang industri kreatif dan kebudayaan dengan dukungan infrastruktur dan pendanaan, sehingga saat ini kita mengenal fenomena hallyu/korean wave, sebuah fenomena tradisi budaya Korea seperti menyanyi, main drama, memasak yang kini banyak digandrungi oleh berbagai orang dari belahan dunia. Contoh-contoh tersebut menunjukkan bagaimana negara berperan dalam pengembangan budaya.
Prof. Aji mengkritisi proyek-proyek pelestarian budaya yang dilakukan pemerintah saat ini yang lebih berorientasi pariwisata. Menurutnya, kebijakan umum yang disusun sudah tepat, namun orientasi tujuan yang menyertainya kemudian menimbulkan masalah.
“Saya mencermati beberapa kebijakan budaya kita cenderung melihat aspek makro dan umum. Data yang saya peroleh dari banyak kesempatan berdiskusi menunjukkan bahwa ada satu-dua arah makro yang selama ini dituju. Arah yang ditetapkan untuk ‘membangun kebudayaan’ terutama yang berkaitan dengan tradisi, salah satunya, diharapkan mampu menjadi komoditas untuk dipasarkan sebagai atraksi wisata. Nyaris semua upaya kita melestarikan budaya lokal dalam aras kebijakan, pada akhirnya bermuara pada apakah sebuah tradisi potensial menarik wisatawan. Kalau iya, masuklah unsur tradisi tersebut sebagai unsur budaya yang potensial untuk dikembangkan. Kalau tidak, terus diupayakan agar bisa nantinya bisa dipertontonkan sebagai atraksi wisata.”
“Ketika suatu budaya dijadikan sebagai atraksi budaya, maka seringkali hanya atraksinya yang bisa kita lihat. Makna magis-religi-lingkungan dari atraksi tersebut seringkali sudah hilang atau berubah. Masalah berikutnya adalah sering kali pemanfaatan budaya sebagai komoditas ekonomi ini kemudian hanya menguntungkan pihak-pihak di luar komunitas, dibandingkan warga komunitasnya sendiri,” ujarnya.
Memperhatikan ini semua, Prof. Aji merumuskan ulang kebijakan budaya, dalam konteks Indonesia yang memiliki tradisi beragam, di tengah perubahan global ini, sebagai sebuah upaya melestarikan tradisi. Mengembangkannya dengan melindungi komunitas tradisional (adat) berikut karya budayanya. Bukan persoalan ‘punah’ atau ‘lestari’ tetapi bagaimana tradisi tersebut dapat berkembang di komunitas, menjadi bagian dari komunitas, dan menemukan kembali relevansinya dengan kondisi di luar komunitas yang tengah berkembang pesat. Produk dari kebijakan budaya tersebut mestilah menjadikan komunitas tersebut lebih berdaya berdasar tradisi yang berkembang dinamis.
Semiarto Aji Purwanto menyelesaikan jenjang akademik dari sarjana sampai doktor di FISIP UI, dan fokus pada bidang kajian antropologi, terutama perihal tradisi, komunitas lokal, serta permasalahan pembangunan dan perubahan sosial budaya. Tulisan ilmiahnya terkait bidang kajian tersebut, dipublikasikan secara nasional maupun internasional, Ia pernah mendapatkan beasiswa dari Bonn SDG Fellowships Bonn University, Mofa Taiwan Fellowship Scholar Taiwan, dan Asean Research Scholarship.