Perlu disadari transisi menjadi negara maju tidak berada dalam ruang hampa geopolitik dan geoekonomi. Jalan yang ditempuh hingga 2045 mungkin tidak mulus. Pembuat kebijakan harus bisa mengubah tantangan menjadi peluang.
Apakah Indonesia akan menjadi negara maju pada 2045? Kita harus siap jika jalan yang ditempuh hingga 2045 mungkin tidak mulus.
Ada dua alasan mengapa pertanyaan ”apakah Indonesia akan menjadi negara maju pada 2045” diajukan. Pertama, terdapat itikad politik untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maju ketika negeri ini mencapai usia satu abad (Visi Indonesia Emas 2045). Namun, seperti kita ketahui, tak banyak negara berkembang berhasil menjadi negara maju, bahkan ketika mereka telah menikmati kemerdekaan lebih dari 100 tahun.
Lihat, misalnya, beberapa negara di Amerika Latin. Brasil dan Meksiko masih berada dalam kategori pendapatan menengah. Hanya sedikit negara berkembang yang kini telah menjadi bagian dari ”klub” negara maju tersebut. Korea Selatan adalah pengecualian. Negeri itu telah membukukan prestasi luar biasa.
Kedua, terdapat konsensus akademik yang menunjukkan betapa tidak mudah melakukan transisi menuju negara maju itu. Merujuk beberapa tulisan (Pruchnik dan Zowczak, 2017; Basri dan Putri, 2016), tantangan utamanya: bagaimana mengatasi apa yang disebut dengan jebakan pendapatan menengah (middle income trap). Untuk layak disebut sebagai suatu negara maju, produk domestik bruto (PDB) per kapita penduduk Indonesia harus berada di atas 15.000 dollar AS (paritas daya beli/purchasing power parity).
Untuk itu (dalam skenario moderat yang dibuat LAB 45 dengan konsep pertumbuhan dalam situasi new normal), pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata setiap tahun harus berada di sekitar 5,19 persen. Jika ini bisa dilakukan, pada 2047 PDB per kapita Indonesia diperkirakan sekitar 15.000 dollar AS. Tanpa tingkat pertumbuhan yang berkesinambungan seperti itu, sukar membayangkan Indonesia akan mampu keluar dari jebakan pendapatan menengah.
Sukar juga membayangkan target pertumbuhan ini akan tercapai jika semata mengandalkan sumber pendanaan dari dalam negeri. Rata-rata investasi yang dibutuhkan sekitar Rp 700 triliun setiap tahun. Ini belum memperhitungkan tantangan dalam konteks parameter nonekonomi, seperti keberlangsungan rezim politik, kredibilitas institusi ekonomi, dan kualitas sumber daya manusia.
Apakah itikad politik dan konsensus akademik akan menjadi teman seiring seperjalanan untuk Indonesia? Tentu saja masih merupakan teka-teki besar.
Terlepas dari teka-teki ini, perlu kiranya disadari pula bahwa transisi menjadi negara maju tidak berada dalam ruang hampa geopolitik dan geoekonomi. Beberapa studi menunjukkan, risiko geopolitik (penggunaan instrumen perang antarnegara) dan risiko geoekonomi (penggunaan instrumen sanksi dalam kompetisi politik) diperkirakan semakin meningkat di tahun-tahun mendatang. Situasi ini tentu saja akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi global, termasuk lalu lintas modal global.
Berbagai laporan outlook dari beberapa lembaga internasional terbaru, seperti Forum Ekonomi Dunia (WEF) dan Dana Moneter Internasional (IMF), menyebutkan semakin tingginya risiko geopolitik dan geoekonomi di tahun-tahun mendatang itu. Perang yang masih terus berlangsung antara Rusia dan Ukraina telah meninggalkan jejak-jejak kepedihan. Ironisnya, jejak-jejak kepedihan itu lebih muncul terutama untuk negara-negara berkembang di Asia dan Afrika, melalui kenaikan harga komoditas utamanya, pangan dan energi, seperti di Mesir, Pakistan, dan Sri Lanka.
Penyebab dasar dari risiko yang meningkat ini menunjukkan satu hal. Citra tentang dunia yang semakin terhubung (globalisasi) melalui gagasan konektivitas global ternyata diiringi pula oleh kepentingan politik yang semakin terpecah. Infrastruktur fisik yang semakin baik dan lebih terintegrasi tidak memberi jaminan menguatnya nilai-norma bersama (global shared value) di tataran internasional. Namun, tidak ada ”jalan pulang” dari arena globalisasi itu.
Norma-norma dari berbagai institusi internasional, baik berupa prinsip (principles) maupun aturan main (rules), menunjukkan ketidakberdayaan untuk mengatasi berbagai krisis. Berbagai institusi internasional terkesan tidak lagi efektif untuk mengatasi berbagai krisis yang terkait satu dengan lainnya, yang oleh Adam Tooze dan WEF disebut sebagai polycrisis.
Baca lebih lanjut: https://www.kompas.id/baca/opini/2023/03/14/jalan-berbatu-menuju-2045?fbclid=PAAaZh1OjqDhOZx1nmZlMvjulkehba-9jPFMoO9ZdLQobdNmk6GZO4O6QxHww