Panitia Pekan Komunikasi (Pekom) UI 2018 mengadakan diskusi membahas post truth era yang sedang terjadi di dunia komunikasi digital saat ini. Diskusi ini sebagai landasan seluruh panitia dalam mengadakan acara Pekan Komunikasi yang rencananya akan diadakan April 2018 mendatang. Selain itu, diskusi ini juga sebagai acara penyambutan seluruh panitia Pekom 2018.
Tiga dosen Departemen Ilmu Komunikasi yang ahli di tiga bidang berbeda dihadirkan sebagai pembicara. Dr. Eriyanto M.Si, dosen ilmu komunikasi serta penulis dan peneliti Lingkar Survey Indonesia bicara dari sisi jurnalisme dan kajian media, Dr. Ummi Salamah S.Psi., Psikolog., M.Si. bicara dari sisi hubungan masyarakat, dan Erwin Agustian Panigoro M.M., dosen dan brand and digital science expert bicara dari sisi periklanan. Diskusi diadakan di Gedung E FISIP UI, pada Jumat (8/12)
Post Truth di era informasi digital berlandaskan pada emosi dan keyakinan yang menjadi faktor utama dalam mencari kebenaran dalam sebuah informasi. Di era post truth, informasi bohong dikemas seolah benar dan bisa menyentuh emosi khalayak. Rangsangan emosi ini bisa memunculkan keputusan spontan yang dilakukan pembaca informasi. Misalnya, informasi mengenai agama dan pribumi-non-pribumi akan lebih mudah menyulut emosi dan dicari masyarakat daripada informasi mengenai program pemerintah.
Fenomena post truth tak ayal berdampak pada munculnya istilah hoax dan fake news di media masa maupun media sosial. Menurut Eriyanto, fake news berbeda dengan hoax. Fake news adalah berita bohong yang peristiwanya tidak pernah terjadi sama sekali, sedangkan hoax adalah pemelintiran berita dari suatu peristiwa, isu, ataupun masalah yang benar terjadi sehingga tidak diberitakan seperti seharusnya.
“Fake news menjadi tantangan sekarang dan di masa mendatang seiring perkembangan teknologi. Saat ini, tak hanya gambar yang bisa dipalsukan, tapi juga suara dan video,” kata Eriyanto.
Perubahan kebiasaan masyarakat dalam mengakses informasi juga menjadi salah satu faktor pendukung terjadinya post truth era. Kini, masyarakat lebih sering mengakses berita dari media sosial atau aplikasi chat yang tidak memiliki gatekeeper yang jelas. Hal ini berbeda dari era-era sebelumnya dimana media mainstream seperti radio, televisi, dan koran menjadi arus utama kanal informasi masyarakat. Keakuratan informasi dari media mainstream ini menjadi terjaga karena adanya proses gatekeeping yang berlapis, mulai dari narasumber, reporter, penulis, editor, dan lain sebagainya.
Pada saat ini, proses gatekeeping diserahkan pada mesin logaritma pada media sosial. Muncullah fenomena filter bubble, dimana seseorang akan disuguhi berita yang sama atau sesuai dengan apa yang ia sering cari. Misalnya saat kita kerap men-klik tombol “suka” atau memberikan komentar pada berita-berita mengenai keburukan Ahok, maka di kolom pencarian atau beranda media sosial kita akan diberikan informasi yang sama. Fenomena filter bubble inilah yang menjadikan hoax dan fake news menyebar semakin cepat.
Meski demikian, menurut Ummi Slamah, kita tidak perlu takut akan era post truth saat ini. Pada dasarnya, post truth bukanlah fenomena yang chaotic, melainkan suatu fenomena yang berpola dan dapat dipelajari bagaimana cara meminimalisir atau mengatasinya. Mahasiswa sebagai kaum yang memiliki literasi mumpuni baiknya mampu meredam fake news dan hoax dan mengabarkan kebenaran pada masyarakat.