Derpartemen Kriminologi mengadakan acara Forensic Talk dengan judul “Pemanfaatan Teknologi Pengenalan Wajah sebagai Metode Identifikasi Forensik” pada Jumat (21/01) melalui Instagram Live. Menghadirkan narasumber Iptu Eko Wahyu Bintoro, S.H (Penata Administrasi Identifikasi Wajah Pusinafis Bareskrim POLRI) bersama dengan Prof. Drs. Adrianus Eliasta Meliala, M.Si, M.Sc, Ph.D (Guru Besar Departemen Kriminologi FISIP UI).
Bareskrim POLRI tengah mengembangkan sistem pengenalan identitas seseorang berdasarkan foto atau face recognition. Inafis berperan penting dalam mengidentifikasi seseorang melalui cara ilmiah pemeriksaan sidik jari. Polisi Inafis hampir selalu dilibatkan dalam proses penyelidikan kejahatan.
Sistem ini akan melengkapi proses identifikasi yang sudah ada selama ini seperti sidik jari dan retina mata serta yang paling rumit adalah tes DNA. Proses ini, digawangi oleh Indonesia Automatic Fingerprint Identification System (Inafis). Ini adalah satuan kerja di bawah Bareskrim.
Iptu Eko Wahyu Bintoro menambahkan bahwa data wajah yang dimiliki Polri berasal dari Dukcapil saat proses pengurusan E-KTP. “Ada banyak sekali. Namun foto itu masih kurang karena hanya dari depan. Harusnya juga ditambah dari kiri, kanan, atas, dan bawah.”
Eko menjelaskan, bahwa disaat melakukan analisa terhadap wajah jangan sampai ada kesalahan, jika terjadi kesalah maka akan berimbas pada nasib orang karena bisa salah tangkap dan dampaknya menjadi tidak baik nama bagi instansi.
Terkait identifikasi wajah dilatar belakangi oleh scientific crime investigation, jadi penyidikan identifikasi secara ilmiah menggunakan algoritma, sistem big computer, artificial intelegent dan big data analytic. Dalam pembuatan sistem ada strandarisasi forensik internasional yang digunakan dalam Inafis ini.
“Dalam POLRI sendiri ada dua identifikasi yaitu identifikasi wajah dan identifikasi sidik jari. Sidik jari pada seseorang dapat berubah di usia 17 tahun karena garis yang terdapat di tangannya membesar tetapi setelah umur 17 tahun tidak ada perubahan lagi” jelas Eko.
Berbeda lagi dengan identifikasi wajah, ada beberapa parameter perubahan yang terjadi di wajah. kedepannya penguatan terhadap identifikasi wajah sangat di utamakan oleh Inafis, karena perubahan wajah sangat signifikan.
“Secara algoritma identifikasi wajah membaca jarak antar bibir, hidung, mulut dengan mata. Aksesoris seperti topi dan kacamata tidak berpengaruh. Saat seseorang berajak dewasa ada perubahan secara fisik terutama di wajahnya. Kedepannya kami akan mendalami mengenai update perubahan wajah-wajah pada seseorang” ujar Eko.
Dengan majunya dunia digital saat ini, masyarakat Indonesia sudah sangat aware terhadap sistem keamanan. Contohnya seperti CCTV, Eko menjelaskan “tidak semua hasil rekaman dari CCTV bisa Inafis identifikasi seperti resolusi gambar dan peletakan kameranya, face recognition mempunyai keterbatasan untuk membaca algoritma itulah yang menjadi kendala saat melakukan pemerikasaan barang bukti maupun identifikasi pelaku kriminal. Jarak maksimal kamera untuk melakukan face recognition 2 meter sampai 5 meter dan ketinggiannya tidak boleh lebih dari 3 meter.”
“Pusinafis Bareskrim POLRI juga tengah menyiapkan infrastruktur berupa sistem dan kamera high density yang akan dipasang di sejumlah titik ramai atau rawan. Cara kerja sistem ini adalah jika ada seorang pelaku kejahatan tertangkap kamera maka wajahnya akan dibandingkan dengan bank data yang ada melalui Bio Metric System” jelasnya.