

Literasi digital adalah luasan konsep literasi yang tunduk pada perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Hakikatnya, makna literasi selalu berubah, bergantung pada konteks waktu, ruang, dan tujuan, dan keperluan masyarakat penggunanya.
Pada sisi yang lain, kebijakan adalah sebuah ranah di mana aktor-aktor sosial bergumul dengan bermacam ide untuk memproduksi pengetahuan dan menciptakan kategori-kategori yang di dalamnya permasalahan dan solusi dikonstruksi. Pengetahuan dan kategori itu, pada gilirannya, menentukan bentuk-bentuk tindakan yang akan diinisiasi.
Tamam Ruji Harahap menjadi Doktor Ilmu Komunikasi dari FISIP Universitas Indonesia pada Jumat (04/07) di Auditorium Juwono Sudarsono, dengan judul disertasi “Literasi Digital di Indonesia: Studi Tentang Kebijakan Literasi Digital Kememteria Komunikasi dan Informatika 2017-2022”.
Disertasi ini membahas literasi digital dalam bingkai kebijakan literasi. Perspektif yang digunakan berpijak pada pandangan bahwa setiap kebijakan merupakan praktik diskursif yang melaluinya permasalahan dan solusinya diciptakan. Studi ini memaknai literasi digital sebagai luasan konsep dari literasi yang tunduk pada perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.
“Bertitik tolak dari asumsi bahwa kebijakan bukan sebuah konstruksi yang objektif, melainkan dikonstruksi secara subjektif melalui penciptaan makna, studi ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana kebijakan literasi digital dikembangkan melalui praktik wacana dan bagaimana literasi digital dikonstruksi melalui proses pengembangan kerangka,” jelas Tamam.
Tamam menjelaskan, sebagai penelitian multidisipliner, studi ini menggunakan perspektif komunikasi kebijakan yang meletakkan kebijakan sebagai praktik diskursif yang dapat diinvestigasi. Data penelitian berupa sejumlah dokumen kebijakan, yakni rencana strategis, laporan tahunan, modul kerangka literasi digital Kemkominfo, dan hasil wawancara.
Ia menemukan hasil analisis yang menunjukkan beberapa hal. Pertama, permasalahan yang mendasari kebijakan literasi digital dikonstruksi berdasarkan permasalahan media, yakni masifnya penyebaran konten negatif dan tindakan ilegal melalui internet dan media digital.
“Kedua, kebijakan literasi digital dirancang sebagai solusi kebijakan atas kekurangmemadaian pendekatan regulasi dalam menangani permasalahan media. Ketiga, elemen literasi merupakan permasalahan sekunder dalam kebijakan literasi digital. Keempat, proses pengembangan kerangka literasi digital melibatkan beragam aktor institusi dan mencakup beragam nilai,” ujar Tamam.
Lebih lanjut Tamam menjelaskan hasil penelitiannya yang kelima, kerangka literasi digital dikonstruksi mencakup kekhasan dengan penanaman nilai-nilai kebangsaan. Keenam, kerangka literasi digital lebih berorientasi peningkatan kapasitas sikap yang bertanggung jawab dalam menggunakan media sosial dibandingkan dengan pengetahuan teknis dan keahlian fungsional.
Studi ini menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan mendasar antara kebijakan literasi digital Kemkominfo dan teori literas digital untuk inklusi digital, khususnya perbedaan paradigma dan tujuan. Namun demikian, keduanya dapat bersinambung pada dua titik pijak yang sama: sumber daya digital dan sumber daya sosial.