


Konferensi Internasional Indonesia tentang Diplomasi Budaya, “Indonesia International Conference on Cultural Diplomacy (IICCD) 2025 Defining Cultural Diplomacy: Crossing Cultures, Weaving Worlds”, diselenggarakan bersama oleh Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) pada Selasa (18/11) dan Rabu (19/11) di Auditorium Juwono Sudarsono, FISIP UI, Depok.
Menyadari bahwa budaya dan diplomasi kini beririsan di ranah negara maupun masyarakat, IICCD menghadirkan sebuah forum global untuk meninjau kembali praktik dan tujuan diplomasi budaya di tengah pergeseran geopolitik dan perubahan digital yang cepat.
Kegiatan ini dihadiri oleh berbagai kalangan dari berbagai negara. Selama dua hari kegiatan ini telah mengumpulkan lebih dari 100 pemakalah dan partisipan dari Indonesia, serta rekan-rekan yang bergabung dari Italia, Republik Korea, San Marino, India, dan Kenya. Pembicara, dengan kontribusi dari Singapura, Portugal, Australia, Uni Emirat Arab, Jerman, Kenya, dan Ukraina.
Konferensi ini memosisikan dirinya sebagai ruang temu budaya—sebuah ruang perjumpaan tempat para praktisi, akademisi, seniman, diaspora, dan masyarakat sipil mengeksplorasi bagaimana budaya dapat membuka dialog, memperkuat kerja sama, membangun perdamaian, serta mendorong pembangunan berkelanjutan.
Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon mengungkapkan diplomasi budaya sangat penting sebagai soft power, apalagi Indonesia merupakan negara yang mempunyai kekuatan budaya dengan keberagaman yang luar biasa.
Menurut dia, seharusnya menjadikan budaya bukan hanya sebagai fondasi, tapi untuk mentransformasikan sebagai budaya identitas dan juga budaya ekonomi. “Inilah yang kita harapkan bagaimana hasil diskusi ini, sebagai hasilnya nanti bagian dari intervensi budaya,” ujar Menbud Fadli Zon.
Sementara itu Dekan FISIP UI, Prof. Semiarto Aji Purwanto menegaskan bahwa diplomasi budaya Indonesia memerlukan fondasi kebijakan yang kuat agar tidak berhenti pada simbolisme semata. Tanpa arah yang jelas, diplomasi budaya dikhawatirkan hanya menjadi aktivitas yang menarik namun kurang memiliki kedalaman dan dampak.
“Kebijakan budaya yang kokoh memberikan bentuk, tujuan, serta landasan etis bagi setiap langkah diplomasi. Sementara itu, pemberdayaan komunitas dinilai sebagai unsur penting yang menghidupkan praktik kebudayaan itu sendiri,” ujarnya.
Indonesia, dengan kekayaan budaya yang terbangun melalui berabad-abad perpindahan, pertukaran, dan adaptasi, disebut memiliki modal diplomasi yang sangat besar. Menurutnya, tantangannya kini adalah bagaimana merangkai warisan budaya dengan inovasi, menghubungkan identitas dengan transformasi, serta memadukan memori kolektif dengan peluang masa depan.
Indonesia International Conference on Cultural Diplomacy 2025 memperjelas makna diplomasi budaya saat ini dengan mengakar pada berbagai sejarah dan konteks regional.Diskusi selama konferensi ini menunjukkan bahwa diplomasi budaya memiliki substansi yang nyata, berlandaskan riset, kaya dengan gagasan, dan berpengaruh pada bagaimana bangsa-bangsa berinteraksi satu sama lain.







