Depok, 8 Januari – Aruma Chandra Dewi menjadi Doktor Kriminologi ke-43 dengan judul disertasi “Victim Oriented Humanistic Policing Sebagai Model Ideal Pelayanan Kepolisian Terhadap Korban Kejahatan Kekerasan dan Kekerasan Seksual Serta Pencarian Model Aplikatif Bagi Indonesia (Komparasi Studi Kasus Kepolisian Indonesia, Jepang dan Selandia Baru).”
Promosi doktor Aruma dilaksanakan pada Senin (8/1) di Auditorium Juwono Sudarsono, FISIP UI. Selaku ketua sidang, Prof. Isbandi Rukminto Adi, M.Kes, Ph.D. Selaku promotor, Prof. Adrianus Eliasta Sembiring Meliala, Ph.D., dan kopromotor, Dr. Iqrak Sulhin, S.Sos., M.Si. Serta para dewan penguji, Komjen Polisi (Purn) Prof. Dr. Gatot Eddy Pramono, M.Si., Brigjen Pol. Dr. Rinny Shirley Theresia Wowor, S.Psi., M.Psi., Heru Susetyo, S.H., LLM., M.Si., Ph.D., Dr. Dra. Ni Made Martini Puteri, M.Si., dan Prof. Dr. Drs. Muhammad Mustofa, M.A.
Sexual violent crime atau Kejahatan Kekerasan Seksual (KKS) terhadap perempuan, dewasa ini semakin sering terjadi. Baik di negara yang menganut sistem politik demokrasi, sosialis, maupun monarki, termasuk di negara-negara maju maupun negara berkembang.
Laporan World Health Organization (WHO) tahun 2021 menyatakan sepertiga perempuan di dunia atau sekitar 736 juta dari total populasi perempuan pernah mengalami kekerasan seksual. Satu dari empat perempuan berusia antara 15-24 tahun mengalami kekerasan yang dilakukan oleh pasangan mereka (BBC Indonesia, 10/03/2021).
Di Indonesia kasus kekerasan seksual merupakan jenis kejahatan yang paling tinggi. Berdasarkan data yang terhimpun dalam Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), kasus kekerasan seksual berada di urutan teratas, yaitu sebanyak 11.016 kasus pada tahun 2022.
Sementara di urutan kedua yaitu kekerasan fisik dengan 9.019 kasus, diikuti kekerasan psikis (8.524 kasus), penelantaran (2.718 kasus), trafficking (443 kasus), dan eksploitasi (256 kasus). Komnas Perempuan melalui data yang dirilis pada 7 Maret 2023, melaporkan ada 457.895 kasus pengaduan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.
Penelitian ini bertujuan menemukan model ideal pelayanan Victim Oriented Humanistic Policing (VOHP) dan standar operasional prosedur Victim Impact Statement (VIS) untuk korban kejahatan kekerasan seksual di Indonesia. Tujuan tersebut dicapai dengan melakukan studi komparasi implementasi Victim Oriented Policing (VOP) dan VIS pada kepolisian di Indonesia, Jepang, dan Selandia Baru.
Metode penelitian menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dan komparasi studi kasus. Data dikumpulkan melalui wawancara, observasi, kajian pustaka, dan dokumen dari ketiga negara, berfokus pada pelayanan kepolisian pada korban kekerasan seksual.
Perbandingan dilakukan berlandaskan pada berbagai variabel aspek VOP dan VIS. Variabel perbandingan pada VOP meliputi: kultur organisasi, sumber daya organisasi, dan kompetensi khusus petugas. Sedangkan, variabel pada VIS meliputi pendekatan humanis, sikap empati, dan teknik komunikasi persuasi.
Victim Oriented Humanistic Policing (VOHP) yang penulis susun terdiri lima pendekatan strategis. Kelima pendekatan itu berupa (1) pendampingan berkelanjutan; (2) keterampilan wawancara praktis; (3) advokasi; (4) penggunaan teknologi; dan (5) kemitraan strategis. Kelima konsep teoretik ini menekankan fokus transformasi bagi penegak hukum untuk mencegah terjadinya viktimisasi primer maupun sekunder ketika menangani korban.
Di banyak negara, komunikasi aktif korban dapat dibuktikan dengan pembuatan Victim Impact Statement (VIS). VIS biasanya diberikan kepada hakim yang memvonis terdakwa untuk membantu mempertimbangkan kerugian yang dialami korban. VIS juga dianggap mampu membuat korban dapat didengar, diakui atas derita atau kerugian yang mereka rasakan, serta untuk dapat diperlakukan dengan hormat atau secara bermartabat.
Dengan VIS, para korban juga dinilai dapat mengatakan semua hal yang dianggap penting tanpa dibatasi seperti jika hanya sebagai saksi. Penggunaan VIS dapat membuat korban berpartisipasi aktif dalam peradilan yang akhirnya memberikan kepuasan korban karena dapat menyuarakan suaranya.
Untuk mengadopsi penggunaan VIS secara maksimal, dibutuhkan keterampilan penyidik dalam memberi pelayanan terhadap korban KKS. Terutama keterampilan dalam membantu korban KKS mengurangi emosi negatif melalui pendekatan empati dan persuasi ke dalam bentuk wawancara kognitif
Pada kesimpulannya, penelitian ini menawarkan model ideal VOHP dan model aplikatif VIS bagi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang berlandaskan pada aspek humanis. Menempatkan korban sebagai inti dari pelayanan kepolisian, terutama pada konteks pelayanan bagi korban kejahatan kekerasan di Indonesia.