Klaster Riset Teknologi Departemen Ilmu Politik FISIP UI menyelenggarakan diskusi dengan tajuk “Sensor Negara di Ruang Digital: Studi di Asia Tenggara” pada Jumat (19/09) di Ruang JK, FISIP UI, Depok. Diskusi akademik ini bertujuan untuk mendiskusikan fenomena sensor yang dilakukan oleh negara, khususnya negara-negara di Asia Tenggara serta masalah-masalah dalam demokrasi digital di Indonesia dan dampaknya terhadap kehidupan berdemokrasi.
Sebagai pembicara, Irene Poetranto (Citizen Lab, University of Toronto) dan Syaiful Bahri (Dosen Ilmu Politik FISIP UI). Acara ini dihadiri oleh 20 orang peserta yang terdiri dari dosen dan mahasiswa S1 dan S3 Departemen Ilmu Politik FISIP UI.
Ruang digital belakangan dijadikan ruang untuk banyak orang menyampaikan pendapatnya sebagai bagian dari kebebasan berekspresi. Setiap warga negara pada dasarnya dapat menggunakan media sosial untuk menyuarakan kritik, keluh kesah, dan pendapatnya tentang hal-hal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Hanya saja, belakangan terdapat kekhawatiran di mana negara melakukan sensor terhadap kebebasan berekspresi di masyarakat di ruang-ruang digital, termasuk di media sosial. Media sosial kemudian tidak lagi sepenuhnya bebas dari campur tangan negara.
Fenomena doxing terhadap warga negara yang diduga dilakukan oleh aparat negara merupakan salah satu contoh nyata dari peran negara melakukan sensor di ruang digital. Situasi ini semakin menonjol dalam gelombang demonstrasi besar pada Agustus.
Dalam pemaparannya, Dr. Poetranto menjelaskan bagaimana sensor yang dilakukan oleh negara-negara bekerja dan mengapa cara yang dilakukan oleh tiap negara tidak sama. Di Asia Tenggara, setiap negara menggunakan metode DNS Tampering, kecuali Timor Leste yang tidak melakukan sensor terhadap internet dan Laos yang menggunakan metode IP Blocking. Studi tersebut berkontribusi dengan menawarkan penjelasan tentang metode filter internet lintas negara di Asia Tenggara.
Fenomena ini menunjukkan bahwa sensor negara di ruang digital bukan lagi sekadar potensi, melainkan telah menjadi realita yang membatasi ruang kebebasan berekspresi masyarakat.
