Pelecehan seksual merupakan sebuah isu yang penting dibicarakan tetapi selalu dianggap tabu. Apalagi, pelecehan seksual yang terjadi dalam lingkungan yang menuntut profesionalitas seperti tempat kerja. Sebanyak 80% pekerja perempuan mengalami pelecehan seksual di tempat kerja, dan hanya 1% yang berani melaporkannya (Survey Never Okay Project, 2018).
Hal inilah yang coba diangkat oleh MBRC FISIP UI sebagai topik diskusi bulan Oktober dengan tajuk “Speak Up Against Sexual Harrasment”, pada Selasa (9/10) di Gedung MBRC lantai 1. Pembicara yang dihadirkan yakni Alvin Nicola, S.Sos., Asisten Riset Komnas HAM sekaligus Director dari Never Okay Project-sebuah platform berbagi cerita untuk penyintas pelecehan seksual di tempat kerja-, dan Dr. Vinita Susanti, M.Si., Dosen Kriminologi FISIP UI.
Dr. Vinita menegaskan dari awal bahwa pembahasan isu pelecehan seksual selalu berada pada sudut pandang subyektif, maka dari itu harus mempertimbangkan konteks sosial dan sejarah perbedaan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan. Namun, secara definitif, pelecehan seksual dapat diartikan sebagai tindakan sosial yang tidak diinginkan oleh seseorang baik secara langsung ataupun tidak langsung. Kategori pelecehan seksual dapat dibedakan menjadi tiga, yakni sexual coercion, unwanted sexual attention, dan gender harrassment. Sexual coercion terjadi ketika pelaku menggunakan kekuasaannya untuk mengancam korban agar dapat membangun hubungan seksual, unwanted sexual attention yakni ketika pelaku membuat rayuan romantis atau seksual yang tidak disukai dan cendernung ofensif, sedangkan gender harrassment adalah sikap bermusuhan, menghina, dan / atau merendahkan martabat (biasanya perempuan).
Alvin menambahkan bahwa dalam konteks tempat kerja, pelecehan seksual dibedakan menjadi dua kategori, yakni Quid Pro Quo dan Hostile Environment. Quid Pro Quo terjadi ketika satu pihak memaksa pihak lain menerima tawaran hubungan seksual atau hubungan kerja intim sebagai imbalan atas perekrutan, promosi atau kenaikan gaji dalam kekuasaan pihak pertama dan mengancam untuk menurunkan, memotong gaji, atau bahkan pihak kedua jika menolak. Sementara, yang disebut Hostile Environment adalah ketika satu pihak mengganggu kinerja pekerjaan korban dengan cara yang tidak masuk akal, atau sengaja membiarkan korban terintimidasi, dimusuhi, atau mendorong korban ke lingkungan kerja yang kasar, dan tidak nyaman. Menurut Alvin yang mengutip Cooper (1985), spektrumnya pun dapat diuraikan menjadi enam tingkat, mulai yang terendah yakni aesthetic appreciation, meningkat menjadi active mental groping, social touching, foreplay harrassment, sexual abuse, hingga ulotimate threat.
Pada akhirnya, berbagai bentuk pelecehan tersebut dapat memberikan dampak psikologis yang signifikan bagi para korban, seperti depresi tinggi dan kecemasan, produktivitas kerja menurun, post-traumatic stress disorder (PTSD), hingga keinginan untuk bunuh diri. Sayangnya, banyak instansi atau organisasi yang belum memiliki aturan sendiri untuk melindungi korban pelecehan seksual. Hal tersebut diperkuat dengan hasil survey dadakan Alvin untuk para peserta diskusi yang menunjukkan bahwa 100% peserta tidak mengetahui aturan atau undang-undang tentang pelecehan seksual yang ada di tempat kerja masing-masing. Sehingga, payung hukum yang berasal dari Undang-Undang Ketenagakerjaan saja dirasa belum mampu menjamin dan melindungi para pekerja dari pelecehan seksual.
Namun, seperti yang diterangkan Alvin, perusahaan dapat melakukan upaya-upaya untuk mengakhiri pelecehan seksual di tempat kerja, seperti; tidak menghukum korban yang mengajukan aduan, melatih perubahan perilaku bukan sikap, melaksanakan by stander intervention training (BIT), dan ambil tindakan disipliner yang kuat terhadap pelanggar. Dr. Vinita menambahkan reaksi sosial yang dapat diciptakan untuk mendukung korban pelecehan seksual yakni sesederhana menjadi pendengar yang aktif, menciptakan rasa aman dan nyaman, memberikan informasi hukum, serta menggalang dukungan atau menciptakan kampanye.