FISIP Universitas Indonesia Mengadakan Sustainability Day: Memelihara Karbon, Menjaga Kehidupan

Emisi karbon tetap menjadi tantangan terbesar bagi Indonesia untuk ditekan. Indonesia menempati peringkat ke‑42 pada Climate Change Performance Index, menunjukkan performa perlindungan iklim yang rendah. Menyadari tantangan besar yang dihadapi Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) berkolaborasi dengan Carbon Sustain 4 Good (CS4G) dan National University of Singapore mengadakan “Sustainability day: Sustaining Carbon, Sustaining Life” pada Kamis (08/10) di Auditorium Juwono Sudarsono, FISIP UI, Depok.

Kolaborasi ini bertujuan untuk membantu dalam rencana pengurangan karbon seperti instalasi hemat energi serta mempromosikan dan mendidik masyarakat mengenai isu emisi karbon dan perubahan iklim ke cakupan yang lebih luas, baik secara lokal maupun internasional.

Dalam sambutannya, Nurul Isnaeni, Ph.D (Wakil Dekan Bidang Pendidikan, Penelitian, dan Kemahasiswaan) mengatakan sustainability atau keberlanjutan bukan sekadar tren, tetapi hasil kesepakatan global sejak 1992 di Rio de Janeiro. Dunia berkomitmen menyeimbangkan tiga kepentingan penting: ekonomi, sosial, dan ekologis.

“Bagi kita di kampus, sebagai mahasiswa adalah agen perubahan. Peran generasi muda dalam memastikan keberlanjutan sangat krusial. Jika tidak ada kesadaran kolektif, konsep sustainability hanya akan jadi kata-kata manis tanpa tindakan nyata. Harapannya, dari forum ini para mahasiswa semakin paham isu lingkungan dan energi, dan terlibat aktif, karena semangat keberlanjutan harus terus diwariskan dan dijaga,” ujar Nurul.

Manusia sedang hidup di masa ketika perubahan lingkungan fisik berlangsung jauh lebih cepat dari kemampuan manusia untuk beradaptasi. Menurut Ari Mochamad (Climate and Energy Lead at World Wide Fund for Nature Indonesia), eskalasi emisi gas rumah kaca membuat magnitudo bencana semakin besar, frekuensinya makin sering, dan intensitasnya makin tinggi.

“Itulah sebabnya dunia menetapkan target menahan kenaikan suhu global di bawah 2°C, idealnya 1,5°C. Karena bagi negara-negara kepulauan kecil, 2°C berarti tenggelam, betapapun baik mereka mengelola lingkungannya. Saat ini suhu global sudah naik sekitar 1,1°C. Artinya, kita berpacu dengan waktu,” jelas Ari.

Ia menyarankan dua pendekatan, yaitu mitigasi dan adaptasi. Mitigasi adalah upaya menekan sumber emisi seperti ketergantungan pada energi fosil dan adaptasi adalah upaya menyesuaikan diri dengan perubahan yang sudah terjadi.

“Maka isu ini menjadi tanggung jawab bersama untuk menjadikan aksi nyata bukan hanya retorika jika kita tidak ingin kehilangan kesempatan untuk menyelamatkan ekosistem dan masyarakat rentan serta menjaga pertumbuhan ekonomi jangka panjang,” ujar Ari.

Perubahan iklim adalah isu kompleks yang tidak bisa diselesaikan dari satu sisi saja. Dampaknya luas – sosial, ekonomi, lingkungan, bahkan budaya.

“Maka dari itu masyarakat harus menjadi bagian utama solusi, bukan sekadar objek kebijakan. Sebab masyarakatlah yang sehari-hari juga menghasilkan jejak karbon dari aktivitasnya,” kata Alfath Alima Hakim (Energy Advisor at Energy Management Investment B.V.).

Menurut Alfath, dampak iklim bukan sekadar soal cuaca namun perubahan iklim juga mengancam budaya lokal. “Di Sumba, atap rumah adat biasanya menggunakan alang-alang. Namun sekarang sudah beralih ke seng, bukan karena lebih praktis, tapi karena alang-alang sulit didapat. Jadi perubahan iklim mengubah ekosistem, dan warisan budaya pun ikut terancam.Ini refleksi penting: krisis iklim bukan hanya tentang suhu bumi naik, tapi tentang identitas dan keberlanjutan hidup kita.”

Lebih lanjut Alfath mengatakan bahwa kisah dari Sumba mengajarkan bahwa, transisi energi harus berbasis masyarakat, mengedukasi dan pemberdayaan SDM lokal , ketahanan energi membangun ketahanan sosial, serta yang terpenting bahwa perubahan iklim nyata, bahkan terasa sampai ke akar budaya.

Muhammad Fatahillah, M.Si (Lecturer Internasional Relations Universitas Indonesia) menjelaskan bahwa isu lingkungan tidak hanya melibatkan negara. Ada multi-aktor: masyarakat sipil, sektor swasta, lembaga internasional, komunitas adat, dan lainnya, semuanya membawa kepentingan. Contohnya negara-negara utara meminta negara-negara selatan menjaga hutannya, dalam pendekatan postkolonial, ini terlihat seperti beban sepihak: mereka dulu merusak lewat revolusi industri, sekarang kita yang disuruh “menjaga”.

“Dalam Konferensi Rio dan Agenda 21, universitas diakui sebagai bagian dari komunitas epistemik, yaitu kelompok yang menghasilkan pengetahuan ilmiah, memberi rekomendasi kebijakan, dan mendorong perubahan sosial.Perubahan iklim bukan hanya soal “apa yang harus dilakukan”, tetapi juga “siapa yang mengambil keputusan, untuk siapa, dan dengan cara apa.”

Kampus berperan lewat tridharma dan kemitraan lintas sektor, mahasiswa berperan lewat gerakan dan keteladanan. Ilmu sosial dan politik memberi lensa kritis agar solusi lingkungan tidak hanya teknis, tapi adil dan berkelanjutan.

Di FISIP sudah ada gerakan untuk mengurangi penggunaan botol plastik yang berkolaborasi dengan WWF dan meluncurkan School of Social Sustainability & Innovation yang Memperkuat Dimensi Sosial dalam Pembangunan Berkelanjutan.

Related Posts

Hubungi Kami

Kampus UI Depok
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Jl. Prof. Dr. Selo Soemardjan, Depok, Jawa Barat 16424 Indonesia
E-mail: fisip@ui.ac.id
Tel.: (+62-21) 7270 006
Fax.: (+62-21) 7872 820
Kampus UI Salemba
Gedung IASTH Lt. 6, Universitas Indonesia
Jl. Salemba Raya 4, Jakarta 10430 Indonesia

E-mail: fisip@ui.ac.id
Tel.: (+62-21) 315 6941, 390 4722

Waktu Layanan

Administrasi dan Fasilitas
Hari : Senin- Jumat
Waktu : 08:30 - 16:00 WIB (UTC+7)
Istirahat : 12.00 - 13.00 WIB (UTC+7)

Catatan:
*) Layanan tutup pada hari libur nasional, cuti bersama, atau bila terdapat kegiatan internal.